Seputar
Pilihan Rais Am Nahdlatul Ulama
Saifullah Yusuf ; Wakil Gubernur Jawa Timur
|
JAWA
POS, 04 November 2014
TAHUN lalu, ketika menjelang konferensi NU Jawa Timur, banyak dibicarakan
seputar wacana mekanisme penetapan pimpinan para ulama –ahli waris para nabi–
ini. Sesuai dengan namanya, NU memang ”semata” tempat berkumpulnya para
ulama. Mereka ber-jam’iyyah untuk menjaga keberlanjutan risalah di tengah
jamaah. Agar jam’iyyah berjalan baik, dibuatlah beberapa alat kelengkapannya,
antara lain jabatan rais am di level syuriah.
Menurut catatan, mereka yang duduk di majelis syuriah adalah
”murni” para ulama. Para pemangku ilmu keagamaan yang mumpuni, pengamal
hikmah, dan terbiasa hidup penuh wara’ dan zuhud. Mereka lebih berorientasi
pada kehidupan akhirat meski sama sekali tidak melupakan dunia. Karena,
antara lain, perspektifnya berbeda dari orang kebanyakan dalam memandang
hidup, bagi mereka berbicara, mengangankan, apalagi memperebutkan jabatan
duniawi adalah tabu. Termasuk jabatan rais am.
Mengangankan dan memperebutkan jabatan, terlebih amanah sebagai
rais am, bukanlah akhlak para ulama, seperti di NU. Sebagai kumpulan para
ahli waris nabi, pantang bagi mereka terlibat atau dipaksa terlibat dalam
urusan beginian. Mereka adalah tiang-tiang pancang Tuhan yang bertugas
menyangga kehidupan di atas bumi. Demikian mulia tugas itu sehingga tidak
sembarang orang bisa disebut ulama. Jabatan ulama adalah warisan dari para
manusia terpilih, yaitu para nabi.
Bermula dari Muktamar Ke-30 NU di Lirboyo, Kediri, hingga ke-32
di Makassar, rais am dipilih secara langsung, persis pemilihan ketua umum PB
NU. Pada muktamar ke-32 di Makassar, persaingan cukup mengeras. Nama KH M.A.
Sahal Mahfudz, KH Mustofa Bisri, KH Maimoen Zubair, KH Ma’ruf Amien, KH Habib
Luthie, dan KH A. Hasyim Muzadi disebut muktamirin layak menjadi kandidat
untuk bertarung memperebutkan kursi rais am. Diam-diam, banyak yang
terhenyak. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi. Sebab, di NU hal-hal demikian
termasuk tindakan khaariqul ’aadah alias tidak biasa, khususnya di kalangan
ulama sepuh.
Jamaknya sebuah organisasi, NU juga mengalami pasang surut dan
silih bergantinya para pimpinan. Tetapi, sepanjang catatan sejarahnya, organisasi
ini tak pernah mengalami keriuhan selain dua kali muktamar pada 1984 di
Situbondo, Jawa Timur, dan 1994 di Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat. Tapi,
dari Situbondo, lahirlah duet maut KH Achmad Shiddiq-KH Abdurrahman Wahid dan
dari Cipasung muncul pasangan Ajengan Ilyas Ruhiyat-Gus Dur.
Jauh sebelum itu, para kiai sepuh sudah memberikan teladan yang
mesti kita pegang dan kita ta’dzimi. Lihatlah bagaimana Kiai Bisri Syansuri
dan Kiai Wahab Chasbullah menolak menjadi rais akbar karena masih ada KH Hasyim
Asy'ari. Bahkan, sepeninggal hadratus syaikh, dua ulama sepuh itu tetap
menolak jabatan tersebut, lebih-lebih kiai lainnya. Saat Kiai Wahab
Chasbullah akhirnya bersedia, itu pun dengan konsensus agar nomenklatur rais
akbar diganti dengan istilah rais am.
Saat Kiai Wahab sakit sepuh, muktamirin menginginkan Kiai Bisri
Syansuri siap-siap menggantikan. Tapi, Kiai Bisri menolak. Alasannya, Kiai
Wahab masih ada. Bahkan meski Mbah Wahab sudah gering dan hanya bisa sarean
(rebahan), Kiai Bisri tetap menolak. Sepeninggal Kiai Bisri menjadi rais am
untuk menggantikan Mbah Wahab, para kiai sepuh berembuk memilih pengganti.
Seperti Mbah Wahab dan Mbah Bisri, saat diminta jadi rais am, Raden KH As'ad
Syamsul Arifin (Situbondo) juga menolak.
Beliau merasa belum ”pangkatnya”. Ketika dipaksa para kiai, Kiai
As'ad dengan tegas menjawab, ”Meski Malaikat Jibril turun dari langit untuk
memaksa, saya pasti akan menolak. Yang pantas itu Kiai Machrus Ali, Lirboyo.”
Kiai Machrus menukas saat namanya disebut Kiai As'ad. ”Jangankan Malaikat
Jibril, kalaupun Malaikat Izrail turun dan memaksa saya, saya tetap tidak
bersedia!” Akhirnya, musyawarah ulama memutuskan memilih Kiai Ali Maksum dari
Krapyak, Jogjakarta, yang saat itu tidak hadir.
Nah, mekanisme musyawarah itu lazim disebut dengan ahlul halli
wal ’aqdi. Ya, semacam pemilihan pimpinan dengan menggunakan mekanisme
formatur. Menjelang Muktamar Ke-33 NU mendatang, ada baiknya kaum nahdliyin
kembali merenungkan teladan yang diajarkan oleh para pendiri NU tersebut.
Agar mereka yang benar-benar ulama sajalah yang akan memangku amanah syuriah.
Penerapan mekanisme itu dilandasi prinsip saddudz-dzari’ah.
Munas Alim Ulama dan Konbes NU yang berakhir pada 2 November
lalu di Jakarta telah menetapkan rancangan ahlul halli wal ’aqdi sebagai
mekanisme untuk memilih rais am pada muktamar 2015. Itulah salah satu cara
paling bijak untuk menghindarkan perselisihan dan perpecahan serta praktik
pemilihan yang tidak bersih. Sebenarnya konsep tersebut telah diterapkan
dalam sejarah perkembangan NU, dalam penetapan kepemimpinan sejak NU berdiri
pada 1926 sampai 1952, ketika NU menjadi partai politik. Juga diterapkan lagi
dalam Muktamar Ke-27 NU di Situbondo pada 1984, saat jam’iyyah ini kembali ke
khitah 1926.
Lazimnya dalam tradisi NU, ahlul halli memiliki kualifikasi
tertentu seperti berkepribadian adil, jujur, dan tepercaya. Memiliki
pengetahuan untuk memilih orang yang berkemampuan memimpin dengan
syarat-syarat yang telah ditentukan. Memiliki pandangan yang cermat dan arif
sebagai ahli hikmah dalam memilih calon pemimpin terbaik yang akan membawa
lebih banyak kemaslahatan. Jika ada pertanyaan siapa yang berhak menjadi
ahlul halli wal ’aqdi, tentu jawabnya yang paling tahu adalah peserta
muktamar.
Tetapi, PB NU bisa menyusun rancangan tata cara penjaringan dan
kriteria calon serta menjaring calon anggota ahlul halli yang berjumlah
sembilan orang. Mereka berasal dari unsur jam’iyyah-struktural dan
jamaah-nonstruktural. Ahlul halli bertugas membuat garis-garis besar
kepemimpinan NU, menetapkan haluan dasar, dan memilih rais am. Tugas mereka
berakhir setelah terpilihnya rais am dan wakil rais am serta terbentuknya
pengurus harian PB NU. Sementara pemilihan Ketum PB NU tetap melalui
pemilihan langsung oleh muktamirin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar