Banjir
dan Panggung Politik Pilkada
Restu Gunawan ; Bekerja di Ditjen Kebudayaan,
Kemdikbud
|
KOMPAS, 11 Maret 2017
Banjir dan Jakarta sudah ratusan tahun bersinergi dan
saling mengisi. Dataran Jakarta dari pesisir hingga kawasan Monas sekarang
diperkirakan terbentuk dari dataran banjir yang sudah berlangsung lama.
Menurut penelitian, setiap tahun terjadi 50 meter dataran
baru di pesisir Jakarta akibat sedimentasi dan banjir yang membawa
butiran-butiran pasir dan tanah. Sebenarnya hujan adalah anugerah alam
sehingga dikenal istilah rain harvesting. Hujan membawa kemakmuran dan
kesuburan tanah. Namun, di Jakarta, banjir tak hanya fenomena alam yang
mendatangkan malapetaka, tetapi juga panggung politik yang menggairahkan. Di
era demokrasi ini, dalam ajang kontestasi pilkada, banjir menjadi ajang adu
program, saling serang dan saling sindir di antara pasangan calon gubernur
DKI.
Begitu terjadi banjir, pasangan calon gubernur DKI seolah
berlomba lebih dulu tiba di lokasi banjir. Tidak salah memang, siapa pun bisa
ke lokasi bencana. Namun, yang sebenarnya diharapkan adalah setiap pasangan
calon minimal mampu memberi perspektif dan pemikiran tentang solusi
pengendalian banjir.
Fenomena banjir sebagai panggung politik ini terus menguat
sejak pilkada langsung diterapkan di DKI Jakarta. Hal ini dapat dilihat dari
setiap kandidat yang berkontestasi di Jakarta dalam visi dan misinya selalu
ada program penanggulangan banjir.
Sejak pemilihan langsung tahun 2007 yang menghadirkan
calon gubernur Fauzi Bowo melawan Adang Daradjatun, penanggulangan banjir
ditempatkan sebagai prioritas utama. Begitu juga ketika tahun 2012, saat
calon gubernur Fauzi Bowo melawan Joko Widodo, masalah banjir juga menjadi
prioritas.
Dalam putaran pertama Pilkada DKI Jakarta 2017, perdebatan
banjir juga cukup seru. Dalam putaran kedua antara Basuki Tjahaja Purnama dan
Anies Baswedan, tampaknya perdebatan banjir akan semakin seru lagi karena
menjelang putaran kedua terjadi banjir di Jakarta Timur dan kawasan lain.
Tentu ini menjadi isu yang menarik dari kubu penantang meski di sisi petahana
juga merasa percaya diri karena cakupan banjir jauh berkurang dibandingkan
sebelumnya. Dari 2.000 titik turun menjadi 80 titik dan dalam waktu tiga jam
banjir langsung surut.
Namun, perlu dicatat bahwa penanggulangan banjir Jakarta
dari masa ke masa sebenarnya telah mengalami kemajuan signifikan. Wacana yang
muncul sejak Fauzi Bowo berkuasa dieksekusi pada masa Jokowi dan dilanjutkan oleh Basuki. Misalnya,
pembangunan Kanal Timur yang sudah direncanakan sejak 1973 bisa dikerjakan
pada masa Gubernur Foke dan Basuki,
begitu juga perluasan ruang terbuka hijau sudah maju signifikan.
Penanggulangan banjir dengan pembangunan infrastruktur
memang masih menjadi pilihan utama, di antaranya membangun kanal dan
memperlebar badan sungai dengan normalisasi sungai, pembangunan situ dan
waduk. Jika cara ini dipilih, jalan satu-satunya adalah relokasi penduduk
tempatan.
Relokasi atau apa pun istilahnya memang akan terjadi di
masa-masa mendatang karena, selain masih banyaknya tanah yang diokupasi
warga, juga untuk keperluan pelebaran badan sungai dan jalan inspeksi. Untuk
itulah perlu seni dan strategi para pemimpin Jakarta dalam memindahkan
penduduk. Hal lain yang patut dicatat, perilaku masyarakat Jakarta telah maju
pesat terkait pengendalian banjir. Misalnya, perilaku membuang sampah.
Demikian pula perlakuan terhadap sungai juga relatif lebih baik. Namun, itu
saja ternyata tidak cukup ampuh menanggulangi banjir Jakarta.
"The Greater Jakarta"
Penanggulangan banjir Jakarta tidak akan berhasil tanpa
melibatkan wilayah sekitarnya, terutama Depok, Bogor, Bekasi, dan Tangerang.
Sayangnya dalam perdebatan Pilkada DKI, wacana yang menyinggung kerja sama
antar kawasan sangat minim.
Pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono- sekitar
2007-ketika terjadi banjir besar di Jakarta, konsep The Greater Jakarta
pernah didiskusikan. Inti dari gagasan ini adalah membangun Jakarta dengan
menempatkan daerah sekitarnya dalam satu konsep penataan tata ruang yang
integratif.
Dalam konsep awal The Greater Jakarta bahkan tidak hanya
mencakup Jabodetabek, tetapi juga Sukabumi, Cianjur dan Banten. Kini, konsep
tersebut tidak ada kelanjutannya. Bahkan, dalam debat Pilkada DKI putaran
pertama tidak terdengar lagi gagasan tersebut.
Penanggulangan banjir Jakarta sangat terkait dengan
wilayah atasnya. Ketika kawasan Puncak, Bogor, dan Depok terjadi perubahan
lahan yang masif, saluran pembuangan yang paling mungkin adalah sungai-sungai
di sekitarnya. Namun, air hujan tak banyak terserap karena penuh bangunan,
menjadi aliran permukaan sungai. Ketika badan sungai tidak mampu lagi
menampung air, terjadilah banjir.
Pada masa kolonial, ketika terjadi perubahan lahan dari
hutan menjadi perkebunan teh dan wisata di kawasan Puncak, Belanda segera
membuat kanal banjir Manggarai sampai Karet pada 1911-1919. Pada kenyataannya
banjir memang tidak bisa ditanggulangi dengan mengandalkan Kanal Manggarai
yang kala itu masih berada di luar kota.
Bahkan, pembangunan pintu air Manggarai telah mengakibatkan
banjir di kawasan Manggarai dan Kampung Melayu sampai kini. Namun, upaya
preventif telah dilakukan. Kini, pemerintah lebih banyak
"penanggulangan" daripada "pengendalian". Ketika sudah
terjadi banjir, baru sibuk menanggulangi. Padahal, untuk menuju kota modern,
upaya "pengendalian" harus diutamakan.
Sudah waktunya
penataan kota yang lebih komprehensif dan cakupan yang lebih luas
dengan menyatukan Jakarta, Depok, Bogor, Bekasi, dan Tangerang. Sebagai kota
muara, tantangannya selain air kiriman dari atas adalah masalah rob dari
laut. Saatnya dipikirkan badan yang merencanakan dan melaksanakan pembangunan
Jabodetabek. Kita tunggu konsepnya dari calon gubernur DKI 2017-2022. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar