Selasa, 19 Januari 2016

Teror

Teror

Putu Setia  ;   Pengarang; Wartawan Senior Tempo
                                                 KORAN TEMPO, 16 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tak terduga saya berjumpa Romo Imam di sebuah mal. Dia antar cucunya membeli sepatu, saya cari buku di sudut mal itu. "Tak takut membawa anak-anak ke tempat ramai begini? Lagi musim teror," tanya saya. Romo pun memeluk saya. "Sampeyan ini penakut. Korban media apa korban pengamat intelijen?"

Saya tertawa sebelum Romo melanjutkan. "Kelemahan kita dalam menghadapi teror adalah kita terlalu cepat memberi reaksi dan informasi yang belum jelas. Media berlomba-lomba memberi kabar seolah-olah makin cepat makin tepercaya, padahal belum tentu kabar itu betul. Ada pengamat intelijen dengan yakin menyebut, teror Sarinah adalah awal dari teror-teror yang lain. Kabar terlalu cepat dan pernyataan yang seolah-olah benar itu justru menjadi teror yang sebenarnya."

Saya sependapat. "Betul Romo. Pernyataan yang menyebutkan polisi sudah siap mengamankan negeri, seharusnya cukup sampai di situ. Tak harus disebutkan sekian peleton polisi berjaga di tempat ini, sekian peleton di tempat itu, pelabuhan dijaga ketat, bandar udara dijaga di setiap sudut. Meskipun pernyataan itu dimaksudkan supaya masyarakat tenang, justru hal itu membuat masyarakat takut. Penjagaan itu tak usah digembar-gemborkan."

"Ada lagi yang penting," Romo menyela. "Ketika menara kembar di Amerika dihancurkan teroris, ada ribuan korban tewas. Apakah pernah ada tayangan atau gambar-gambar korban? Tidak ada. Ini salah satu cara untuk tidak membuat masyarakat tambah terteror. Dengan menayangkan korban dan kerusakan, teroris semakin senang karena ulahnya dipublikasi gratis. Ini seharusnya ditiru oleh media di Indonesia, termasuk para pengguna media sosial. Jangan tayangkan korban teror itu. Jangan tayangkan orang-orang yang tewas, bahkan darah di aspal pun jangan ditampilkan."

"Bagaimana jika teror Sarinah ini dianggap pengalihan isu?" Belum sempurna pertanyaan saya, Romo langsung menimpali, "Hanya orang gila yang menuduh teror yang makan korban nyawa ini sebagai pengalihan isu. Itu bukan saja melecehkan aparat keamanan, tetapi juga meremehkan orang yang membuat pernyataan seperti itu."

Saya paham apa yang dimaksudkan Romo. Saya ingat cuitan budayawan Goenawan Mohamad di Twitter beberapa jam setelah teror Sarinah. "Kepada tuan yang anggap tindakan teror hari ini hanya pengalihan isu, semoga dibebaskan hati tuan dari fitnah dan dengki tak henti-henti." Sebelumnya penyair ini menulis, "Dalam suasana dramatis, selalu ada orang-orang yang ingin tampak keren dengan info-info yang dramatis pula. Jangan dipercaya."
Memang ada pengamat intelijen dengan gaya yang seolah-olah hanya dia yang tahu apa latar belakang kejadian itu, dengan entengnya mengatakan bahwa teror ini sudah diprediksi. Lha, kalau sudah diprediksi, kenapa tak dilaporkan ke polisi?

Romo Imam sudah melangkah ke kasir. Tapi dia masih sempat menutup sapaan pada perjumpaan yang tak direncanakan ini. "Kita ada di alam teknologi yang canggih. Setiap orang punya handphone yang ada kamera untuk mengambil gambar dan video. Setiap orang bisa saja berada di tempat yang beruntung dekat dengan kejadian yang dramatis. Dia bebas mengambil adegan-adegan yang dramatis itu, tetapi untuk membaginya ke publik seharusnya memperhatikan etika. Bisa dibayangkan bagaimana trauma keluarga korban melihat gambar itu? Media televisi seharusnya juga memperhatikan etika ini, jangan menaikkan rating dengan cara-cara murahan."
Saya berpisah dengan Romo dan mulut saya tak sengaja berucap menirukan kalimat Romo: "Kita tak boleh takut."  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar