Pengambilalihan
Freeport
Fahmy Radhi
; Dosen UGM; Bekas Anggota Tim Anti-Mafia
Migas
|
KORAN
TEMPO, 04 Januari 2016
Terbongkarnya skandal
persekongkolan perpanjangan Kontrak Karya (KK) Freeport baru-baru ini
sesungguhnya merupakan momentum yang tepat bagi Presiden Joko Widodo untuk
mengambil alih dan mengembalikan Freeport ke pangkuan Ibu Pertiwi. Pasalnya,
selain persekongkolan itu berpotensi merugikan negara, hasil penambangan
Freeport selama ini jauh lebih menguntungkan bagi PT Freeport Indonesia (PT
FI) ketimbang untuk Indonesia.
Laporan keuangan
Freeport-McMoRan per September 2015 menunjukkan bahwa PT FI telah menjual 891
ribu ons emas dan 549 juta pon tembaga. Dengan asumsi rata-rata harga emas
pada 2015 sebesar US$ 1.149 per ons dan harga tembaga US$ 2,45 per pon, PT FI
meraup hasil penjualan dari kedua komoditas tersebut sebesar US$ 2,36 miliar.
Tapi pendapatan yang diterima Indonesia hanya US$ 539 juta, yang berasal dari
royalti dan pajak, sedangkan dividen tidak pernah dibayarkan selama tiga
tahun terakhir ini.
Selain itu, PT FI
telah merusak lingkungan yang amat masif dan pelanggaran HAM berat terhadap
rakyat Papua. PT FI juga telah mengingkari kewajibannya untuk mendivestasi
saham kepada Indonesia hingga mencapai 30 persen. Bahkan PT FI telah
melanggar UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara, yang
mewajibkan perusahaan pertambangan membangun smelter untuk mengolah
konsentrat di smelter dalam negeri. Faktanya, PT FI tetap saja mengekspor
konsentrat emas dan perak tanpa harus dimurnikan di smelter dalam negeri.
Adanya potensi
kerugian negara dan tidak sebandingnya penerimaan antara negara dan PT FI
serta pelanggaran yang dilakukan PT FI dapat dijadikan justifikasi bagi
pemerintah Jokowi untuk mengambil alih pengelolaan Freeport. Pengambilalihan
ini juga menunjukkan upaya pemerintah untuk mengelola Freeport sesuai dengan
amanah konstitusi UUD 1945 Pasal 33 yang menyatakan bahwa "Bumi, air,
dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".
Paling tidak ada tiga
alternatif yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah dalam pengambilalihan
Freeport, yakni nasionalisasi, divestasi, dan pengambilalihan pada 2021.
Memang, Presiden Sukarno pernah menasionalisasi sejumlah perusahan Belanda
untuk dijadikan badan usaha milik negara tanpa risiko dan resistansi yang
berarti bagi Indonesia. Namun, di era globalisasi, nasionalisasi bukan
alternatif yang tepat bagi Indonesia untuk mengambil alih Freeport. Selain akan
diadukan ke Arbitrase Internasional, Indonesia akan dikucilkan oleh
negara-negara lain. Bahkan tidak menutup kemungkinan tentara Amerika Serikat
akan menyerang dan menduduki Papua Barat jika pemerintah Indonesia nekat
menasionalisasi pada saat KK Freeport belum berakhir.
Alternatif divestasi
untuk pengambilalihan Freeport dinilai juga tidak menguntungkan bagi negara.
Pertama, meskipun harga saham Freeport di Bursa New York (FCX) sedang
terpuruk hingga turun menjadi US$ 8,33 per saham pada November 2015, tetap
saja dibutuhkan dana sangat besar untuk membeli saham FCX hingga kepemilikan
Indonesia mencapai 51 persen. Kedua, pengambilalihan mayoritas saham FCX
berarti juga mengambil alih utang Freeport. Padahal saat ini utang (debt) Freeport sudah lebih besar
dibanding modal sendiri (equity)
dengan debt to total ratio minus 189,09 persen. Ketiga, adanya divestasi
mayoritas saham FCX dapat dijadikan justifikasi bahwa pada 2021 KK Freeport
akan diperpanjang hingga berakhir pada 2041.
Barangkali,
pengambilalihan Freeport pada 2021 merupakan alternatif yang paling tepat
dengan risiko dan biaya minimal. Pemerintah tidak perlu mengeluarkan dana
besar untuk membiayai pengambilalihan itu, kecuali tambahan dana investasi
perluasan area penambangan. Di samping itu, tidak ada alasan sama sekali bagi
Freeport-McMoRan untuk mengadukan Indonesia ke Arbitrase Internasional atas
pengambilalihan Freeport pada 2021. Pemerintah AS semestinya juga akan
berpikir ulang untuk menyerang dan menduduki Papua Barat jika pengambilalihan
Freeport dilakukan pada saat KK Freeport sudah berakhir.
Dalam proses
pengambilalihan Freeport, pemerintah Jokowi harus mengirimkan isyarat
"Stop Perpanjangan KK Freeport 2021". Isyarat itu dituangkan dalam
Revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara, yang salah satu pasalnya
menyebutkan bahwa tidak ada perpanjangan bagi perusahaan tambang mineral dan
batu bara yang sudah beroperasi selama lebih 50 tahun. Dua tahun sebelum KK
Freeport berakhir pada 2019, siapa pun presidennya harus memutuskan secara
resmi pengambilalihan Freeport yang akan dilakukan pada 2021. Selanjutnya
pengelolaan Freeport diserahkan sepenuhnya kepada BUMN, yang 100 persen
sahamnya dikuasai oleh negara.
Tanpa pengambilalihan
Freeport pada 2021, skandal persekongkolan yang merugikan negara dan
perusakan lingkungan serta pelanggaran undang-undang dan HAM berat terhadap
rakyat Papua akan tetap berlangsung
secara berkelanjutan. Ironisnya, rakyat Papua akan tetap saja hidup di bawah
garis kemiskinan di tengah "perampokan legal" emas dan perak dari
Bumi Papua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar