Anak
Kita
Dianing Widya ;
Novelis
|
TEMPO,
13 September 2014
Akhir-akhir
ini berita tentang berbagai pelanggaran hak asasi anak tak henti menyerbu
kita. Tampaknnya, ada yang menyimpang
dalam tatanan kehidupan sosial kita. Pelaku-pelaku kekerasan sulit dikenali.
Ia sering datang dari lingkungan keluarga, tetangga, orang dekat, dan
sebagainya. Ia bisa berwujud pengasuh, pembantu, tetangga, teman, bahkan
saudara dan orang tua sang anak. Dan kekerasan itu bisa muncul tiba-tiba,
tanpa sempat kita antisipasi, karena kita begitu percaya kepada mereka. Namun
melihat kasus-kasus itu, tampaknya kita perlu meningkatkan kewaspadaan.
Dulu,
dengan tetangga, kita bisa saling menitipkan anak ketika hendak bepergian ke
pasar atau ke sekolah. Meski si orang tua menitipkan anak hanya ke satu
orang, kenyataannya tetangga lain ikut menjaga anak kita. Ini membuat
anak-anak kita terlindungi oleh banyak orang. Secara naluriah, mereka
menganggap anak orang lain itu juga anak mereka sehingga dijaga dengan tulus.
Dengan kata lain, kerekatan dan kerja sama sosial bisa membuat anak semakin
terlindungi.
Tapi
kini, apalagi di kota, kesibukan orang tua membuat kerekatan itu tidak sekuat
dulu. Dengan tetangga pun kita paling-paling bertemu pada hari libur. Itu pun
dengan intensitas yang rendah. Orang sibuk dengan urusan masing-masing, tidak
sempat lagi berinteraksi dan berkomunikasi. Akibatnya, kontrol terhadap
sekeliling pun menjadi lemah, termasuk kontrol terhadap ancaman-ancaman
kekerasan terhadap anak-anak mereka, yang mereka tinggalkan di rumah bersama
pembantu atau orang lain saat mereka bekerja.
Selain
itu, satu hal yang perlu diingat, kekerasan terhadap anak yang masif ini tak
datang tiba-tiba. Hal itu bisa bermula dari perilaku kekerasan berkategori
"kecil-kecilan" seperti mencubit ketika sedang rewel, hingga
memukul karena anak dianggap nakal. Dan oleh masyarakat, mencubit dan memukul
anak dianggap menjadi hal biasa. Padahal, tindakan itu bisa berakibat fatal,
apalagi jika emosi tak terkontrol.
Kita,
misalnya, menjadi tidak punya empati ketika melihat ada anak tetangga yang
"dikerasi" orang tuanya. Kadang saat ingin menegur, kita merasa tak
enak karena takut dianggap ikut campur urusan "dalam negeri" tetangga.
Hal-hal remeh itu akhirnya menjadi bom waktu. Secara tidak sadar, kita telah
ikut andil dalam pembiaran kasus kekerasan itu.
Di
luar itu, orang tua begitu cepat mempercayakan anak kepada orang baru, yang
belum diketahui karakter dan latar belakangnya. Hal ini juga bisa berakibat
fatal. Bahkan, teknologi ikut andil terhadap adanya kekerasan anak.
Konten-konten kekerasan yang hadir lewat perangkat digital, entah komputer,
tablet, ataupun telepon seluler, bisa mendorong terjadinya berbagai bentuk kekerasan,
termasuk kekerasan seksual.
Tapi
bukan berarti kita harus selalu memasang sikap curiga kepada orang lain. Juga
tidak perlu memproteksi terlalu berlebihan anak-anak kita. Yang terpenting
adalah sikap waspada dan menguatkan kembali kerekatan dan relasi sosial di
lingkungan kita. Dengan kebersamaan itu, kita selalu punya rasa tanggung
jawab untuk saling menjaga. Kita boleh saja memberi perangkat digital kepada
anak atau membiarkan mereka bermain dan berekspresi, tapi yang terpenting
kita bisa mengontrolnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar