1 Juni dan 1 Oktober untuk Pancasila
Ashadi Siregar ;
Peneliti Media dan Pengajar
Jurnalisme, bermukim di Yogyakarta
|
KOMPAS, 31 Mei 2016
Dua tanggal almanak
biasa dikaitkan dengan Pancasila, 1 Juni sebagai hari lahirnya dan 1 Oktober penanda
kesaktiannya. Hari lahir itu selama Orde Baru secara sistematis
dicoba-hilangkan dari memori bangsa. Dan sepanjang era itu, setiap 1 Oktober
dipasang bendera setengah tiang. Rezim Orde Baru menyebut sebagai Hari
Kesaktian Pancasila.
Mungkin tidak ada yang
mempersoalkan bagaimana kaitan bendera setengah tiang sebagai tanda
berkabung di satu pihak dan kesaktian Pancasila di pihak lain. Menjadikan 1 Oktober
sebagai hari perkabungan nasional akibat terbunuhnya sejumlah perwira TNI
tentunya didukung alasan yang kuat. Setiap
bangsa perlu memiliki momen-momen yang dapat dimaknai untuk menumbuhkan
kesadaran atas identitas dan solidaritas bangsa.
Namun, menjadikannya sebagai momen guna mengagungkan
Pancasila atas dasar kesaktiannya merupakan pembodohan rakyat. Upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa ditandai dengan menumbuhkan kesadaran rasional
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bung Karno sebagai
pemikir dan pencetus dasar negara ini mendekati Pancasila secara rasional.
Pidato 1 Juni 1945 berisi rasionalisasi yang dilengkapi referensi konseptual
atas Pancasila sebagai dasar negara. Sementara Jenderal Soeharto mengajak
rakyat mendekati Pancasila secara mistis. Terminologi kesaktian hanya dapat
dihayati dengan kesadaran mistis, tidak atas dasar rasionalisme.
Pendekatan konseptual
Bung Karno tecermin dalam tulisan-tulisan otentik pribadi dan pidato tertulis
dan lisannya sebelum dan sewaktu menjadi presiden. Sementara kecenderungan
pemikiran Jenderal Soeharto tidak dapat diketahui dari masa sebelum menjabat presiden.
Pendekatan konseptual
terkandung dalam pidato tertulis (yang disiapkan Sekretariat Negara) dan
dibacakan Jenderal Soeharto dengan cara datar dan dingin. Sedangkan
kecenderungan otentik personal tecermin saat pidato lisan maupun penampilan
dalam temu wicara dengan kelompok-kelompok masyarakat yang disiapkan aparat
birokrasi negara.
Dalam setiap
kesempatan itu ujaran-ujaran lisan pendekatan mistis dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara disosialisasikan kepada rakyat.
Mistifikasi kehidupan bernegara
Pancasila sebagai dasar negara perlu didekati dengan
kesadaran rasional, dengan kembali kepada gagasan dasar yang dikembangkan
Bung Karno. Perlu dibongkar ulang rekayasa intelektual dijalankan oleh
Angkatan Darat yang dimotori almarhum Jenderal Nugroho Notosusanto untuk
meniadakan faktor Soekarno melalui penataran Pancasila.
Terdapat dua arus
besar sosialisasi Pancasila selama Orde Baru. Pertama, secara struktural
diwujudkan dengan gaya doktriner melalui perumusan butir-butir yang jumlahnya
disesuaikan dengan level target dari indoktrinasi. Penataran P4 (Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang diselenggarakan secara luas pada
berbagai lapis masyarakat bersifat doktriner, jauh dari nilai dasar berbangsa
dan bernegara sebagaimana diharapkan Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945.
Kedua, secara
simbolik, melalui berbagai wacana yang bersifat mistifikasi Pancasila. Di
antaranya dengan hari berkabung atas terbunuhnya perwira TNI, dengan ritual
untuk menghayati kesaktian Pancasila. Kehikmatan beraroma mistis di monumen
Lubang Buaya ini dalam konteks kenegaraan menjauhkan masyarakat dari
penghayatan rasional kehidupan bernegara. Upaya peyakinan terus-menerus
sepanjang Orde Baru tentang hancurnya kekuatan anti Pancasila berkat
kesaktian Pancasila.
Kehidupan bernegara
dengan basis keyakinan mistis merupakan bencana bagi suatu bangsa negara
modern. Jika aparat birokrasi negara, militer, polisi, bahkan elite
masyarakat juga menghayati keyakinan mistis semacam ini, kiranya hanya dapat
dibayangkan untuk kehidupan bernegara abad ke-16. Sulit membayangkan masa
depan negara pada abad ke-21 dengan basis budaya negara yang dibangun selama
30 tahun oleh Orde Baru.
Karena itu, langkah
mendesak adalah demistifikasi atas
Pancasila. Termasuk juga meniadakan konteks mistis dalam kehidupan
kenegaraan. Ritual ”ruwatan”, misalnya, memiliki signifikansi bagi kehidupan
keluarga, tetapi sama sekali tidak punya makna bagi negara.
Presiden RI bukan
kepala keluarga, melainkan kepala negara. Negara merupakan sistem yang
terdiri dari komponen-komponen politis, sosiologis, dan ekonomis yang
integrasinya atas dasar kepentingan rasional yang bertolak dari acuan nilai
bersama (shared value). Karena
kepercayaan bahwa kehidupan bernegara dapat ditata atas dasar mistis, hanya akan
menjerumuskan kita ke dalam Orde Baru Kedua.
Makna perkabungan nasional
Ditumpasnya kekuatan
anti Pancasila, atau berbagai pemberontakan, perlu disikapi dengan pemahaman
kesejarahan yang bersifat rasional, bukan dengan irasionalitas keyakinan
saktinya Pancasila. Setiap keberhasilan dan kegagalan pada hakikatnya berasal
dari strategi dan operasi yang dijalankan secara rasional. Dengan
rasionalitas ini pula 1 Oktober dapat disikapi sebagai hari perkabungan
nasional, bukan untuk ritual kesaktian Pancasila.
Meninggalnya sejumlah
perwira TNI pada 1 Oktober 1965 merupakan tragedi yang patut dikenang. Film Gerakan 30 September karya almarhum Arifin C Noer
yang diputar berulang selama Orde Baru menggambarkan adegan penculikan dan
pembunuhan yang dilakukan segerombolan militer yang disebut sebagai pasukan
Cakrabirawa. Begitu juga adegan rapat-rapat yang berlangsung dihadiri oleh
orang sipil yang digambarkan sebagai PKI di satu pihak dan militer di pihak
lainnya.
Menelusuri tragedi 1
Oktober tidak mengurangi makna perkabungan bagi para perwira TNI. Ini
merupakan tugas sejarawan, termasuk TNI sendiri, untuk mengungkap seluruh
tabir yang menyelimuti penculikan dan pembunuhan itu, agar tragedi dan
perkabungan dapat dihayati secara rasional.
Sejumlah pertanyaan kunci perlu dijawab, sebab yang
melakukan penculikan dan pembunuhan, baik dalam buku sejarah ala Nugroho
Notosusanto maupun film semidokumenter Arifin C Noer, adalah bagian dari
pasukan Cakrabirawa, pengawal kepresidenan.
Soalnya, sudah menjadi
pengetahuan umum bahwa Cakrabirawa dibentuk atas unsur-unsur angkatan.
Personel Cakrabirawa yang terlibat adalah Letkol Untung dan awak pasukannya
yang berasal dari Angkatan Darat. Tidak pernah dibukakan bagaimana rekrutmen
pasukan Cakrabirawa ini, khususnya yang berasal dari Angkatan Darat.
Apakah bergabungnya
Letkol Untung dan awak pasukannya ke dalam Cakrabirawa, atas permintaan
Presiden Soekarno dan Komandan Cakrabirawa, ataukah atas penugasan Komandan
Kostrad sebagai induk pasukannya?
Begitu pula dalam sejarah resmi digambarkan adanya perwira-perwira
Angkatan Darat yang berhasil dipengaruhi oleh tokoh-tokoh sipil dari PKI.
Untuk itu perlu ditelusuri tipologi ”kedunguan” dari perwira Angkatan Darat
yang begitu mudah dipengaruhi dan digerakkan oleh orang sipil.
Garis komando yang
sering dipujikan dalam lingkungan militer dapat diambil alih oleh orang
sipil, yang notabene dalam buku sejarah dan film Arifin C Noer orang ini
tidak jelas posisinya dalam kepengurusan PKI.
Satu Oktober 1965 dapat dijadikan titik tolak dalam
penelusuran sejarah bangsa. Siapa tahu kita akan sampai pada kesimpulan bahwa
dengan terbunuhnya para pahlawan revolusi, yang kemudian disusul pembunuhan
massal (belasan, puluhan,
ratusan ribu korban rakyat Indonesia, yang mana pun bilangannya, perlu
verifikasi) akibat eksploitasi konflik
horizontal yang bersifat laten dalam masyarakat, maka kita memang sangat
layak punya Hari Perkabungan
Nasional.
Perkabungan untuk
suatu bangsa yang sanggup membunuhi sesama manusia tanpa rasa bersalah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar