Pentingnya
Literasi Keuangan
Paul Sutaryono ;
Pengamat
Perbankan, Mantan Assistant Vice President BNI, Anggota Pengawas Yayasan Bina Swadaya
|
KORAN
SINDO, 13 September 2014
Kini
hampir semua bank nasional papan menengah ke atas menawarkan kartu kredit dan
kartu debit (ATM) sehingga kian banyak orang mengantongi kartu plastik itu.
Bagaimana mitigasi risiko alat pembayaran tersebut?
Literasi
keuangan (financial literacy) yang
bernas dan cerdas! Sebelumnya, mari kita cermati perkembangan ATM. Data Bank
Indonesia (BI) menunjukkan pertumbuhan ATM naik 7,68% dari 6.292.164 lembar
per Desember 2013 menjadi 6.775.560 lembar per Juli 2014. Pertumbuhan ATM itu
ternyata lebih subur daripada kartu kredit yang hanya naik 3,05% dari
15.091.684 lembar menjadi 15.552.463 lembar pada periode yang sama. Mengapa
kartu kredit menurun tajam?
Hal
ini disebabkan lahirnya Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/2/PBI/ 2012
tanggal 6 Januari 2012 dilanjutkan dengan Surat Edaran BI Nomor 142/27/DASP
yang membatasi kepemilikan kartu kredit. Aturan itu membatasi maksimal dua
kartu kredit bagi konsumen yang mempunyai pendapatan antara Rp3 juta dan Rp10
juta dari dua penerbit kartu kredit. Aturan tersebut bertujuan untuk mengerek
tingkat kehatihatian bank nasional dan melindungi konsumen.
Hal
ini juga untuk mencegah terulangnya kasus konsumen kartu kredit yang pernah
menerpa bank asing pada beberapa tahun silam. Pertumbuhan ATM yang begitu
subur itu berarti orang makin banyak melakukan pembayaran non-tunai. Bagi
bank nasional, hal itu merupakan pendapatan non-operasional (feebased income) yang gurih. Namun
kian subur pertumbuhan ATM, kian tinggi pula potensi risikonya. Tengok saja
kasus pembobolan ATM pada dua bank nasional papan atas pada medio Mei 2014.
Itu yang layak dicegah!
Upaya
Pencegahan
Sungguh,
kartu kredit dan ATM sudah menjadi simbol gaya hidup orang di kota besar saat
ini. Namun ternyata kartu ajaib itu juga mendorong orang untuk makin konsumtif.
Celakanya, konsumen yang gelap mata mulai memanfaatkan ATM untuk membobol
bank. Oleh karena itu, ada tiga pihak yang wajib meningkatkan kewaspadaan
yakni regulator, bank nasional, dan konsumen.
Upaya
apa saja yang patut dipertimbangkan untuk mitigasi risiko kartu kredit dan
ATM? Pertama, regulator merapatkan barisan. Pada prinsipnya, BI sebagai
regulator yang mengatur alat pembayaran menggunakan kartu (APMK) telah
menerbitkan aneka aturan untuk menjaga keamanan penggunaan kartu ATM atau
kartu debit. Misalnya, aturan PIN yang harus terdiri dari enam digit dan
migrasi kartu pita magnetik ke microchip.
Empat
bulan sebelum kasus ATM itu meledak di dua bank nasional kelas kakap, BI
telah meluncurkan PBI Nomor 16/1/ PBI/2014 tentang Perlindungan Konsumen Jasa
Sistem Keuangan. Aturan yang berlaku efektif 16 Januari 2014 menetapkan
prinsip perlindungan konsumen yang meliputi keadilan dan keandalan,
transparansi, perlindungan data dan/ atau informasi konsumen, serta
penanganan dan penyelesaian pengaduan yang efektif.
Aturan
paling anyar itu pun mewajibkan penyelenggara untuk menyediakan sistem yang
andal dalam menyelenggarakan kegiatan jasa sistem pembayaran. Namun, lahirnya
kasus dua bank besar itu menegaskan bahwa bank kelas kakap justru belum
memiliki sistem yang canggih dan andal seperti harapan konsumen. Ini
merupakan pelajaran berharga bagi semua kelompok bank nasional.
Kedua,
mengadakan sosialisasi dan edukasi. Oleh karena itu, bank nasional pun wajib
menyelenggarakan sosialisasi dan edukasi. Hal ini lebih efektif ketika
dilakukan di kampus dan sekolah sebagai sumber utama pengguna kartu kredit
dan ATM selain pusat keramaian. Literasi keuangan dalam bidang kartu wajib
ditanamkan terutama kepada konsumen pemula agar tidak terjebak pada
penggunaan kartu secara sembarangan.
Sosialisasi
dan edukasi itu bukan hanya tentang kartu kredit dan ATM tetapi juga literasi
(melek) keuangansecara umum. Ambil contoh, misalnya mengenai investasi. Ini
akan sangat bermanfaat bagi konsumen (nasabah dan investor) terkait dengan
banyaknya kasus perbankan dan non-perbankan selama ini. Lirik saja, kasus
demi kasus muncul di permukaan bagai tiada putusnya.
Qurnia
Subur Alam Raya (QSAR), investasi keuangan dengan kerugian Rp800 miliar pada
2002, Adess Sumber Hidup Dinamika (investasi peternakan itik, Rp200 miliar,
2003), Medical (multilevel marketing/MLM,
Rp50 miliar, 2004), Berlian Artha Sejahtera (arisan berantai, Rp200 miliar,
2005), Futurista International Paradana (MLM, Rp puluhan miliar, 2005),
Platinum Invesmet (valas, Rp500 miliar, 2005), Interbanking Bisnis Terencana
(penyertaan modal, Rp42 miliar, 2006), Mitra Wira Usaha Mandiri (MLM, Rp
puluhan miliar, 2006), Java Lintas Niaga (MLM, Rp70 miliar, 2006), Wahyu
Sejahtera Mandiri (MLM, Rp30 miliar, 2006).
Disusul
Wahana Bersama Globalindo (WBG) (valas, Rp3,5 triliun, 2007), Gama Smart
Karya Utama (valas, Rp12 triliun, 2007), Sarana Perdana Indoglobal (valas,
Rp2,1 triliun, 2007), PT Gradasi Anak Negeri (MLM, Rp 390 miliar, 2012),
Koperasi Langit Biru (bisnis daging, Rp6 triliun, 2012) dan PT Gemilang Reksa
Jaya (MLM, Rp ratusan miliar, 2012) (Harian Kontan, 25 Juli 2012).
Paling
gres, kasus Koperasi Cipaganti dengan potensi kerugian Rp3,2 triliun. Ketiga,
meningkatkan manajemen risiko operasional. Risiko operasional merupakan
risiko yang berkaitan dengan operasional bisnis (Michel Crouhy, Dan Galai, dan Robert Mark, 2000). Risiko
operasional itu meliputi dua komponen. Satu, risiko kegagalan operasional (operational failure risk) atau risiko
intern yang meliputi risiko yang bersumber dari sumber daya manusia, proses
dan teknologi.
Dua,
risiko strategi operasional (operational
strategic risk) atau risiko ekstern yang berasal dari faktor-faktor
antara lain politik, pajak, regulasi, pemerintah, masyarakat dan kompetisi.
Dibandingkan dengan risiko kredit, risiko pasar dan risiko likuiditas, pada
dasarnya risiko operasional itu mempunyai cakupan yang lebih luas. Lantaran
risiko operasional juga meliputi risiko yang bersumber dari karyawan dari
semua level dari manajemen puncak hingga paling bawah. Kasus ATM itu termasuk
risiko operasional yang bersumber dari lemahnya sistem teknologi informasi.
Untuk
itu, bank nasional wajib membentengi diri dengan bukan hanya audit komputer
tetapi juga audit antikasus perbankan yang berkaitan dengan teknologi
informasi (anti-cyber crime).
Ingat, bank besar saja sempat kelimpungan menghadapi kasus ATM, apalagi bank
berskala kecil. Artinya, kasus semacam itu tidak memandang bank nasional
papan atas atau bawah. Tentu saja, pengadaan sistem teknologi informasi yang
canggih itu membutuhkan dana tinggi.
Namun,
ini mutlak diperlukan dalam waktu dekat mengingat perkembangan teknologi
informasi begitu pesat terlebih ketika Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) efektif
2015. Bank nasional pun wajib merevitalisasi sistem dan prosedur (system operating procedures/SOP)
disesuaikan dengan perkembangan produk dan jasa perbankan dan lingkungan
bisnis.
Bank
nasional perlu pula meningkatkan penerapan segregasi wewenang. Pembagian dan
pembatasan wewenang (siapa melakukan apa) wajib terus ditingkatkan. Amat
dianjurkan setiap karyawan untuk senantiasa mengganti sandi (password). Jangan pernah membuat sandi
yang merupakan tanggal lahir karena itu amat mudah dideteksi. Sandi
seharusnya meliputi gabungan angka dengan huruf. Sangat tidak disarankan
untuk saling berbagi sandi dengan sesama karyawan sekalipun dengan atasan.
Dengan
aneka upaya pencegahan demikian, sangat diharapkan kasus pembobolan perbankan
dengan ATM dapat ditekan serendah mungkin. Kartu kredit pun laris manis
sehingga laba bank nasional kian tinggi. Sungguh!
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar