Angklung
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 31 Agustus 2014
Hampir
semua orang Indonesia tahu angklung. Sebagian mungkin baru dengar-dengar
saja, tetapi jauh lebih banyak yang sudah pernah menonton pertunjukannya
(kendati hanya lewat TV), bahkan tidak sedikit yang sudah pernah ikut
memainkan alat musik yang sudah kondang di seantero bumi ini.
Saung
Ujo di Bandung adalah salah satu tempat kita bisa belajar main angklung dalam
waktu 10-15 menit saja. Saya pernah mengajak seorang teman saya, Dr Roseline
Davido, psikolog dari Prancis, untuk berkunjung ke saung (dari bahasa Sunda, artinya: rumah) yang semua orang
Bandung tahu itu. Saya pikir, pasti dia senang menonton musik khas daerah,
yang alatnya juga sangat unik. Maka dengan mengajak istri saya juga, pergilah
kami bertiga ke Bandung dengan tujuan: Saung Ujo (tentu saja sesudah itu kami
ajak Roseline untuk menikmati aneka atraksi lain yang sangat menarik di
Bandung dan sekitarnya, mulai kuliner sampai pemandangan alamnya).
Roseline
sangat menikmati saung yang juga berfungsi sebagai workshop dan tempat pameran. Layaknya turis lain, ia sibuk
mengarahkan kameranya ke berbagai objek seni dan pertunjukan yang digelar di
sana. Terutama ketika tiba saatnya sejumlah anak dan remaja memainkan Blue Danube dan beberapa lagu lain
yang akrab di telinganya, dengan harmoni yang sangat indah, padahal setiap
pemain hanya bisa memainkan dua alat angklung, yang berarti dia hanya bisa
memainkan dua not secara bergantian. Namun, hal yang paling membuatnya kagum,
adalah ketika ia sendiri, dan semua pengunjung yang lain, dibagi angklung masing-masing
sebuah.
Mula-mula
semua membunyikan angklungnya. Nah yang orang Jepang, orang Belanda, orang
Prancis (termasuk Roseline), orang Sunda (para turis lokal), orang Jawa
(termasuk istri dan saya sendiri), dan orang-orang lain, serempak
menggoyangkan angklungnya, sekeras-kerasnya, bahkan ada yang saling adu keras
dengan kawannya. Hasilnya adalah hiruk-pikuk luar biasa, bising yang jauh
dari musik. Tak lama kemudian, salah satu anaknya Mang Ujo (saya lupa
namanya, tetapi beliaulah penerus Mang Ujo) masuk, dan meminta semua hadirin
berhenti membunyikan angklungnya.
Serentak
semuanya sunyi senyap. Sesudah itu mulailah anaknya Mang Ujo yang menjadi
dirigen (yang dengan gerak-gerik tangannya memimpin sebuah orkes), memberi
aba-aba untuk angklung ”do” dibunyikan panjang, sesudah itu ”re” panjang
lagi. Dan seterusnya sampai semua nada satu oktaf dibunyikan. Kemudian ”do”,
”mi”, dan ”sol”, dibunyikan serempak untuk menghasilkan suara accord ”C”,
sesudah itu ”do”, ”fa” dan ”la” untuk accord ”F”, ”sol”, ”si” dan ”re” untuk
accord ”G”. Mulai kedengaran harmoni yang indah. Roseline sangat senang,
begitu juga gerombolan turis cewek Jepang yang tampangnya seragam, semua
mirip girlband Cherry Bells.
Sesudah
itu baru mulai memainkan lagu-lagu. Dirigen terampil sekali mengarahkan lebih
dari seratus orang untuk tetap dalam harmoni. Apalagi di depan dipasang kain
besar bertuliskan lagu dan partitur musiknya sehingga peserta lebih mudah
mengikuti arahan dirigen. Selepas acara, saya tanya kepada Roseline,
bagaimana kesannya. Jawabnya sangat antusias, dia senang sekali sudah bisa
ikut memainkan lagu-lagu yang indah itu walaupun memegang hanya satu not.
Jika
seni musik pada umumnya, dan seni angklung pada khususnya, bisa menyenangkan
semua partisipan, sejauh masing-masing menyimak dan mengikuti arahan dirigen,
lain halnya dengan seni rupa. Seni rupa (seni lukis, seni patung, kaligrafi,
seni kerajinan) dibuat sendiri oleh senimannya dan ditawarkan kepada publik.
Ada yang senang, bahkan senang sekali sehingga mau membelinya dengan harga
yang mahal. Namun, ada juga orang yang tidak senang, malah menganggap seni
rupa karya orang lain adalah seni jiplakan atau seni murahan, atau bahkan
bukan seni sama sekali. Demikian pula kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Ibarat
musik angklung, setiap warga negara hanya memainkan satu atau dua peran,
pekerjaan atau profesi. Namun, kalau masing-masing peran, pekerjaan atau
profesi itu dijalankan bersama-sama dalam satu perpaduan yang harmonis, di
bawah pemimpin bangsa yang hebat, maka bangsa ini akan menghasilkan karya
yang adiluhung. Jika sektor industri, distribusi, birokrasi, pendidikan,
sarana dan prasarana, dan berbagai sektor lain di Indonesia, misalnya, bisa
bersinergi bagaikan musik angklung, maka kita akan menjadi negara besar yang
disegani dunia yang rakyatnya bukan hanya sejahtera, juga bahagia karena
merasa telah ikut berpartisipasi,
seperti
halnya Roseline yang bahagia sekali karena telah ikut memainkan satu not
dalam konser angklung indah yang barusan dimainkan. Sebaliknya kalau negara
ini dipimpin dengan gaya mau menang sendiri, merasa diri masing-masing adalah
yang paling pintar, dan paling benar, maka sebentar saja bangsa ini akan
terkoyak-koyak, pecah belah, entah karena faktor suku, agama, rasialisme
ataupun antargolongan politik. Sekarang, bagaimana dengan masa depan
Indonesia pasca-Pilpres 2014? Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun
Mahkamah Konstitusi (MK) telah memenangkan Jokowi dan JK.
Mudah-mudahan
presiden dan wakil presiden terpilih ini bisa memainkan perannya sebagai
pemimpin bangsa yang bergaya dirigen musik angklung, tetapi para elite
politik bangsa ini masih ada saja yang ingin main sendiri-sendiri dan tidak
peduli kepada ”dirigen” Jokowi-JK. Bukan hanya yang tadinya berasal dari kubu
yang berseberangan, melainkan juga dari para pendukung dan relawan Jokowi-JK
sendiri. Sebagian dari mereka ada yang belum puas kalau ide-idenya, gagasannya,
atau sarannya belum diterima pimpinan baru bangsa ini yang dulu mati-matian
dibelanya. Mereka berlomba-lomba untuk masuk ke ring 1-nya Jokowi dan JK.
Malah ada yang berambisi untuk jadi menteri. Mereka pikir, merekalah yang
lebih baik daripada relawan yang lain sehingga tanpa keterlibatan mereka,
Jokowi dan JK akan gagal. Mudah-mudahan Jokowi-JK bisa mengendalikan para
pemain yang mau main sendiri-sendiri ini. Kalau tidak, jangan harap akan
terjadi harmoni bangsa seindah harmoni musik angklung versi Mang Ujo. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar