Teror
Putu Setia ; Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
KORAN
TEMPO, 16 Januari 2016
Tak terduga saya
berjumpa Romo Imam di sebuah mal. Dia antar cucunya membeli sepatu, saya cari
buku di sudut mal itu. "Tak takut
membawa anak-anak ke tempat ramai begini? Lagi musim teror," tanya
saya. Romo pun memeluk saya. "Sampeyan
ini penakut. Korban media apa korban pengamat intelijen?"
Saya tertawa sebelum
Romo melanjutkan. "Kelemahan kita
dalam menghadapi teror adalah kita terlalu cepat memberi reaksi dan informasi
yang belum jelas. Media berlomba-lomba memberi kabar seolah-olah makin cepat
makin tepercaya, padahal belum tentu kabar itu betul. Ada pengamat intelijen
dengan yakin menyebut, teror Sarinah adalah awal dari teror-teror yang lain.
Kabar terlalu cepat dan pernyataan yang seolah-olah benar itu justru menjadi
teror yang sebenarnya."
Saya sependapat. "Betul Romo. Pernyataan yang
menyebutkan polisi sudah siap mengamankan negeri, seharusnya cukup sampai di
situ. Tak harus disebutkan sekian peleton polisi berjaga di tempat ini,
sekian peleton di tempat itu, pelabuhan dijaga ketat, bandar udara dijaga di
setiap sudut. Meskipun pernyataan itu dimaksudkan supaya masyarakat tenang,
justru hal itu membuat masyarakat takut. Penjagaan itu tak usah digembar-gemborkan."
"Ada lagi yang penting," Romo menyela. "Ketika menara kembar di Amerika
dihancurkan teroris, ada ribuan korban tewas. Apakah pernah ada tayangan atau
gambar-gambar korban? Tidak ada. Ini salah satu cara untuk tidak membuat
masyarakat tambah terteror. Dengan menayangkan korban dan kerusakan, teroris
semakin senang karena ulahnya dipublikasi gratis. Ini seharusnya ditiru oleh
media di Indonesia, termasuk para pengguna media sosial. Jangan tayangkan
korban teror itu. Jangan tayangkan orang-orang yang tewas, bahkan darah di
aspal pun jangan ditampilkan."
"Bagaimana jika teror Sarinah ini dianggap pengalihan
isu?" Belum sempurna pertanyaan saya, Romo langsung menimpali, "Hanya orang gila yang menuduh teror
yang makan korban nyawa ini sebagai pengalihan isu. Itu bukan saja melecehkan
aparat keamanan, tetapi juga meremehkan orang yang membuat pernyataan seperti
itu."
Saya paham apa yang
dimaksudkan Romo. Saya ingat cuitan budayawan Goenawan Mohamad di Twitter
beberapa jam setelah teror Sarinah. "Kepada
tuan yang anggap tindakan teror hari ini hanya pengalihan isu, semoga
dibebaskan hati tuan dari fitnah dan dengki tak henti-henti."
Sebelumnya penyair ini menulis, "Dalam
suasana dramatis, selalu ada orang-orang yang ingin tampak keren dengan
info-info yang dramatis pula. Jangan dipercaya."
Memang ada pengamat
intelijen dengan gaya yang seolah-olah hanya dia yang tahu apa latar belakang
kejadian itu, dengan entengnya mengatakan bahwa teror ini sudah diprediksi.
Lha, kalau sudah diprediksi, kenapa tak dilaporkan ke polisi?
Romo Imam sudah
melangkah ke kasir. Tapi dia masih sempat menutup sapaan pada perjumpaan yang
tak direncanakan ini. "Kita ada di
alam teknologi yang canggih. Setiap orang punya handphone yang ada kamera
untuk mengambil gambar dan video. Setiap orang bisa saja berada di tempat
yang beruntung dekat dengan kejadian yang dramatis. Dia bebas mengambil
adegan-adegan yang dramatis itu, tetapi untuk membaginya ke publik seharusnya
memperhatikan etika. Bisa dibayangkan bagaimana trauma keluarga korban
melihat gambar itu? Media televisi seharusnya juga memperhatikan etika ini,
jangan menaikkan rating dengan cara-cara murahan."
Saya berpisah dengan
Romo dan mulut saya tak sengaja berucap menirukan kalimat Romo: "Kita tak boleh takut." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar