Permufakatan Jahat
Romli Atmasasmita ; Profesor Emeritus Universitas Padjadjaran;
Guru Besar Tetap Universitas
Pasundan
|
KORAN
SINDO, 12 Januari 2016
Sejarah permufakatan jahat atau conspiracy atau samenspaning
pada awal mulanya ditujukan untuk menghadapi kejahatan serius yang dilakukan
organisasi kejahatan terutama setelah lahirnya Konvensi PBB Menentang
Kejahatan Transnasional Terorganisasi 2000 (UN Convention Against Transnational Organized Crimes).
Penanganan peristiwa pertemuan MS (FI), SN, dan seorang
pengusaha MR dengan dugaan permufakatan jahat merupakan langkah progresif
karena dari personel pertemuan segitiga mereka tidak termasuk anggota
organisasi kejahatan, tetapi termasuk penyelenggara negara dan pimpinan
korporasi dan swasta lainnya.
Penangan peristiwa tersebut telah
memunculkan kembali konsep permufakatan jahat (sammenspaning/conspiracy). Konsep ini telah merupakan norma dalam
sistem hukum pidana Indonesia (KUHP) yang dicantumkan dalam Pasal 88. Isinya
yaitu “Dikatakan ada permufakatan jahat
apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan”.
Dalam konsep “common law
of conspiracy“ yang telah diadopsi ke dalam UU Hukum Pidana Inggris Tahun
1977 yang disebut “statutory conspiracy “, dalam section 1 (1): permufakatan
jahat (conspiracy): “if a person agrees with any other person
or persons that a course of conduct shall be pursued which, if the agreement
is carried out in accordance with their intentions, either:
(a) will
necessarily amount to or involve the commission of any offence or offences by
one or more of the parties to the agreement; or (b) would do so but for the
existence of facts which render the commission of the offence or any of the
offences impossible; he is guilty of conspiracy to commit offence or offences
in question“.
Jika diperbandingkan dua ketentuan tersebut di atas dalam dua
sistem hukum, jelas konsep permufakatan jahat dalam sistem hukum Common Law-KUHP Inggris 1997 lebih
rinci/lengkap daripada KUHP Indonesia. Hal ini tampak dari section 1 (1)
huruf (b) yang menegaskan bahwa sekalipun kejahatan yang telah disepakati
tidak terjadi, tetap saja inisiator dan pihak dalam permufakatan tersebut
dapat dituntut pidana.
Sedangkan Pasal 88 KUHP hanya menegaskan permufakatan jahat jika
ada dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan dan tidak ada
klausul lain di dalam ketentuan tersebut sehingga ketika ada dugaan terjadi
permufakatan jahat, tidak mudah dalam penerapan hukumnya, dan sering
ditafsirkan keliru bahwa niat jahat (mens-rea)
telah terjadi ketika telah terjadi kesepakatan akan melakukan kejahatan secara
implisit, tetapi bukan eksplisit.
Apakah benar demikian?
Glanville Williams dalam Textbook
of Criminal Law (1983) menegaskan bahwa dalam menafsirkan perbuatan
permufakatan jahat masih diperlukan unsur “mensrea“ yaitu kesengajaan (intention), sebagaimana ditegaskan: “It was said that the mental element
required for conspiracy is basically one of intention“, dan terhadap
unsur sengaja terdapat dua tafsir perluasan: Bahwa pada conspirator adanya harapan atau pandangan ke depan bahwa ada
kepastian (kejahatan akan terjadi dilakukan) atau foresight of certainty, dan kelalaian mengenai situasi/keadaan
atau recklessness as to circumstances.
Untuk membuktikan bahwa conspirator dapat dipertanggungjawabkan
secara pidana jika tidak terdapat fakta, (1) no liability where consequences unintended and not foreseen as
certain; (2) recklessness as to
consequence insufficient , dan (3) party no liable for conspiracy if he
believed that the required circumstance would not exist at the time of the
intended conduct.
Jika tiga fakta hukum terungkap dalam sidang pengadilan, conspirator tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana. Berdasarkan uraian ini, tafsir hukum
permufakatan jahat menurut sistem hukum Inggris (UU Pidana Tahun 1977) lebih
luas dan rinci dari ketentuan KUHP Indonesia.
Berdasarkan uraian tersebut dalam UU Pidana 1977 (Inggris), ada
permufakatan saja bukan merupakan “sufficient
factor“, melainkan hanya bersifat “necessary
factor“ yang masih diperkuat dengan alat bukti lain. KUHP Belanda Tahun
1996 telah mencantumkan konsep permufakatan jahat dalam Pasal 80: “from the moment two or more persons agree
to commit a serious crime, this constitutes conspiracy“.
Perbedaan dengan ketentuan Pasal 88 KUHP Indonesia bahwa
permufakatan jahat harus ditujukan terhadap kejahatan serius seperti
terorisme, narkoba, atau korupsi. Sedangkan dalam Pasal 88 KUHP Indonesia
tidak secara khusus ditujukan terhadap tindak pidana tertentu, di mana
dinyatakan: “dikatakan ada permufakatan
jahat apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan“.
Di dalam Konvensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional
Terorganisasi Tahun 2000 yang telah diratifikasi dengan UU RI Nomor 5 Tahun
2009, yang meliputi antara lain, tindak pidana korupsi dan tindak pidana
pencucian uang, telah membedakan konsep permufakatan jahat antara sistem
hukum Common Law dan Civil Law.
Common Law
Conspiracy Model yang telah diadopsi menjadi
“statutory conspiracy “ (UU Pidana Inggris 1977) mendefinisikan, permufakatan
jahat (conspiracy): “Agreeing withone or more persons to
commit a serious crime for a purpose relating directly or indirectly to the
obtaining of a financial or other material benefit.”
Sekalipun model conspiracy
Common Law, Glanville selanjutnya menegaskan, “this offence criminalize the mere agreement to commit serious
crimes“, tetapi penerapan hukum ketentuan tersebut harus merujuk pada
penemuan tiga faktor yang kesengajaan pada conspiracy di atas. Civil
Law Conspiracy Model mendefinisikan permufakatan jahat; “Conduct by a person or persons, who, with
knowledge of either the aim and general criminal activity...takes an active
part in that criminal activity“.
Petunjuk legislatif tersebut menegaskan bahwa, “..the Civil Law legal tradition ... do not
recognize conspiracy or do not allow the criminalization of mere agreements to
commit offences“. Petunjuk legislatif tersebut semakin meyakinkan bahwa
terdapat perbedaan signifikan konsep permufakatan jahat dalam sistem hukum
Civil Law in casu KUHP Indonesia 1946 dan KUHP Belanda 1996 dibandingkan
dengan sistem hukum Common Law in casu
KUHP Inggris 1977.
Konsep permufakatan jahat itu sendiri, jika hanya dicukupkan ada
kesepakatan antara para conspirator, dari aspek
filosofi hukum pidana dan nalar abstraksi-logis bertentangan dengan prinsip, “daad-dader strafrecht“, dan doktrin
mengenai “geen straf zonder schuld“
asas kesalahan (culpability principle).
Peristiwa pertemuan MS(FI), SN, dan MR masih perlu dikaji lebih
dalam karena beberapa hal yaitu: Pertama, penggunaan sarana elektronik untuk
merekam pembicaraan segitiga yang tidak berlangsung secara terbuka (privasi).
Kedua, status hukum konten rekaman yang diperoleh secara ilegal dan telah
disebarluaskan kepada publik melalui media cetak dan elektronik.
Mengapa demikian? Hal ini disebabkan: Pertama, lahirnya KUHP
Tahun 1981 didorong antara lain untuk menempatkan tersangka/terdakwa sebagai
subjek hukum yang wajib memperoleh hak asasi yang dilindungi oleh konstitusi
UUD 1945. Kedua, filosofi KUHAP 1981
yang bertujuan perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa sebagaimana
tercantum dalam Penjelasan Umum KUHAP,
butir 1 alinea keempat, angka 2 dan angka 3—dan sepuluh
asas-asas pembentukan KUHAP, menunjukkan bahwa KUHAP 1981 menganut “due
process model “ dan menolak “crime control model“ (The Limits of Criminal Sanction, 1986) yang telah dianut Het Herziene Inlands Reglement (HIR)
selama 35 tahun dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
Ketiga, Pasal 183 KUHAP menegaskan bahwa alat bukti harus
diperoleh secara sah yaitu minimal dua alat bukti. Hal ini harus diartikan
bahwa perolehan alat bukti sebagaimana dimaksud pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP
harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku yang
khusus mengatur tentang penyadapan/ perekaman berdasarkan perintah UU.
Penulis masih berpendapat bahwa perbuatan merekam yang telah
dilakukan oleh MS (FI) tanpa pengetahuan/seizin SN dan MR di mana MS (FI)
termasuk penyadapan ilegal (illegal/unlawfull
wiretapping) sehingga bukti rekaman menjadi tidak sah secara hukum.
Wiretapping adalah “electronic or
mechanical eaves dropping, done by law enforcement officers under court order
to listen to private conversations“ (Blacks
Law Dictionary, 1993).
Penggunaan wiretapping diperbolehkan sepanjang terdapat “probable cause to believe that a
particular offense has been or is being committed,” dan dugaan tersebut
harus secara jelas dicantumkan dalam surat perintah pengadilan (Encyclopedia of Crime and Justice, 1983,
Vol4).
Bagaimana pertemuan segitiga MS (FI), SN, dan MR dapat dipandang
sebagai ada “probable cause to believe“
bahwa suatu tindak pidana telah atau sedang dilakukan sehingga diperlukan
penyadapan sekalipun tanpa perintah UU dan dilakukan
bukanolehpihakyangberwenang menurut UU. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar