Rabu, 06 Januari 2016

Menggurui, Mempolisikan, Menyopir dan Memiloti

Menggurui, Mempolisikan, Menyopir dan Memiloti

  Holy Adib  ;  Wartawan HALUAN dan Pemerhati Bahasa Indonesia
                                                       HALUAN, 05 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ketika seseorang yang mengajarkan sesuatu ber­maksud untuk bersikap ren­dah hati, ia akan menga­ta­kan kepada orang yang di­ajar­kannya bahwa ia tidak menggurui, tapi hanya ber­bagi penge­tahuan atau pengalaman.

Kata menggurui lazim digu­nakan oleh masyarakat kita dalam petuturan sehari-hari. Walau menggurui ter­da­pat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), namun lema tersebut perlu ditinjau ulang. 

Seperti yang kita keta­hui, menggurui berasal dari kata dasar guru. Dalam KB­BI Pusat Bahasa Edisi Ke­empat, menggurui berarti menjadikan dirinya sebagai guru (dengan mengajari, menasihati, dan seba­gai­nya). Contoh kalimat yang dituliskan KBBI terkait kata tersebut: saudara tidak perlu menggurui kami.
Apabila kita melihat sepintas lalu, tidak ada yang salah dengan kata  menggurui. Namun, ada yang terasa janggal jika kita memandang  menggurui dari unsur kata pembentuknya. Guru merupakan kata ben­da, sementara menggurui adalah kata kerja. Dalam KBBI, guru berarti orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. Dari definisi itu, guru berarti suatu profesi, lebih dari sekadar peker­jaan. Dalam konteks profesi atau pekerjaan ini, janggal rasa­nya jika kata benda menjadi kata kerja. 

Kejanggalan itu terlihat apabila guru diganti dengan dosen. Meski guru dan dosen memiliki tugas yang sama, yakni mengajar, (bedanya guru mengajar di sekolah, sementara dosen me­ngajar di perguruan ting­gi), namun selama ini belum ada orang yang mengatakan mendoseni.

Memang, pengguna kata menggurui mungkin tidak merujuk kata itu dari definisi guru sebagai profesi, tapi diambil dari pengertian guru secara luas. Namun demikian, tetap saja terasa keliru apabilamenggurui dijadikan kata kerja. Pada­hal, banyak kata yang bisa menggatikannya, antara lain, mengajari, menasihati, mendidik, dan memberikan ilmu.

Mari kita uji keanehan kata menggurui. Bisakah semua profesi atau pekerjaan menjadi kata kerja jika diberi imbuhan? Bisakah dokter menjadi mendokteri, polisi menjadi mempo­lisi­kan, dan  wartawan menjadi mewartawani? Jika pola perubahan kata benda tadi bisa diterima menjadi kata kerja seperti yang terjadi pada kasus menggurui, maka seharusnya mendokteri bisa diartikan sebagai mengo­bati, karena pekerjaan dok­ter adalah mengobati. Lalu, mempolisikan dapat dimak­nai sebagai  menangkap, sebab salah satu tugas polisi adalah menangkap pelang­gar undang-undang. Begitu juga dengan mewar­tawan­kan, yang seharusnya bisa didefinisikan sebagai mem­be­ritakan. Akan tetapi, ke­nya­taannya tidak begitu. Mendokterimempolisikan, dan mewartawankan ada­lah bentuk salah kaprah berbahasa, seperti halnya menggurui.

Mempolisikan

Kata Mempolisikan ja­mak dipakai oleh penutur bahasa Indonesia, termasuk wartawan. Di media massa, kata mempolisikan (kata kerja aktif) atau dipolisikan (kata kerja pasif), biasanya dipakai dalam berita yang berkaitan dengan masalah hukum. Apabila seseorang melaporkan lawannya ke polisi, maka wartawan yang meliput bidang hukum dan kriminal memilih diksi mempolisikan saat menulis berita pelaporan itu.

Saya tidak tahu apakah kata mempolisikan adalah bahasa wartawan atau baha­sa polisi. Jika mempolisikan adalah bahasa polisi, lalu wartawan mengutipnya, ma­ka kacaulah bahasa dalam berita surat kabar, sebab berbahasa yang benar me­mang bukan bidang polisi, sedangkan wartawan adalah pihak yang seharusnya me­mahami bahasa, setidaknya daripada polisi. Sebaliknya, apabila mempolisikan ada­lah bahasa wartawan, itu menunjukkan kacaunya pe­nge­tahuan wartawan yang bersangkutan terhadap ba­ha­sa sehingga menggunakan saja kata yang sudah umum dipakai, tanpa merasa perlu mencari tahu apakah kata tersebut benar atau salah, terdapat dalam kamus atau tidak. Mengenai peng­gu­naan kata-kata yang berbau bahasa polisi, kebanyakan wartawan menggunakan isti­lah dari polisi “bulat-bulat” tanpa mesti berpikir, apa­lagi mengkritiknya sebelum menggunakannya, walau bahasa itu menabrak logika bahasa.

Kembali ke persoalan makna mempolisikan. Jika kita mengurai kata  mempolisikan, maka arti yang kita temukan adalah men­jadikan polisi. Makna itu saya simpulkan dari penger­tian menggurui dalam KB­BI, bahwa menggurui  ber­arti menjadikan dirinya se­ba­gai guru. Kalau akhiran –i itu diganti dengan –kan, maka menggurukan orang lain berarti menjadikan orang tersebut sebagai guru. Jadi, apabila seseorang mem­polisikan lawannya ke­pada polisi, itu berarti ia tidak melaporkan atau me­ngadukan lawannya kepada polisi, tapi membuat la­wan­nya menjadi polisi.

Menyopir

Contoh kasus yang sama dengan kata menggurui dan mempolisikan adalah kata menyopir. Semua orang su­dah tahu bahwa menyopir yang berasal dari kata sopir, berarti mengendarai atau mengemudikan mobil.

Menyopir diakui oleh KBBI sebagai kata kerja. Ada dua kata kerja yang diambil oleh KBBI dari kata sopir, yakni menyopir yang berarti mengemudikan mo­bil, dan menyopiri yang ber­arti menjadi sopir pada (mobil dan sebagainya); mengendarai; me­nge­mu­di­kan; menjalankan. Pada dua kata kerja tersebut, KBBI mengkhususkan kata kerja menyopir hanya untuk mo­bil. Padahal, pada kata da­sar­nya, KBBI menyebutkan bahwa sopir tidak hanya pengemudi mobil. Menurut KBBI, sopir adalah juga pengemudi mobil (bemo dan sebagainya). KBBI men­­contohkan pemakaian kata sopir juga untuk becak, yakni pengemudi becak atau tukang becak.

Saya tidak ingin me­ngo­mentari perihal tidak kon­sistennya KBBI dalam mem­berikan arti sopir pada kata dasar sopir dan menyopir dan menyopiri. Saya ingin mengomentari perihal kata dasar sopir yang dijadikan menyopir  dan menyopiri oleh KBBI. Hal yang terjadi pa­da kata menyopir, juga terja­di pada kata memiloti. Pilot, yang dalam KBBI berarti pengemudi pesawat terbang; penerbang, menjadi memiloti sebagai kata turu­nan dari pilot. Menurut KBBI, memiloti berarti men­­jadi pilot pada (dari); mengemudikan (pesawat terbang).

Kalau sopir bisa menjadi menyopir dan pilot menjadi memiloti, seharusnya ma­sinis (pengemudi loko­motif) juga bisa menjadi memasinis atau memasinisi, kusir (orang yang menjalankan kereta kuda seperti andong dan dokar) menjadi mengan­dong atau mendokarnah­koda (pengemudi kapal laut) menjadi menahkodai dan setiap pekerjaan bisa menjadi kata kerja yang kata dasarnya diambil ber­da­sar­kan penyebutan pekerjaan tersebut. Akan tetapi, dalam KBBI tidak ada kata mema­sinis, mengandong atau mendokar  dan  menahkodai.

Jadi, mengguruimem­po­lisikanmenyopir, dan memiloti adalah kata benda yang dipaksa menjadi kata kerja sehingga menim­bul­kan tabrakan logika bahasa. Padahal kita mengetahui bahwa sesuatu yang dipak­sakan biasanya meng­ha­sil­kan sesuatu yang tidak baik.

Khusus untuk mempo­lisi­kan, seandainya mem­polisikan benar sebagai kata kerja, seharusnya mempo­lisikan ditulis memolisikan seperti yang terjadi pada menyopir dan memiloti, ka­re­na di sana berlaku hukum peluluhan terhadap konso­nan K, P, S dan T.

Jadi, meski menggurui, menyopir dan memiloti ter­dapat dalam KBBI, kita tidak harus menerima kata tersebut begitu saja. Segala sesuatu yang terasa janggal atau menyimpang dari atu­ran, mesti kita tinjau ulang dengan semangat mencari kebenaran, termasuk kebe­naran bahasa.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar