Antisipasi Gafatar dan Kultus
Azyumardi Azra ; Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta;
Anggota Council on Faith, World
Economic Forum Davos
|
KOMPAS,
15 Januari 2016
Kehebohan mengenai Gerakan Fajar Nusantara tidak hanya
menyangkut menghilangnya sejumlah orang dan keluarga, tetapi juga terkait
ajaran dan praksisnya. Tidak diketahui pasti berapa jumlah orang yang
terekrut, tetapi melihat adanya cabang dari Aceh sampai Ternate, terindikasi
Gerakan Fajar Nusantara menyebar cukup luas.
Pemerintah, seperti dikatakan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo (14/1/2016), akan mengambil tindakan tegas
kepada Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang konon sudah dibubarkan ketua
umumnya, Mahful Muis Tumanurung sejak 13 Agustus 2015.
Ditemukannya dokter Rica dan anaknya di Pangkalan Bun,
Kalimantan Tengah, beserta masih banyaknya mereka yang menghilangkan diri
menunjukkan Gafatar tetap aktif pasca ”pembubaran diri” (self-declared disbandment).
”Millah”
Ibrahim: sinkretisme
Berdasarkan banyak sumber, baik dari Gafatar sendiri maupun yang
lain, hampir bisa dipastikan Gafatar adalah kecambah baru (offshoot) dan proliferasi dari paham
dan gerakan yang nyaris sama-dan-sebangun di masa sebelumnya. Gafatar adalah
transformasi dari atau berkaitan dengan Al
Qiyadah al Islamiyah pimpinan Ahmad Mussadeq yang ditetapkan sesat dalam
fatwa MUI Pusat (4 Oktober 2007). Pada 2008, Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan menjatuhkan hukuman empat tahun penjara atas Mussadeq karena terbukti
melakukan penodaan agama.
Mussadeq sebelumnya adalah figur penting Negara Islam Indonesia
Komandemen Wilayah (NII KW) IX. Mendirikan Al Qiyadah al Islamiyah yang kemudian menjadi organisasi
terlarang, Mussadeq selanjutnya menjadi penasihat Gafatar dan narasumber
dalam berbagai acara para pimpinan dan anggota Gafatar di sejumlah tempat
Indonesia.
Meski Gafatar
menyatakan berasas Pancasila, tetapi tujuan religio-politiknya tampaknya
adalah penciptaan Negara Kesatuan Tuhan Semesta Alam (NKSA) di Indonesia. Ini
mengindikasikan, Gafatar lebih daripada sekadar organisasi dengan berbagai
aksi sosial di sejumlah tempat di Tanah Air, tetapi memiliki tujuan akhir
penciptaan sebuah negara.
Langkah menuju pembentukan negara itu—seperti juga ada pada
kelompok dan organisasi lain—dimulai dengan perumusan doktrin teologis dan
ritual; penggalangan dana; pemberlakuan hijrah (dalam kasus dokter Rica, dari
Yogyakarta ke Pangkalan Bun); dan akhirnya pembentukan negara.
Sebagai organisasi ”agama”, Gafatar jelas terkait erat dengan
paham dan praksis ”millah Ibrahim” (agama Abrahamik), yang kemudian membentuk
Komunitas Millah Abraham (Komar). Maraknya respons dan kritik dari kalangan
ulama dan aktivis arus utama (mainstream)
terhadap pemahaman millah Ibrahim yang mereka anut, nama Komar kemudian
cenderung ditinggalkan untuk diganti dengan Gafatar.
Istilah millah Ibrahim
disebut dalam Al Quran sebanyak 10 kali yang terpencar dalam berbagai ayat.
Sesuai dengan latar belakang turun dan konteks ayat-ayat tersebut, jumhur (mayoritas)
ulama mainstream menyimpulkan bahwa
ketiga agama (Yahudi, Kristiani, dan Islam) memiliki keterkaitan dengan Nabi
Ibrahim (Abraham), yang merupakan salah satuulul
azmi, nabi utama.
Dalam akidah (keimanan) Islam, setiap dan seluruh Muslim wajib memercayai
Musa, Ibrahim, dan Isa Almasih sebagai nabi. Kitab suci yang dipegangi umat
Yahudi (Taurat/Perjanjian Lama) dan umat Kristiani (Injil/Perjanjian Baru)
wajib pula diimani Muslimin wahyu dari Allah.
Penulis menyebut ketiga agama sebagai ”kakak-adik” (siblings) yang selain memiliki
platform yang sama (dalam istilah Quran, kalimatun
sawa’), juga perbedaan. Masing-masing memiliki karakter sendiri, yang
tidak masuk akal untuk disatukan menjadi sebuah batang tubuh agama tunggal.
Di sinilah terletak kekeliruan Gafatar, yang dalam pemahaman dan praksis
”menyatukan” ketiga agama itu. Hasilnya adalah teologi, ibadah, dan praksis
keagamaan sinkretik.
Secara teopraksis, kredonya adalah ”Sepuluh Perintah Tuhan” (Ten Commandements) dari Tuhan kepada
Nabi Musa.Jika diringkas Sepuluh Perintah Tuhan itu mencakup; hanya menyembah
dan menghormati Tuhan—tidak membuat dan menyembah berhala; menguduskan Sabbath
(hari Sabtu); menghormati kedua orangtua; tidak berzina, mencuri, berdusta,
dan menginginkan hak milik orang lain.
Atas dasar inilah kemudian Gafatar mengajarkan pada para
anggotanya untuk merayakan Sabbath, hari ibadah bagi umat Yahudi dan juga
Kristiani. Kalau mau, mereka juga bisa juga merayakan hari
Jumat,saayidul-ayyamMuslim.
Dalam kaitan itu, Gafatar menolak rukun Islam. Memercayai hanya
salah satu dari dua kalimat syahadat dengan mengimani Allah, Gafatar menolak
beriman pada Nabi Muhammad. Mereka juga menolak rukun Islam lain, shalat lima
waktu, puasa Ramadhan, dan naik haji ke Mekkah. Sedangkan rukun Islam tentang
kewajiban zakat, tampaknya tetap mereka pegang—terkait penggalangan dana.
Kultus
heterodoks
Dari sudut sosiologi agama, Gafatar dan organisasi atau kelompok
pendahulunya tidak lain adalah kultus (cult)
yang solid. Gafatar bukanlah gerakan ”spiritualitas masa baru” (new age spirituality) yang jauh lebih
longgar. Baik kultus maupun new age
dapat marak sewaktu-waktu tergantung pada berbagai faktor yang memberikan
iklim kondusif bagi pertumbuhannya.
Kultus ditandai sejumlah ciri, karakteristik dan pendekatan:
kepemimpinan karismatik yang mampu memukau; penggunaan jargon perubahan paham
dan praksis keagamaan—dari yang lama yang dianggap menyimpang kepada ”yang
murni”; penciptaan ketundukan dan ketergantungan psikoreligius pengikut
beserta keluarganya kepada sang pemimpin dan lingkarannya.
Semua ini kemudian membentuk cara pandang dunia (world view)
tertentu yang mesti diimani, dipegangi, dan dilaksanakan para pengikut.
Keadaan ini selanjutnya menjadikan para pengikut sebagai obyek eksploitasi dan
kemauan pemimpin kultus. Dalam pandangan masyarakat umum, para pengikut
kultus, seperti Gafatar seolah telah kehilangan nalar sehat, sebagaimana
terlihat dalam kasus dokter Rica yang berpendidikan tinggi.
Kenapa selalu ada orang yang tampil sebagai pemimpin kultus?
Penyebabnya banyak sejak dari kontestasi kekuasaan dan pengaruh sampai pada
motif material keuangan dan harta benda.
Selain itu, kepemimpinan kultus bisa muncul dari dua macam sosok
pribadi. Pertama dari orang yang memiliki pengetahuan agama sesuai
ortodoksi—atau memiliki kredensial agama relatif memadai. Karena alasan
tertentu, dengan kredensialnya sosok bersangkutan cukup meyakinkan
memperkenalkan ajaran baru agama (atau agama-agama) yang menyimpang dari
ortodoksi atau heterodoks.
Kedua, bisa muncul dari sosok yang merasa lahir kembali sebagai
orang religius (religiously born again).
Orang seperti ini sering mengklaim sebagai telah mendapat ilham, petunjuk
atau perintah langsung dari Tuhan yang harus ia sampaikan pada warga
masyarakat atau umat beragama. Tidak memiliki kredensial keagamaan, orang
seperti ini bisa menjungkirbalikkan ortodoksi agama mapan.
Suasana sosial-keagamaan Indonesia— seperti juga di banyak
negara Barat—cukup rentan bagi muncul dan berkembangnya kultus semacam
Gafatar. Kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang terus mengalami
disrupsi dan disorientasi dapat menjadi lahan subur bagi sosok tertentu yang
menawarkan ”jalan pintas” pada orang atau umat beragama untuk mendapatkan
ketenangan dan kedamaian di dunia ini dan di akhirat kelak.
Karena itu, kepemimpinan ortodoksi agama patut mencermati
perkembangan umat masing-masing. Pada saat yang sama perlu penerapan
pendekatan baru yang lebih kontekstual untuk pembinaan umat supaya tidak
tersesat dalam kehidupan agama dan spiritualitas mereka.
Pada saat yang sama, pemerintah harus lebih proaktif dalam
mencermati dinamika kelompok agama atau kultus yang dapat menimbulkan
gangguan terhadap kehidupan agama dan sosial. Dengan begitu, pemerintah dapat
mempertahankan kehidupan keagamaan yang sehat, dinamis, dan rukun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar