Senin, 18 Januari 2016

Permufakatan Jahat

Permufakatan Jahat

Romli Atmasasmita  ;   Profesor Emeritus Universitas Padjadjaran;
Guru Besar Tetap Universitas Pasundan
                                                  KORAN SINDO, 12 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sejarah permufakatan jahat atau conspiracy atau samenspaning pada awal mulanya ditujukan untuk menghadapi kejahatan serius yang dilakukan organisasi kejahatan terutama setelah lahirnya Konvensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi 2000 (UN Convention Against Transnational Organized Crimes).

Penanganan peristiwa pertemuan MS (FI), SN, dan seorang pengusaha MR dengan dugaan permufakatan jahat merupakan langkah progresif karena dari personel pertemuan segitiga mereka tidak termasuk anggota organisasi kejahatan, tetapi termasuk penyelenggara negara dan pimpinan korporasi dan swasta lainnya.

Penangan peristiwa tersebut telah memunculkan kembali konsep permufakatan jahat (sammenspaning/conspiracy). Konsep ini telah merupakan norma dalam sistem hukum pidana Indonesia (KUHP) yang dicantumkan dalam Pasal 88. Isinya yaitu “Dikatakan ada permufakatan jahat apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan”.

Dalam konsep “common law of conspiracy“ yang telah diadopsi ke dalam UU Hukum Pidana Inggris Tahun 1977 yang disebut “statutory conspiracy “, dalam section 1 (1): permufakatan jahat (conspiracy): “if a person agrees with any other person or persons that a course of conduct shall be pursued which, if the agreement is carried out in accordance with their intentions, either:

(a) will necessarily amount to or involve the commission of any offence or offences by one or more of the parties to the agreement; or (b) would do so but for the existence of facts which render the commission of the offence or any of the offences impossible; he is guilty of conspiracy to commit offence or offences in question“.

Jika diperbandingkan dua ketentuan tersebut di atas dalam dua sistem hukum, jelas konsep permufakatan jahat dalam sistem hukum Common Law-KUHP Inggris 1997 lebih rinci/lengkap daripada KUHP Indonesia. Hal ini tampak dari section 1 (1) huruf (b) yang menegaskan bahwa sekalipun kejahatan yang telah disepakati tidak terjadi, tetap saja inisiator dan pihak dalam permufakatan tersebut dapat dituntut pidana.

Sedangkan Pasal 88 KUHP hanya menegaskan permufakatan jahat jika ada dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan dan tidak ada klausul lain di dalam ketentuan tersebut sehingga ketika ada dugaan terjadi permufakatan jahat, tidak mudah dalam penerapan hukumnya, dan sering ditafsirkan keliru bahwa niat jahat (mens-rea) telah terjadi ketika telah terjadi kesepakatan akan melakukan kejahatan secara implisit, tetapi bukan eksplisit.
Apakah benar demikian?

Glanville Williams dalam Textbook of Criminal Law (1983) menegaskan bahwa dalam menafsirkan perbuatan permufakatan jahat masih diperlukan unsur “mensrea“ yaitu kesengajaan (intention), sebagaimana ditegaskan: “It was said that the mental element required for conspiracy is basically one of intention“, dan terhadap unsur sengaja terdapat dua tafsir perluasan:  Bahwa pada conspirator adanya harapan atau pandangan ke depan bahwa ada kepastian (kejahatan akan terjadi dilakukan) atau foresight of certainty, dan kelalaian mengenai situasi/keadaan atau recklessness as to circumstances.

Untuk membuktikan bahwa conspirator dapat dipertanggungjawabkan secara pidana jika tidak terdapat fakta, (1) no liability where consequences unintended and not foreseen as certain; (2) recklessness as to consequence insufficient , dan (3) party no liable for conspiracy if he believed that the required circumstance would not exist at the time of the intended conduct.

Jika tiga fakta hukum terungkap dalam sidang pengadilan, conspirator tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Berdasarkan uraian ini, tafsir hukum permufakatan jahat menurut sistem hukum Inggris (UU Pidana Tahun 1977) lebih luas dan rinci dari ketentuan KUHP Indonesia.

Berdasarkan uraian tersebut dalam UU Pidana 1977 (Inggris), ada permufakatan saja bukan merupakan “sufficient factor“, melainkan hanya bersifat “necessary factor“ yang masih diperkuat dengan alat bukti lain. KUHP Belanda Tahun 1996 telah mencantumkan konsep permufakatan jahat dalam Pasal 80: “from the moment two or more persons agree to commit a serious crime, this constitutes conspiracy“.

Perbedaan dengan ketentuan Pasal 88 KUHP Indonesia bahwa permufakatan jahat harus ditujukan terhadap kejahatan serius seperti terorisme, narkoba, atau korupsi. Sedangkan dalam Pasal 88 KUHP Indonesia tidak secara khusus ditujukan terhadap tindak pidana tertentu, di mana dinyatakan: “dikatakan ada permufakatan jahat apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan“.

Di dalam Konvensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi Tahun 2000 yang telah diratifikasi dengan UU RI Nomor 5 Tahun 2009, yang meliputi antara lain, tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang, telah membedakan konsep permufakatan jahat antara sistem hukum Common Law dan Civil Law.

Common Law Conspiracy Model yang telah diadopsi menjadi “statutory conspiracy “ (UU Pidana Inggris 1977) mendefinisikan, permufakatan jahat (conspiracy): “Agreeing withone or more persons to commit a serious crime for a purpose relating directly or indirectly to the obtaining of a financial or other material benefit.”

Sekalipun model conspiracy Common Law, Glanville selanjutnya menegaskan, “this offence criminalize the mere agreement to commit serious crimes“, tetapi penerapan hukum ketentuan tersebut harus merujuk pada penemuan tiga faktor yang kesengajaan pada conspiracy di atas. Civil Law Conspiracy Model mendefinisikan permufakatan jahat; “Conduct by a person or persons, who, with knowledge of either the aim and general criminal activity...takes an active part in that criminal activity“.

Petunjuk legislatif tersebut menegaskan bahwa, “..the Civil Law legal tradition ... do not recognize conspiracy or do not allow the criminalization of mere agreements to commit offences“. Petunjuk legislatif tersebut semakin meyakinkan bahwa terdapat perbedaan signifikan konsep permufakatan jahat dalam sistem hukum Civil Law in casu KUHP Indonesia 1946 dan KUHP Belanda 1996 dibandingkan dengan sistem hukum Common Law in casu KUHP Inggris 1977.

Konsep permufakatan jahat itu sendiri, jika hanya dicukupkan ada kesepakatan antara para conspirator, dari aspek filosofi hukum pidana dan nalar abstraksi-logis bertentangan dengan prinsip, “daad-dader strafrecht“, dan doktrin mengenai “geen straf zonder schuld“ asas kesalahan (culpability principle).

Peristiwa pertemuan MS(FI), SN, dan MR masih perlu dikaji lebih dalam karena beberapa hal yaitu: Pertama, penggunaan sarana elektronik untuk merekam pembicaraan segitiga yang tidak berlangsung secara terbuka (privasi). Kedua, status hukum konten rekaman yang diperoleh secara ilegal dan telah disebarluaskan kepada publik melalui media cetak dan elektronik.

Mengapa demikian? Hal ini disebabkan: Pertama, lahirnya KUHP Tahun 1981 didorong antara lain untuk menempatkan tersangka/terdakwa sebagai subjek hukum yang wajib memperoleh hak asasi yang dilindungi oleh konstitusi UUD 1945.  Kedua, filosofi KUHAP 1981 yang bertujuan perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Umum KUHAP,
butir 1 alinea keempat, angka 2 dan angka 3—dan sepuluh asas-asas pembentukan KUHAP, menunjukkan bahwa KUHAP 1981 menganut “due process model “ dan menolak “crime control model“ (The Limits of Criminal Sanction, 1986) yang telah dianut Het Herziene Inlands Reglement (HIR) selama 35 tahun dalam sistem peradilan pidana Indonesia.

Ketiga, Pasal 183 KUHAP menegaskan bahwa alat bukti harus diperoleh secara sah yaitu minimal dua alat bukti. Hal ini harus diartikan bahwa perolehan alat bukti sebagaimana dimaksud pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku yang khusus mengatur tentang penyadapan/ perekaman berdasarkan perintah UU.

Penulis masih berpendapat bahwa perbuatan merekam yang telah dilakukan oleh MS (FI) tanpa pengetahuan/seizin SN dan MR di mana MS (FI) termasuk penyadapan ilegal (illegal/unlawfull wiretapping) sehingga bukti rekaman menjadi tidak sah secara hukum. Wiretapping adalah “electronic or mechanical eaves dropping, done by law enforcement officers under court order to listen to private conversations“ (Blacks Law Dictionary, 1993).

Penggunaan wiretapping diperbolehkan sepanjang terdapat “probable cause to believe that a particular offense has been or is being committed,” dan dugaan tersebut harus secara jelas dicantumkan dalam surat perintah pengadilan (Encyclopedia of Crime and Justice, 1983, Vol4).

Bagaimana pertemuan segitiga MS (FI), SN, dan MR dapat dipandang sebagai ada “probable cause to believe“ bahwa suatu tindak pidana telah atau sedang dilakukan sehingga diperlukan penyadapan sekalipun tanpa perintah UU dan dilakukan bukanolehpihakyangberwenang menurut UU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar