5
Tantangan Ekonomi 2016
Berly Martawardaya ; Dosen FEB UI dan Ekonom Indef
|
KORAN
SINDO, 04 Januari 2016
Tahun 2016 sudah
dimulai. Waktunya untuk melakukan refleksi tahun 2015 dan menyiapkan
ancangancang supaya tidak termasuk kelompok orang-orang yang merugi. Sebagian
masalah ekonomi 2015 sudah dilewati dan kecil potensinya untuk terjadi lagi
pada 2016. Namun, sebagian lain masih dapat berulang apabila kita tidak
berhati-hati dan belajar dari masa lalu.
Tantangan ekonomi
rutin tiap tahun adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan
ekspor, dan mengurangi kemiskinan serta kesenjangan.
Namun, terdapat lima
tantangan yang spesifik dan besar dampaknya apabila tidak disiapkan
penanganannya sejak awal.
Tantangan ekonomi
pertama pemerintah pada 2016 adalah menjaga ketersediaan bahan pangan,
khususnya beras, dengan harga yang terjangkau. Beras adalah komponen belanja
terbesar bagi masyarakat di bawah dan sekitar garis kemiskinan. Kenaikan
harga beras pada 2015 adalah faktor utama bertambahnya penduduk miskin
sebesar 852.000 jiwa.
Ketahanan pangan
adalah salah satu program utama Nawacita. Namun pencapaian swasembada beras
membutuhkan waktu. Perbaikan irigasi, distribusi bibit dan pupuk secara
merata bagi segenap penduduk Indonesia tidak bisa dilakukan dalam waktu
singkat. Sikap antiimpor pemerintah pada 2016 perlu disesuaikan dengan
kondisi produksi beras 2016. Apalagi basis data padi ternyata selama ini
hanya proyeksi sehingga harus segera diubah berdasarkan produksi riil di
lapangan. Tanpa data yang valid akan sulit merencanakan kebijakan yang
efektif mengatasi masalah.
Tantangan kedua adalah
mencegah berulangnya kebakaran hutan. Awal tahun 2015 kebakaran hutan di
Kalimantan dan Sumatra mengganggu kesehatan dan aktivitas ekonomi serta
menambah emisi karbon secara masif. Kalkulasi Bank Dunia menemukan bahwa
kerugian kebakaran hutan setara sebesar Rp221 triliun. Sungguh bukan nilai
yang kecil.
Namun, ketika terjadi
eskalasi perhatian publik dan proses hukum mulai berlanjut maka musim hujan
dimulai dan terjadi kegaduhan politik yang mengurangi urgensi dan memindahkan
fokus dari penanganan pembakaran hutan. Jika tidak ada sanksi yang tegas,
termasuk denda, pencabutan izin dan pidana, maka tidak tertutup kemungkinan
pada 2016 akan terulang lagi. Semoga Indonesia menjadi bangsa yang belajar
dari kesalahan.
Tantangan ketiga
adalah kredibilitas fiskal. Pemerintah mencatat realisasi sementara
penerimaan pajak hingga 31 Desember 2015 mencapai Rp1.055 triliun setara
81,5% dari target Rp1.294,25 triliun dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara
Perubahan (APBN-P) 2015. Secara umum realisasi pendapatan negara (sementara)
mencapai Rp1.491,5 triliun atau setara 84,7% dari sasaran dalam APBNP tahun
2015 sebesar Rp1.761,6 triliun.
APBN-P 2015 menetapkan
target pendapatan pajak dalam negeri yang melonjak jauh dari APBN-P 2014.
Bahkan dalam kondisi ekonomi yang baik pun target itu sulit dicapai. Apalagi
dalam kondisi tahun 2015 yang penuh dengan badai dan shock . Hal-hal seperti
swasembada pangan atau peningkatan tax ratio itu butuh waktu dan tidak
selesai dalam setahun.
Apabila target
penerimaan tidak realistis berarti harus ada program yang dipotong atau
dihapus. Sebentar lagi data final realisasi pendapatan 2015 akan diketahui
sehingga harus menjadi dasar revisi dan penurunan target penerimaan dan
pengeluaran di APBN-P 2016 sehingga anggaran pemerintah memiliki kredibilitas
ke pelaku pasar dan masyarakat.
Tantangan keempat
adalah dari segi kekompakan kabinet. Para menteri bertugas membantu presiden
dan wapres untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dalam RPJMN. Dengan
tantangan ekonomi yang besar, dengan tim yang kompak pun tidak mudah
mengatasi berbagai masalah. Namun, kekompakan kabinet khususnya tim ekonomi
masih belum optimal.
Beberapa keputusan
penting yang seharusnya bisa diselesaikan dalam rapat kabinet menjadi
berbalas komentar di media sehingga keputusan tertunda dan ketidakpastian
meningkat. Hal ini bila berlanjut akan berakibat pada kredibilitas kebijakan
ekonomi secara umum. Reshuffle jilid kedua perlu diikuti dengan penegakan
disiplin di kabinet sehingga para menteri benar-benar menjadi problem solver,
bukan penambah masalah negara.
Tantangan ekonomi
kelima adalah kondisi eksternal. Sebagai importir besar bagi kawasan ASEAN,
China masih menjadi wild card
dengan perlambatan dan responsnya. Apakah akan terjadi devaluasi Yuan lagi
yang mengguncang ekonomi dunia atau akan berhasil soft landing. Apakah The Fed akan menahan suku bunga atau ada
kenaikan lagi di 2016 sehingga Bank Indonesia tidak bisa menurunkan suka
bunga domestik dan daya dorong perbankan berkurang. Apakah pemilu Amerika
Serikat tahun depan akan menghasilkan presiden yang memiliki kebijakan
ekonomi yang proteksionis atau berperan aktif pada ekonomi dunia. Bagaimana
pengaruh agresivitas Rusia dan perjanjian damai Amerika-Iran pada harga
minyak dunia. Indonesia harus menyiapkan skenario respons terhadap berbagai
kemungkinan di atas.
Setelah krisis
subprime mortgage, mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menulis artikel
tentang kondisi ekonomi Indonesia berjudul ”The Indonesian Economy amidst the Global Crisis: Good Policy and
Good Luck.” Indonesia membutuhkan kebijakan ekonomi yang mumpuni dan hoki
yang banyak untuk menghadapi berbagai tantangan 2016. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar