Teguh
Pegang Prinsip
Moh Ilham A Hamudy ;
Peneliti
di Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendagri
|
REPUBLIKA,
13 September 2014
"Ahok tidak Punya
Etika Politik". Demikian judul headline
surat kabar nasional, Kamis (11/9), yang mewartakan keluarnya Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok), sang wakil gubernur DKI Jakarta, dari Partai Gerindra. Partai
tempatnya bernaung, dianggap Ahok, sudah tidak sejalan dengan visi-misinya dalam
mengurus kepentingan rakyat.
Ahok
juga menilai, Partai Gerindra tidak memperjuangkan kepentingan rakyat karena
berniat mengubah pemilihan kepala daerah (pemilukada) secara langsung oleh
rakyat menjadi pemilukada oleh DPRD. Pengunduran diri Ahok yang dilakukan
tanpa komunikasi dengan partai itu, oleh beberapa pihak, di nilai kurang
tepat dalam etika berpolitik.
Penilaian
seperti itu wajar diberikan kepada Ahok oleh beberapa pihak yang tidak begitu
suka dengannya dan sebuah surat kabar nasional yang pemiliknya memang menjadi
bagian Koalisi Merah Putih (KMP) gagasan Partai Gerindra.
Apa
pun yang dibuat Ahok, karena berseberangan dengan pemilik media ataupun KMP,
tentu akan dinilai negatif. Namun, bagi sebagian besar orang, langkah Ahok
patut diapresiasi. Di era sekarang, sedikit sekali pejabat publik atau
politisi yang berani bersikap karena mempertahankan prinsip dan idealisme
yang baik dan benar. Meski dihujat oleh partainya, Ahok tidak bergeming.
Ketika dicap sebagai politisi kutu loncat bila merasa tidak cocok, dengan
tegas Ahok menjawab, "Mending jadi
kutu loncat ketimbang jadi kutu busuk."
Langkah
Ahok belakangan diikuti Wali Kota Singkawang Awang Ishak yang menyatakan
mundur dari Partai Amanat Nasional. Awang mundur karena keputusan partainya
yang mendukung RUU mengenai pemilukada.
Mundurnya
Awang menambah daftar kepala daerah yang mundur dari partai karena
berseberangan dengan partainya. Ahok dan Awang memang bukan orang pertama
yang berani bersikap. Beberapa waktu sebelumnya, Direktur Pertamina Karen
Agustiawan juga mengundurkan diri dari jabatannya. Alasannya pun serupa
dengan Ahok. Karen merasa sudah tidak sejalan dengan pimpinan dan mitra
kerjanya dalam mengurus kepentingan rakyat.
Meski
tidak secara vulgar menyatakan, Karen pernah mengaku saat diperiksa sebagai
saksi oleh KPK dan dalam persidangan di Pengadilan Tipikor bahwa ia diperas.
Merujuk pada fakta persidangan kasus suap mantan kepala SKK Migas Rudi
Rubiandini, Karen memang pernah mengaku diancam akan dilaporkan kepada
menteri.
Namun,
berbeda dengan Karen, Awang, dan Ahok, salah satu pemimpin partai politik di
negeri ini malah menolak mundur. Padahal, statusnya sudah menjadi tersangka
oleh KPK. Karena tidak kunjung mundur, akhirnya ia dipecat oleh
kawan-kawannya sendiri.
Akan
tetapi, sang pemimpin partai tidak terima pemecatan itu. Ia malah melawan dan
mengadukan nasibnya ke Ketua Majelis Syariah.
Petinggi
partai seperti itu jelas tidak punya malu dan etika. Ia tidak bisa disamakan
dengan Ahok, Awang, atau pun Karen yang teguh memegang prinsip. Secara moral,
seorang pejabat me mang sudah selayaknya mundur kalau terindikasi terlibat
pelanggaran hukum.
Apalagi
jika sudah ditetapkan sebagai tersangka. Kalau tidak mundur, paling tidak
nonaktif agar proses hu kumnya bisa steril. Jadi, nantinya ke kuasaan yang
ada tidak mengganggu proses hukum. Yang bersangkutan tidak memanfaatkan
linkkekuasaannya untuk mengacaukan proses hukum.
Belum
tradisi Harus diakui, mundur belum menjadi tradisi di kalangan pejabat.
Banyak anggota DPR/DPRD, petinggi partai, dan pejabat publik lainnya yang
tidak mundur kendati telah ditetapkan sebagai tersangka. Bahkan, sejumlah
calon kepala daerah tidak merasa rikuh dilantik meski sudah berstatus
tersangka.
Celakanya,
aturan yang ada di negeri ini selalu memberi kenyamanan bagi para pejabat.
Mereka baru diberhentikan sementara setelah menjadi terdakwa. Adapun
pemberhentian permanen baru dilakukan setelah si pejabat dinyatakan bersalah
lewat vonis yang berekuatan hukum tetap.
Padahal,
rakyat sangat malu memiliki pemimpin yang tidak berkarakter. Sangatlah
penting bagi seorang pejabat dalam menjalankan kepemimpinannya benar-benar
bersih dari sangkutan kasus hukum. Bukan hanya itu, para pejabat dan pemimpin
haruslah dapat menjaga sikap dan perilakunya dari hal-hal tercela dan tidak
patut dicontoh oleh rakyat.
Seyogianya
kita bisa mengambil pelajaran dari kasus Ahok, Awang, atau pun Karen. Sebagai
pemimpin haruslah selalu memegang teguh prinsip kejujuran dan berani
menjunjung kebenaran, tidak korup dalam berpolitik. Mereka adalah sosok
pemimpin yang idealis, yang selalu memegang teguh prinsipprinsip itu tanpa
pandang bulu dan tanpa kompromi. Semua yang dilakukan semata-mata untuk
kepentingan rakyat.
Mereka
telah menjadi service provider bagi
rakyat dan negara. Setidaknya, dua hal telah ditunjukkan oleh mereka.
Pertama, mereka memegang teguh kebenaran dan berusaha terusmenerus
memperjuangkannya, betapa pun pahitnya. Kedua, menerapkan kebajikan tanpa
memperhitungkan kepentingan sendiri atau golongan.
Pejabat
atau pemimpin seperti itu wajib diberi kesempatan untuk memimpin karena bisa
memberikan harapan dan optimisme untuk mengubah kondisi bangsa. Keberadaan
pemimpin yang baik dan selalu mengawal kepentingan rakyat menjadi strategis
ketika suatu negara berada dalam era transisi demokrasi seperti saat ini.
Mudah-mudahan pemimpin yang seperti itu senantiasa diberikan kesehatan dan keteguhan
hati dalam menjalankan amanah rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar