Gerakan Percepatan Tanam
Toto Subandriyo ; Pengamat Ekonomi Pertanian;
Lulusan IPB dan Pascasarjana
Unsoed
|
KOMPAS,
16 Januari 2016
Meski saat ini kita telah berada di awal 2016, curah hujan di
beberapa daerah masih sangat kecil sehingga para petani belum melakukan
ritual tanam padi. Fenomena El Nino telah mengakibatkan kemarau
berkepanjangan sehingga aktivitas pertanaman padi di sejumlah wilayah
terpaksa mundur beberapa bulan.
Menurut prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika,
awal musim hujan 2015/2016 mulai November 2015 terjadi di 139 zona musim atau
40,6 persen, dan mulai Desember 2015 sebanyak 103 zona musim (30,1 persen).
Dibandingkan rata- rata 30 tahun (1981-2010), awal musim hujan 2015/2016
sebagian besar (74,9 persen) mundur.
Negara kita sebenarnya sudah berkali-kali mengalami bencana
kekeringan yang dipicu fenomena El Nino. Namun, kemampuan untuk mendeteksi
secara dini dan akurat terhadap fenomena tersebut sangat lemah. Akurasi
ramalan baru diketahui 3-4 bulan sebelum fenomena itu benar-benar terjadi.
Kesulitan seperti inilah yang membuat langkah antisipasi terhadap dampak yang
ditimbulkan selalu terlambat.
Antisipasi pemerintahan Orde Baru di bawah kendali Presiden
Soeharto saat negara ini dilanda bencana kekeringan pada 1997/1998 sangat
terlambat. Kegagalan panen ratusan ribu hektar tanaman padi mengakibatkan
krisis beras yang parah. Kondisi krisis beras itu kemudian menjadi bola liar
yang memicu gejolak sosial di masyarakat.
Rekor jumlah impor beras lebih dari 5 juta ton yang belakangan
dilakukan pemerintah juga tidak mampu menyelamatkan keadaan. Kondisi itu
diperparah oleh krisis ekonomi dunia yang mulai menyapa. Angka inflasi tak
terkendali bahkan menggila. Kerusuhan sosial pecah di mana-mana, termasuk di
pusat pemerintahan. Ibu kota Jakarta lumpuh karena kerusuhan sosial dan
penjarahan.
Pemerintahan Orde Baru harus membayar mahal atas keterlambatan
antisipasi tersebut. Sejarah pun mencatat, rezim yang sangat berkuasa selama
32 tahun itu tumbang secara tragis.
Fenomena
gerontokrasi
Kegagalan panen puluhan ribu bahkan ratusan ribu hektar tanaman
pangan serta mundurnya waktu tanam akibat bencana kekeringan yang
berkepanjangan harus segera disikapi pemerintah. Bayang-bayang krisis beras
telah mengancam di depan mata. Oleh karena itu, produksi pangan yang hilang
tersebut harus segera dikompensasi melalui rekayasa sosial percepatan tanam
secara nasional.
Pemerintah harus segera membentuk dan menggerakkan satuan tugas
(satgas) percepatan tanam dari tingkat pusat hingga desa. Tugas satgas
tersebut adalah merencanakan dan mengorganisasikan pelaksanaan percepatan
tanam di semua lini.
Banyak permasalahan yang harus segera dipecahkan
untukpelaksanaan percepatan tanam ini. Pertama, kurangnya tenaga kerja.
Keluhan yang banyak dilontarkan oleh kelompok tani pada saat rapat koordinasi
Dewan Ketahanan Pangan beberapa tahun terakhir adalah kurangnya tenaga kerja.
Telah terjadi fenomena gerontokrasi di sektor pertanian, di mana komposisi
ketenagakerjaan didominasi oleh kaum tua yang tidak produktif. Para pemudanya
banyak yang meninggalkan desa untuk mengadu nasib di kota.
Ketika lahan sawah mereka sudah siap untuk diolah, mereka
kesulitan mencari tenaga pengolah tanah. Ketika sawah mereka telah siap untuk
ditanami, mereka kesulitan untuk memperoleh tenaga tanam. Untuk mengatasi
permasalahan ini, mau tidak mau, suka tidak suka, program mekanisasi harus
segera dimasyarakatkan.
Pemerintah harus menyediakan dan memobilisasi alat mesin
pertanian untuk pengolahan tanah dan tanam, seperti pompa air, traktor
tangan, dan mesin tanam (transplanter). Alat mesin pertanian ini harus
disesuaikan dengan spesifik lokasi, karena selama ini banyak alat mesin tanam
bantuan pemerintah pusat tidak sesuai dengan karakteristik lokasi, akhirnya
alat tersebut banyak yang mangkrak.
Kedua, ketersediaan sarana produksi. Program percepatan tanam
serentak ini membutuhkan penyediaan sarana produksi, seperti benih, pupuk,
dan obat- obatan, dalam jumlah dan kualitas yang mencukupi dan tepat waktu.
Untuk benih, selain dipilih varietas yang tahan hama dan penyakit, juga harus
berumur genjah. Hal ini dimaksudkan agar umur panen bisa dipersingkat untuk
mengejar tanam musim gadu.
Permasalahan administratif yang selalu menjadi kendala dalam
pendistribusian pupuk bersubsidi harus segera dituntaskan. Pengalaman empiris
tahun-tahun sebelumnya, pergantian tahun anggaran membuat distribusi pupuk
bersubsidi untuk sektor pertanian tidak bisa tepat waktu. Hal itu disebabkan
karena peraturan menteri terkait dan peraturan gubernur/bupati/wali kota
terlambat diterbitkan.
Di sisi lain peraturan tersebut digunakan sebagai dasar
penentuan alokasi masing-masing kelompok tani yang dituangkan dalam rencana
definitif kebutuhan kelompok. Selain itu, peraturan tersebut juga menjadi
dasar bagi para petugas lapangan untuk melakukan verifikasi dan validasi
penyaluran pupuk bersubsidi. Keterlambatan terbit peraturan tersebut di satu
lini akan memengaruhi proses di lini bawahnya.
Ketiga, manajemen air irigasi. Terbatasnya volume air irigasi di
awal musim hujan jadi kendala dalam pengolahan dan penanaman. Oleh karena
itu, diperlukan sistem irigasi yang merata dan berkeadilan. Perlu dilakukan
mobilisasi pompa air antardaerah dan antarpetak irigasi dengan mengaktifkan
peran dari Gabungan Kelompok Tani dan Perkumpulan Petani Pemakai Air /Dharma
Tirta.
Asuransi
pertanian
Keempat, perlu diwaspadai adanya ledakan organisme pengganggu
tanaman. Perilaku iklim seperti sekarang ini sangat berpotensi memicu
eksplosi serangan hama penyakit tanaman tertentu, utamanya wereng batang
coklat, penggerek batang padi, serta tikus. Untuk itu, pemerintah daerah
perlu membentuk dan mengaktifkan kembali peran brigade proteksi tanaman di
semua lini.
Kelima, penyebaran informasi prakiraan iklim. Hal ini penting
dilakukan agar daerah melakukan berbagai antisipasi jauh hari sebelum
terjadinya bencana. Misalnya melakukan pemetaan wilayah rawan kering dan
banjir, serta penguatan sistem kelembagaan petani dalam hal antisipasiiklim
yang menyimpang.
Akhirnya, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013
tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, para petani harus mendapatkan
perlindungan dari berbagai permasalahan yang mereka hadapi. Permasalahan
tersebut antara lain kesulitan memperoleh sarana produksi, ketersediaan lahan,
kepastian usaha,risiko harga, kegagalan panen, praktik ekonomi biaya tinggi,
serta perubahan iklim. Untuk itu, sudah waktunya para petani mendapatkan
perlindungan dalam bentuk asuransi pertanian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar