Mencintai
Nasib
Anonim ; Kolumnis “Kredensial” Kompas
Minggu
|
KOMPAS,
31 Agustus 2014
Suatu
hari, Thomas Hobbes (1588-1679)—seorang wartawan, filsuf, sejarawan,
akademisi, dan ilmuwan politik—mengatakan, manusia pada dasarnya secara
alamiah kompetitif: ingin tampak lebih baik, lebih perkasa, dan lebih kuat
dibandingkan yang lain.
Namun,
pada saat bersamaan, manusia secara alamiah pula mudah diserang; bahkan
orang-orang yang sangat kuat pun dapat dijatuhkan oleh orang yang sangat
lemah. Barangkali cerita pertempuran antara Daud dan Goliath menjadi salah
satu contohnya, tentang bagaimana orang yang sangat lemah dapat mengalahkan
orang yang sangat kuat.
Oleh
karena manusia secara alamiah kompetitif dan sekaligus mudah diserang, maka
usaha untuk saling menyerang, saling menjatuhkan, bahkan saling membunuh,
senantiasa terjadi. Inilah sebabnya pula, kebanyakan manusia secara alamiah
ganas, jahat, karena mereka menikmati kekerasan. Hal itu terjadi karena tidak
ada saling percaya di antara manusia.
Ketika
orang menginginkan kekuasaan, sifat alamiah itu muncul. Kekuasaan, memang,
dapat membuat tertutupnya mata dan hati manusia. Demi kekuasaan, apa pun
dilakukan. Sifat dasar manusia yang jahat pun menjadi lebih dominan. Apalagi
kalau kegagalan yang disandang terjadi di ujung jalan mengejar kekuasaan itu,
maka seperti dikatakan Hobbes, manusia bisa menjadi serigala bagi manusia
lain.
Hal
itu terjadi, kalau—menurut istilahnya kaum Stoa, kelompok yang didirikan Zeno
pada abad ketiga SM—manusia tidak mencintai nasib. Imanuel Eko Anggun dalam
Basis (2014) yang mengutip pendapat Marcus Aurelius Antoninus Augustus
(121-180), seorang filsuf, menulis, mencintai nasib itu digambarkan seperti
seorang manusia yang tinggal di dunia yang telah melahirkannya. Sadar
sepenuh-penuhnya di mana ia berada; benar-benar menginjak bumi; menerima
kenyataan. Dengan demikian, akan menerima dan mengalami kebahagiaan karena
tak hidup di alam mimpi.
Akan
tetapi, dalam praktik politik, ternyata ”mencintai nasib” itu sangat sulit
dilakukan. Apa yang dilakukan kandidat presiden Afganistan, Abdullah
Abdullah, bisa menjadi salah satu contoh. Menurut berita yang tersiar, Selasa
lalu, Abdullah mengancam akan menarik diri dari proses audit suara hasil
pemilu yang dikatakan penuh kecurangan secara masif. Ada lebih dari 8 juta
suara hasil Pemilu 14 Juni lalu yang harus diaudit. Dua kandidat presiden,
Abdullah Abdullah dan Ashraf Ghani Ahmadza, sama-sama mengklaim sebagai
pemenang.
Sengketa
hasil pemilu biasa terjadi di banyak negara. Pemilu presiden di AS (2000)
juga diwarnai sengketa hasil pemilu antara Al Gore dan George W Bush.
Sengketa dibawa ke Mahkamah Agung dan hasilnya George W Bush dinyatakan
sebagai pemenang. Al Gore menerima putusan itu dan memberikan selamat kepada
George W Bush. Ia, dalam bahasa kaum Sota, ”mencintai nasib”-nya.
Tidak
mudah ”mencintai nasib”. Menerima apa yang terjadi, tunduk pada kenyataan
tersebut, membutuhkan keberanian. Dan, senyatanya, tidak semua orang memiliki
keberanian untuk tunduk pada kenyataan, untuk ”mencintai nasib”, dengan
sepenuh hati. Legawa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar