Membumikan
Deradikalisasi
Suhardi Alius ; Kepala BNPT
|
KOMPAS, 11 Maret 2017
Terorisme bukan berada dalam ruang hampa. Ia hidup dan
berkembang dalam kehidupan masyarakat. Bahkan, Said Aqil Siroj dalam
tulisannya, "Mitos Deradikalisasi" (Kompas, 8/3/2017), menegaskan
bahwa tak ada yang berangkat dari ruang hampa. Dunia sosial kita sudah
dipenuhi berbagai daya jerat dan daya pikat yang kerap mengaburkan kebenaran.
Said Aqil, baik sebagai ulama maupun kapasitasnya sebagai
ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, banyak memberikan masukan
bermanfaat dalam membenahi upaya penanggulangan terorisme yang dilakukan
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Melirik kemunculan terorisme, ada proses panjang yang
menyebabkan radikalisme dan terorisme lahir dan berkembang. Paham radikal tak
muncul tiba-tiba. Kedinamisan terorisme meletakkan teori-teori tak lagi
menegaskan faktor tunggal munculnya terorisme, melainkan multifaktor. Suatu
waktu akan tampak satu metode menjadi usang untuk satu kasus terorisme dan
efektif untuk penanggulangan kasus terorisme di tempat yang lain atau pada
waktu yang berbeda.
Apabila memandang deradikalisasi berisikan suatu program
yang paten, maka akan tampak penanganan terorisme tak beranjak, berputar pada
metode, dan cenderung monoton. Disadari bahwa penanggulangan terorisme tak
cukup dengan upaya penanggulangan sesaat. Perlu strategi berkesinambungan
dengan pola dan metode yang dinamis pula seiring perkembangan permasalahan
yang menjadi faktor langsung maupun tidak langsung terhadap kemunculan
terorisme.
Memang mengukur tingkat keberhasilan program
deradikalisasi BNPT tidak hanya didasarkan pada kuantitatif saja, tetapi juga
mencakup kualitasnya. Masukan dari berbagai pihak menjadi kajian bagi BNPT
guna penyempurnaan maupun perumusan pendekatan baru dalam penanggulangan
terorisme.
Deradikalisasi yang dilakukan BNPT mencakup berbagai upaya
pembinaan terhadap mereka yang terpapar terorisme. Sekalipun pada banyak aksi
teroris disebut "gerakan Jihad Islam", bukan berarti deradikalisasi
sebagai upaya mendangkalkan akidah atau program asing agar umat Islam
mengalami kekeringan dari semangat juang (jihad). Justru program-program
deradikalisasi yang dilakukan BNPT melibatkan para ulama dan tokoh agama
dalam membina mereka yang terpapar terorisme, mantan narapidana teroris,
keluarga, dan jaringannya. Bahkan, pada tingkat tertentu memakai para mantan
teroris yang sudah tobat untuk berdialog dan melakukan deradikalisasi
terhadap mereka yang terpapar terorisme.
Menyasar keluarga napi teroris
BNPT sudah mengurai permasalahan terorisme. Dari peta
permasalahan tersebut kemudian BNPT mengombinasikan langkah-langkah
penanggulangan terorisme dengan "bermain" lebih proaktif di
hulu-hilir. Meski demikian, BNPT dengan kelompok ahli BNPT dari berbagai
disiplin ilmu terus mengevaluasi program-program yang berjalan dan
memformulasikan pendekatan-pendekatan baru dalam penanggulangan terorisme
dari hulu ke hilir.
Para pelaku teroris menyisakan keluarga termasuk anak-anak
mereka. Kondisi itu menjadi kekhawatiran akan munculnya bibit-bibit baru
radikalisme dan terorisme. Bukan tak mungkin, keluarga yang ditinggalkan
tersentuh radikalisme. Meski bukan karena kepemahaman yang sama akan
radikalisme-terorisme, kondisi keluarga dan anak-anak mereka yang dikucilkan
dari lingkungan, kondisi ekonomi yang sudah susah, ditambah tuntutan bakti
anak kepada ayah mereka yang telah tewas menjadi faktor-faktor yang dapat
memunculkan generasi baru terorisme.
Apa yang terjadi dengan anak Imam Samudra (pelaku Bom Bali
II) yang mengikuti jejak ayahnya merupakan contoh bagaimana anak dengan mudah
dapat mengikuti jejak ayahnya. Anak Imam Samudra bergabung dengan Negara
Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di Suriah dan tewas pada 2015 lalu di sana.
Bayangkan apabila ada satu orang teroris punya tiga anak. Jika negara tak
hadir dalam pembinaan terhadap keluarga para teroris yang telah tewas maupun
yang mantan napi teroris, maka sama halnya menumpas seorang teroris
memunculkan tiga orang bibit baru teroris. Apabila ada 250-an napi teroris
yang berada dalam LP dan rumah tahanan, maka asumsinya lebih dari 700 anak
berpotensi menjadi bibit terorisme.
Oleh karena itu, salah satu fokus deradikalisasi
sasarannya adalah napi terorisme, keluarganya, termasuk anak-anak mantan atau
terpidana terorisme. Kegiatan deradikalisasi anak-anak napi dan mantan napi
terorisme ini meliputi terapi di bidang pendidikan. BNPT juga memberikan
bantuan untuk pengembangan perekonomian para napi teroris itu. Program ini
dilakukan bersama Kementerian Sosial. Contohnya, memberikan keterampilan
sehingga mantan napi yang sudah keluar bisa mencari nafkah dan melupakan
ideologi yang dipegang selama ini untuk hidup bersama masyarakat.
Pesantren sebagai panutan
Mengukur kualitas hasil program deradikalisasi BNPT tentu
upaya yang memakan waktu tak singkat. Meski demikian, upaya deradikalisasi
akan terus dilakukan. Salah satu langkah deradikalisasi yang dilakukan BNPT
dalam menyasar keluarga dan jaringan terorisme adalah pembinaan pesantren
Al-Hidayah di Sumatera Utara. Pembangunan rumah ibadah dan ruang-ruang
belajar di lokasi pesantren itu sudah diresmikan pada Februari 2017.
Pesantren itu terutama bagi mereka yang pernah terpapar
terorisme, mantan napi terorisme, keluarga, dan jaringannya. Keberadaan
pesantren Al-Hidayah menjadi komitmen BNPT dengan warga sekitar pondok
pesantren dalam mendukung program nasional pemerintah sekaligus sebagai
kepentingan BNPT dalam melakukan pembinaan, pencegahan, sekaligus waspada
terhadap bahaya radikalisme dan terorisme. Sebab, di pesantrenlah anak-anak
baik dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi mendapat ilmu pendidikan
agama dan nasional yang komprehensif, termasuk dalam hal menanggulangi paham
radikal.
Pesantren ini akan dijadikan role model bagi proses
pendekatan baru dalam deradikalisasi. Harapannya di beberapa daerah akan
dibangun pesantren sama yang dapat membina anak dan keluarga mantan teroris
sehingga dapat mereduksi penyebaran paham radikal terorisme. Tahap awal,
beberapa daerah rawan terpapar radikalisme, seperti di Lamongan, Jawa Timur,
sudah dikunjungi BNPT guna rencana pembinaan para keluarga teroris dan
masyarakat sekitarnya melalui role model pesantren. Pesantren bukanlah tempat
persemaian ajaran terorisme. Justru sejarah membuktikan bahwa model pendidikan
khas Indonesia itu terbukti mampu melahirkan ulama dan para cendekia mengisi
bangsa ini. Pesantren memiliki peran yang cukup strategis sebagai tulang
punggung dalam pembangunan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar