Kamis, 04 Juli 2013

Ujian Mesir Baru

Ujian Mesir Baru
Ibnu Burdah ;   Pemerhati Masalah Timur Tengah dan dunia Islam,
Dosen Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SUARA MERDEKA, 03 Juli 2013


SETAHUN pemerintahan Mursi membuktikan bahwa kelompok Islamis di Mesir belum mampu menjalankan amanat revolusi rakyat 25 Januari. Waktu satu tahun itu sebenarnya kesempatan emas untuk membuktikan bahwa kelompok Islamis, khususnya Ikhwanul, bukan hanya kelompok gerakan bawah tanah sebagaimana distigmakan selama berpuluh-puluh tahun melainkan kelompok yang mampu memimpin negara dan pemerintahan.

Revolusi rakyat Mesir 25 Januari memberikan berkah luar biasa bagi kelompok al-Ikhwan al-Muslimin di Mesir. Revolusi itu mengantarkan kelompok terlarang tersebut ke istana negara,  menjadi penguasa baru Mesir setelah hampir 90 tahun selalu dalam represi. Pada 30 Juni 2012, salah satu pimpinan partai bentukan Ikhwan resmi menjadi presiden pertama Mesir pascarevolusi 25 Januari. Spirit baru kelompok itu tercermin secara jelas dalam pidato pertama Mursi sebagai presiden. Ia menyatakan akan menjadi presiden bagi seluruh rakyat. Ia juga bertekad membangun Mesir baru yang demokratis, sejahtera, berkeadilan, dan disegani oleh negara-negara kawasan dan dunia internasional.

Memprihatinkan

Faktanya, Mesir baru yang dicita-citakan lewat revolusi 25 Januari itu makin jauh dari kenyataan. Baik dari sisi ekonomi, keamanan, politik, maupun postur negara itu di dunia internasional, hampir tak ada catatan yang patut dibanggakan kecuali kemenyeruakan  kebebasan yang tak terkendali yang mengakibatkan konflik horizontal tak berkesudahan.

Kondisi ini diperparah oleh masih mentahnya mental demokrasi sebagian besar elite politik negeri tersebut. Kelompok oposisi Mesir jelas sekali ingin memaksakan kehendak menjatuhkan Mursi yang dipilih melalui pemilu, dengan kekuatan massa. Penolakan mereka untuk melakukan dialog pada detik-detik akhir menjelang demonstrasi besar-besaran dan setelah jatuhnya sejumlah korban, merupakan indikasi ketidakmatangan mereka sebagai negarawan.

Masa-masa awal ini memang sangat penting bagi kelompok-kelompok liberal tersebut. Pasalnya, itu bukan hanya terkait dengan perebutan kekuasaan melainkan ada sangkut-pautnya dengan pembentukan identitas Mesir ke depan. Kelompok oposisi sepertinya berpandangan, mereka masih memiliki kesempatan untuk menggariskan karakter negara itu ke depan.

Kesempatan itu belum habis kendati mereka telah kalah telak dalam dua kali pemilu. Cara satu-satunya yang tersedia saat ini adalah dengan mencederai proses demokrasi, yakni menjatuhkan pemerintahan Mursi dan membubarkan parlemen. Yang kedua sudah terjadi, dan mereka memandang satu tahun pemerintahan Mursi adalah momentum yang tepat untuk melakukan aksi menjalankan skenario kedua. Seandainya skenario kelompok oposisi untuk menjatuhkan dan mengkriminalkan Mursi benar-benar berhasil maka itu akan menjadi preseden sangat buruk bagi pembangunan demokrasi di negara tersebut.

Pemilu yang merupakan instrumen fundamental dalam berdemokrasi tak akan menjadi penentu kehidupan berbangsa dan bernegara negeri itu. Mereka justru akan melihat ada jalan lain untuk mencapai kekuasaan di luar pemilu. Salah satunya adalah dengan mengerahkan massa demi sebuah pemaksaan kehendak. Gerakan massa, bahkan secara fisik malah lebih dipercaya bisa menjadi jalan untuk mencapai kekuasaan.

Jika itu yang terjadi maka pembangunan demokrasi yang dimulai dengan gerakan penggulingan rezim Mubarak yang telah memakan banyak korban sudah tak ada arti lagi. Apalagi bila lingkaran dendam antarkelompok terus mewarnai perjalanan panjang negeri tersebut. Gerakan massa akan menjadi pola pergantian kekuasaan secara terus-menerus, dan ini tentu ini sangat merugikan bagi keseluruhan kehidupan bangsa tersebut. Dalam suasana seperti itu, kelompok mana pun yang memegang kekuasaan kelak akan sangat sulit mewujudkan amanat revolusi rakyat Mesir 25 Januari. Cita-cita revolusi itu tak akan mungkin terwujud melalui gerakan massa seperti yang terjadi sekarang.


Revolusi 25 Januari menuntut institusionalisasi hasil-hasil gerakan itu dalam suasana aman, stabil, dan kohesivitas rakyat dalam skala yang tinggi. Institusionalisasi itu tak memerlukan pemimpin yang ganas, massa yang militan, dan pengikut teguh (true believer). Institusionalisasi hasil gerakan justru memerlukan pemimpin yang tenang dan profesional, serta tidak meledak-ledak, juga pengikut yang rasional, dan dalam suasana yang tenang. Peristiwa beberapa hari ke depan adalah ujian sejarah yang begitu krusial bagi masa depan Mesir. Bila mereka mampu melewati dengan solusi damai yang diterima kedua pihak maka harapan akan keterwujudan cita-cita revolusi 25 Januari tentu masih tersisa. Namun seandainya kompromi itu tak tercapai, dan ini tidak mudah mengingat massa tak akan mudah dikendalikan maka nasib Mesir tak akan lebih baik dari negara-negara lain yang mengalami ”Musim Semi Arab.” ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar