Senin, 18 Januari 2016

Terrors

Terrors

Trias Kuncahyono  ;   Penulis Kolom “KREDENSIAL” Kompas Minggu
                                                       KOMPAS, 17 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Terorisme. Dalam kata "terorisme" itu terkandung kata "teror". Kata itu dipungut dari kata dalam bahasa Latin, yakni terrere, yang berarti "menakuti" atau "menggigil" atau "gemetar". Ketika kata terror ditambah akhiran yang ada dalam bahasa Perancis, isme, maka akan menjadi terrorism yang kemudian diartikan sebagai "menyebabkan ketakutan", atau "membuat gemetar".

Praktik teror, paling tidak yang tercatat sejarah, pertama kali dilakukan oleh sekte Zealot yang hidup di Palestina pada abad pertama. Sejarawan Yahudi, Flavius Josephus, dalam karyanya Jewish Antiquities, yang dipublikasikan pada tahun 93-94, menyebut tentang aksi teror tersebut. Josephus menggunakan kata sicarii- yang diambil dari kata dalam bahasa Latin, sicarius, yang berarti orang yang bersenjatakan pisau-untuk menyebut kaum Zealot. Dengan bersenjatakan pisau, kaum Zealot mengobarkan pemberontakan melawan pemerintah kolonial Romawi, dilancarkan pada tahun 6. Karena itu, kemudian kaum Zealot oleh Pemerintah Romawi disebut sebagai bandit.

Buku-buku sejarah lalu menyebut Zealot sebagai organisasi teroris pertama di dunia. Meskipun, sebenarnya, jauh sebelum kaum Zealot muncul dan menebarkan teror, Assurnasirpal, Raja Assyria (884-860 SM), menurut artefak yang ditemukan di Mosul, Irak sekarang ini, dikenal sebagai sangat kejam dan menebarkan teror. Tragedi politik paling terkenal di zaman Romawi kuno, pembunuhan terhadap Julius Caesar pada tahun 44 SM, juga disebut sebagai teror. Dalam hal ini, teror diartikan sebagai "menghalalkan segala cara, terutama kekerasan untuk mewujudkan tujuannya": menyingkirkan Caesar.

Pembunuhan politik seperti itu terus terjadi. Pada abad XI-XII muncul Assassin, sekte Muslim Shiah di Iran barat laut. Kelompok ini secara terorganisasi, sistematik, dan jangka panjang melakukan pembunuhan politik (Robert A Pape, Dying to Win).

Revolusi Perancis menjadi titik balik sejarah terorisme. Istilah "terorisme" muncul di zaman Revolusi Perancis ketika Le Gouvernement de la Terreur (Kerajaan Teror) berkuasa, 1793-1794, seperti diungkapkan dalam The History of Terrorism, From Antiquity to Al Qaeda (Gerard Chaliand dan Arnaud Blind, ed). Kerajaan Teror adalah kampanye kekejaman besar-besaran yang dilakukan Pemerintah Perancis pada masa itu. Dalam tempo setahun, mereka membunuh 16.000 hingga 40.000 orang. Dengan kata lain, Revolusi Perancis-lah yang melahirkan istilah teror atau mungkin lebih tepatnya "terorisme negara".

Di zaman inilah muncul nama Maximilien Robespierre (1758-1794), pemimpin kaum Jacobin radikal dan salah seorang tokoh dalam Revolusi Perancis, yang mempraktikkan teror. Jacobin adalah grup politik sangat terkenal di zaman Revolusi Perancis, yang diidentifikasi dengan egalitarianisme dan kekejaman ekstrem, yang memimpin pemerintahan Revolusioner, dan kemudian disebut sebagai Kerajaan Teror.

Dari cerita tersebut, tergambar jelas bahwa terorisme bukanlah fenomena baru dalam pengalaman kehidupan manusia. Kekejaman, kekerasan, selalu digunakan sepanjang sejarah manusia oleh mereka yang menentang negara; menentang raja-raja dan para pangeran.

Terorisme-meski belum ada kesatuan definisi tentang apa itu terorisme; dan menurut A Schmit (1983) ada 109 definisi akademik-menjadi isu dalam agenda internasional mulai tahun 1934. Yakni, ketika Liga Bangsa-Bangsa mengambil langkah besar pertama dengan menyatakan terorisme sebagai sangat ilegal dan dapat dihukum.

Untuk mewujudkan hal itu, Liga Bangsa-Bangsa membuat draf konvensi untuk pencegahan dan penghukuman terhadap tindakan teroris. Tetapi, anehnya, beberapa tahun kemudian lahirlah "Stern Gang", sebuah kelompok Zionis militan yang didirikan oleh Avraham Stern. Tujuannya adalah mengusir otoritas Inggris dari Palestina dan mengizinkan imigrasi kaum Yahudi, serta menciptakan negara Yahudi.

Satu hal yang pasti, terorisme selalu dicirikan dengan penggunaan kekerasan, kekejaman terhadap sasaran mereka, entah itu rakyat sipil ataupun militer dan polisi. Kekerasan dan kekejaman menjadi ciri khasnya. Cara mereka inilah yang membuat mereka tidak akrab dengan kemanusiaan, dengan hati nurani.

Saat ini, aktivitas teroris dapat ditemukan di mana-mana, di berbagai belahan bumi dengan alasan kemunculan dan tujuan gerakannya beragam, dari yang sangat kanan sampai yang sangat kiri, dari yang bertujuan ekonomis hingga politik dan religius ekstrem. Cara untuk mewujudkan tujuannya pun dengan berbagai cara, yang terakhir dengan menggunakan pelaku bom bunuh diri.

Yang menarik adalah mengapa kini orang menjadi teroris? Mengapa orang memilih jalan gelap, padahal ada jalan terang? Ada banyak jawaban atas pertanyaan itu.

Umar Farouk Abdulmutallab, yang disebut underwear bomber, misalnya, mengisahkan mengapa dirinya memilih bergabung dengan Al Qaeda (Special Report, Mei 2010, United States Institute of Peace). "Saya tidak punya kawan. Saya tidak punya kawan untuk bisa diajak bicara, tidak ada kawan yang bisa diajak konsultasi, tidak ada kawan yang mendukung saya. Lagi pula, saya merasa tertekan dan sendirian. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan," tulisnya.

Mereka yang tergabung dengan Negara Islam di Irak dan Suriah pun dengan enteng mengatakan "selamat tinggal" kepada keluarganya, lalu terbang ke Istanbul, menyeberangi perbatasan, dan masuk Suriah bergabung dengan NIIS. Lalu, pulang ke tanah air mereka dan membunuh orang-orang tak berdosa.

Absurd!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar