Selasa, 05 Januari 2016

5 Tantangan Ekonomi 2016

5 Tantangan Ekonomi 2016

  Berly Martawardaya  ;  Dosen FEB UI dan Ekonom Indef
                                                  KORAN SINDO, 04 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tahun 2016 sudah dimulai. Waktunya untuk melakukan refleksi tahun 2015 dan menyiapkan ancangancang supaya tidak termasuk kelompok orang-orang yang merugi. Sebagian masalah ekonomi 2015 sudah dilewati dan kecil potensinya untuk terjadi lagi pada 2016. Namun, sebagian lain masih dapat berulang apabila kita tidak berhati-hati dan belajar dari masa lalu.

Tantangan ekonomi rutin tiap tahun adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan ekspor, dan mengurangi kemiskinan serta kesenjangan.
Namun, terdapat lima tantangan yang spesifik dan besar dampaknya apabila tidak disiapkan penanganannya sejak awal.

Tantangan ekonomi pertama pemerintah pada 2016 adalah menjaga ketersediaan bahan pangan, khususnya beras, dengan harga yang terjangkau. Beras adalah komponen belanja terbesar bagi masyarakat di bawah dan sekitar garis kemiskinan. Kenaikan harga beras pada 2015 adalah faktor utama bertambahnya penduduk miskin sebesar 852.000 jiwa.

Ketahanan pangan adalah salah satu program utama Nawacita. Namun pencapaian swasembada beras membutuhkan waktu. Perbaikan irigasi, distribusi bibit dan pupuk secara merata bagi segenap penduduk Indonesia tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Sikap antiimpor pemerintah pada 2016 perlu disesuaikan dengan kondisi produksi beras 2016. Apalagi basis data padi ternyata selama ini hanya proyeksi sehingga harus segera diubah berdasarkan produksi riil di lapangan. Tanpa data yang valid akan sulit merencanakan kebijakan yang efektif mengatasi masalah.

Tantangan kedua adalah mencegah berulangnya kebakaran hutan. Awal tahun 2015 kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatra mengganggu kesehatan dan aktivitas ekonomi serta menambah emisi karbon secara masif. Kalkulasi Bank Dunia menemukan bahwa kerugian kebakaran hutan setara sebesar Rp221 triliun. Sungguh bukan nilai yang kecil.

Namun, ketika terjadi eskalasi perhatian publik dan proses hukum mulai berlanjut maka musim hujan dimulai dan terjadi kegaduhan politik yang mengurangi urgensi dan memindahkan fokus dari penanganan pembakaran hutan. Jika tidak ada sanksi yang tegas, termasuk denda, pencabutan izin dan pidana, maka tidak tertutup kemungkinan pada 2016 akan terulang lagi. Semoga Indonesia menjadi bangsa yang belajar dari kesalahan.

Tantangan ketiga adalah kredibilitas fiskal. Pemerintah mencatat realisasi sementara penerimaan pajak hingga 31 Desember 2015 mencapai Rp1.055 triliun setara 81,5% dari target Rp1.294,25 triliun dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015. Secara umum realisasi pendapatan negara (sementara) mencapai Rp1.491,5 triliun atau setara 84,7% dari sasaran dalam APBNP tahun 2015 sebesar Rp1.761,6 triliun.

APBN-P 2015 menetapkan target pendapatan pajak dalam negeri yang melonjak jauh dari APBN-P 2014. Bahkan dalam kondisi ekonomi yang baik pun target itu sulit dicapai. Apalagi dalam kondisi tahun 2015 yang penuh dengan badai dan shock . Hal-hal seperti swasembada pangan atau peningkatan tax ratio itu butuh waktu dan tidak selesai dalam setahun.

Apabila target penerimaan tidak realistis berarti harus ada program yang dipotong atau dihapus. Sebentar lagi data final realisasi pendapatan 2015 akan diketahui sehingga harus menjadi dasar revisi dan penurunan target penerimaan dan pengeluaran di APBN-P 2016 sehingga anggaran pemerintah memiliki kredibilitas ke pelaku pasar dan masyarakat.

Tantangan keempat adalah dari segi kekompakan kabinet. Para menteri bertugas membantu presiden dan wapres untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dalam RPJMN. Dengan tantangan ekonomi yang besar, dengan tim yang kompak pun tidak mudah mengatasi berbagai masalah. Namun, kekompakan kabinet khususnya tim ekonomi masih belum optimal.

Beberapa keputusan penting yang seharusnya bisa diselesaikan dalam rapat kabinet menjadi berbalas komentar di media sehingga keputusan tertunda dan ketidakpastian meningkat. Hal ini bila berlanjut akan berakibat pada kredibilitas kebijakan ekonomi secara umum. Reshuffle jilid kedua perlu diikuti dengan penegakan disiplin di kabinet sehingga para menteri benar-benar menjadi problem solver, bukan penambah masalah negara.

Tantangan ekonomi kelima adalah kondisi eksternal. Sebagai importir besar bagi kawasan ASEAN, China masih menjadi wild card dengan perlambatan dan responsnya. Apakah akan terjadi devaluasi Yuan lagi yang mengguncang ekonomi dunia atau akan berhasil soft landing. Apakah The Fed akan menahan suku bunga atau ada kenaikan lagi di 2016 sehingga Bank Indonesia tidak bisa menurunkan suka bunga domestik dan daya dorong perbankan berkurang. Apakah pemilu Amerika Serikat tahun depan akan menghasilkan presiden yang memiliki kebijakan ekonomi yang proteksionis atau berperan aktif pada ekonomi dunia. Bagaimana pengaruh agresivitas Rusia dan perjanjian damai Amerika-Iran pada harga minyak dunia. Indonesia harus menyiapkan skenario respons terhadap berbagai kemungkinan di atas.

Setelah krisis subprime mortgage, mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menulis artikel tentang kondisi ekonomi Indonesia berjudul ”The Indonesian Economy amidst the Global Crisis: Good Policy and Good Luck.” Indonesia membutuhkan kebijakan ekonomi yang mumpuni dan hoki yang banyak untuk menghadapi berbagai tantangan 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar