Terrors
Trias Kuncahyono ; Penulis Kolom “KREDENSIAL” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
17 Januari 2016
Terorisme. Dalam kata
"terorisme" itu terkandung kata "teror". Kata itu
dipungut dari kata dalam bahasa Latin, yakni terrere, yang berarti "menakuti"
atau "menggigil" atau "gemetar". Ketika kata terror
ditambah akhiran yang ada dalam bahasa Perancis, isme, maka akan menjadi
terrorism yang kemudian diartikan sebagai "menyebabkan ketakutan",
atau "membuat gemetar".
Praktik teror, paling
tidak yang tercatat sejarah, pertama kali dilakukan oleh sekte Zealot yang
hidup di Palestina pada abad pertama. Sejarawan Yahudi, Flavius Josephus,
dalam karyanya Jewish Antiquities,
yang dipublikasikan pada tahun 93-94, menyebut tentang aksi teror tersebut.
Josephus menggunakan kata sicarii-
yang diambil dari kata dalam bahasa Latin, sicarius, yang berarti orang yang bersenjatakan pisau-untuk
menyebut kaum Zealot. Dengan bersenjatakan pisau, kaum Zealot mengobarkan
pemberontakan melawan pemerintah kolonial Romawi, dilancarkan pada tahun 6.
Karena itu, kemudian kaum Zealot oleh Pemerintah Romawi disebut sebagai
bandit.
Buku-buku sejarah lalu
menyebut Zealot sebagai organisasi teroris pertama di dunia. Meskipun,
sebenarnya, jauh sebelum kaum Zealot muncul dan menebarkan teror,
Assurnasirpal, Raja Assyria (884-860 SM), menurut artefak yang ditemukan di
Mosul, Irak sekarang ini, dikenal sebagai sangat kejam dan menebarkan teror.
Tragedi politik paling terkenal di zaman Romawi kuno, pembunuhan terhadap
Julius Caesar pada tahun 44 SM, juga disebut sebagai teror. Dalam hal ini,
teror diartikan sebagai "menghalalkan segala cara, terutama kekerasan
untuk mewujudkan tujuannya": menyingkirkan Caesar.
Pembunuhan politik
seperti itu terus terjadi. Pada abad XI-XII muncul Assassin, sekte Muslim
Shiah di Iran barat laut. Kelompok ini secara terorganisasi, sistematik, dan
jangka panjang melakukan pembunuhan politik (Robert A Pape, Dying to Win).
Revolusi Perancis
menjadi titik balik sejarah terorisme. Istilah "terorisme" muncul
di zaman Revolusi Perancis ketika Le
Gouvernement de la Terreur (Kerajaan Teror) berkuasa, 1793-1794, seperti
diungkapkan dalam The History of
Terrorism, From Antiquity to Al Qaeda (Gerard Chaliand dan Arnaud Blind,
ed). Kerajaan Teror adalah kampanye kekejaman besar-besaran yang dilakukan
Pemerintah Perancis pada masa itu. Dalam tempo setahun, mereka membunuh
16.000 hingga 40.000 orang. Dengan kata lain, Revolusi Perancis-lah yang
melahirkan istilah teror atau mungkin lebih tepatnya "terorisme
negara".
Di zaman inilah muncul
nama Maximilien Robespierre (1758-1794), pemimpin kaum Jacobin radikal dan
salah seorang tokoh dalam Revolusi Perancis, yang mempraktikkan teror.
Jacobin adalah grup politik sangat terkenal di zaman Revolusi Perancis, yang
diidentifikasi dengan egalitarianisme dan kekejaman ekstrem, yang memimpin
pemerintahan Revolusioner, dan kemudian disebut sebagai Kerajaan Teror.
Dari cerita tersebut,
tergambar jelas bahwa terorisme bukanlah fenomena baru dalam pengalaman
kehidupan manusia. Kekejaman, kekerasan, selalu digunakan sepanjang sejarah
manusia oleh mereka yang menentang negara; menentang raja-raja dan para
pangeran.
Terorisme-meski belum
ada kesatuan definisi tentang apa itu terorisme; dan menurut A Schmit (1983)
ada 109 definisi akademik-menjadi isu dalam agenda internasional mulai tahun
1934. Yakni, ketika Liga Bangsa-Bangsa mengambil langkah besar pertama dengan
menyatakan terorisme sebagai sangat ilegal dan dapat dihukum.
Untuk mewujudkan hal
itu, Liga Bangsa-Bangsa membuat draf konvensi untuk pencegahan dan
penghukuman terhadap tindakan teroris. Tetapi, anehnya, beberapa tahun
kemudian lahirlah "Stern Gang", sebuah kelompok Zionis militan yang
didirikan oleh Avraham Stern. Tujuannya adalah mengusir otoritas Inggris dari
Palestina dan mengizinkan imigrasi kaum Yahudi, serta menciptakan negara
Yahudi.
Satu hal yang pasti,
terorisme selalu dicirikan dengan penggunaan kekerasan, kekejaman terhadap
sasaran mereka, entah itu rakyat sipil ataupun militer dan polisi. Kekerasan
dan kekejaman menjadi ciri khasnya. Cara mereka inilah yang membuat mereka
tidak akrab dengan kemanusiaan, dengan hati nurani.
Saat ini, aktivitas
teroris dapat ditemukan di mana-mana, di berbagai belahan bumi dengan alasan
kemunculan dan tujuan gerakannya beragam, dari yang sangat kanan sampai yang
sangat kiri, dari yang bertujuan ekonomis hingga politik dan religius
ekstrem. Cara untuk mewujudkan tujuannya pun dengan berbagai cara, yang terakhir
dengan menggunakan pelaku bom bunuh diri.
Yang menarik adalah
mengapa kini orang menjadi teroris? Mengapa orang memilih jalan gelap,
padahal ada jalan terang? Ada banyak jawaban atas pertanyaan itu.
Umar Farouk
Abdulmutallab, yang disebut underwear bomber, misalnya, mengisahkan mengapa
dirinya memilih bergabung dengan Al Qaeda (Special Report, Mei 2010, United States Institute of Peace).
"Saya tidak punya kawan. Saya tidak punya kawan untuk bisa diajak
bicara, tidak ada kawan yang bisa diajak konsultasi, tidak ada kawan yang
mendukung saya. Lagi pula, saya merasa tertekan dan sendirian. Saya tidak
tahu apa yang harus saya lakukan," tulisnya.
Mereka yang tergabung
dengan Negara Islam di Irak dan Suriah pun dengan enteng mengatakan
"selamat tinggal" kepada keluarganya, lalu terbang ke Istanbul,
menyeberangi perbatasan, dan masuk Suriah bergabung dengan NIIS. Lalu, pulang
ke tanah air mereka dan membunuh orang-orang tak berdosa.
Absurd! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar