|
SINAR
HARAPAN, 03 Juli 2013
Keberadaan
Komisi Yudisial dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, tidak terlepas dari
tuntutan dan agenda reformasi tahun 1998, yaitu menuntut adanya reformasi total
di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.
Agenda
reformasi dalam praktik penyelenggaraan peradilan yang sangat mendesak adalah,
adanya kepastian hukum dan keadilan bagi pencari keadilan, tetapi dalam praktik
penegakan hukum di peradilan masih diwarnai carut-marut permasalahan korupsi,
kolusi, suap, dan praktik menyimpang.
Tuntutan
reformasi terhadap dunia peradilan membawa konsekuensi adanya perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan dasar
peraturan perundang-undangan yang mengatur Kekuasaan Kehakiman.
Reformasi
peradilan secara konstitusional diawali adanya Keputusan Majelis Pemusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) Nomor X/99/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok
Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan
Nasional, sebagai jawaban dari tuntutan dan kehendak reformasi, menyatakan perlunya
memisahkan keberadaan Mahkamah Agung (MA) dari eksekutif (pemerintah).
Sebagai
tindak lanjut dari reformasi peradilan secara konstitusional, dalam sidang
paripurna Tahun 2001 MPR-RI mensahkan amandemen (perubahan) ketiga Pasal
24B Ayat (1) UUD 1945 menentukan, “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim”.
Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang menjamin kekuasaan
kehakiman yang merdeka untuk menjalankan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. Keberadaan Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha
mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung
serta pengawasan terhadap hakim yang transparan dan partisipatif guna
menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim.
Kewenangan
besar yang dimiliki Komisi Yudisial dalam hal pencalonan hakim agung serta
pengawasan terhadap hakim yang sebelumnya, diatur UU Nomor 22/2004 tentang
Komisi Yudisial, berakhir dengan diamputasinya kewenangan yang dimiliki Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor.005/PUU-IV/2006, yang akhirnya tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
Sebagai
akibat dari putusan Pengujian Undang-Undang oleh MK, adanya perubahan UU Nomor
22/2004 tentang Komisi Yudisial, yang diganti dengan UU Nomor 18/2011
diharapkan Komisi Yudisial lebih baik daripada sebelumnya.
Namun,
yang terjadi malah sebaliknya. Terlihat jelas dari konsideran pertimbangan
menyatakan huruf b yaitu, “Komsi Yudisial mempunyai peran penting dalam, yang
sebelumnya pencalonan diganti dengan pengusulan dan sebelumnya pengawasan
terhadap hakim yang transparan dan partisipatif dihapus diganti dengan wewenang
lain dalam rangka menjaga dan menegakkan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim demi tegaknya hukum dan keadilan”.
Disadari
atau tidak oleh pembuat undang-undang, kemunduran tersebut berakibat pada
fungsi pengawasan eksternal yang dilakukan KY terhadap kehakiman dan/atau
peradilan.
Adanya
Peraturan Bersama tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku
Hakim yang disusun bersama antara KY dengan Mahkamah Agung dalam menjaga dan
menegakkan pelaksanaan kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim, adalah bukti
kemunduran dari kewenangan KY dibandingkan UU sebelumnya.
Padahal
dalam Pasal 24 Ayat (1), (2), dan Pasal 24 A Ayat (2) UUD NRI 1945 amandemen
ketiga menjamin, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Sedangkan,
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi”. Untuk menjadi hakim agung, “Hakim Agung memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional dan
berpengalaman dibidang hukum”.
Ketentuan
di atas, menyatakan Peradilan dan Hakim merupakan objek pengawasan dan
pengusulan hakim agung oleh KY, tetapi sangat disayangkan konflik di awal
periode terbentuknya KY dengan MA berakhir dengan rontoknya kewenangan
pengawasan.
Adanya
perubahan ketiga dalam UUD 1945, memberi pesan keberadaan KY dapat melaksanakan
cheks and balances (saling kontrol
dan mengawasi) mengimbangi kekuasaan kehakiman di balik jubah yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, bila tidak
ada lembaga yang mengawasi dikhawatirkan membahayakan keberlangsungan kehidupan
ketatanegaraan dalam harmonisasi pengawasan.
Diakui
atau tidak, adanya KY secara langsung menghambat kepentingan pihak-pihak
tertentu yang selama ini menikmati bergelimangputusan dan/atau kebijakan
peradilan yang selama ini berpihak dan menguntungkan. Status quo terbebas dari
pengawasan yang saat ini didapat perlu untuk dipertahankan, keberadaan pengawas
internal terbukti tidak efektif, sementara keberadaan KY terpusat di Jakarta
tidak mungkin menjangkau semua badan peradilan di seluruh Indonesia.
Sebagai
pengecualian, Pengadilan Negeri Bandung dan/atau pengadilan lain di seluruh
Indonesia, seolah sampai saat ini merasa masih aman dan nyaman terbebas dari
pengawasan. Dalam operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
terhadap tersangka hakim Setyabudi Tejocahyono yang merupakan hakim Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi menjabat sebagai Wakil Ketua PN Bandung, sebenarnya
perilaku sebagai hakim yang menyimpang sudah berlangsung cukup lama, anehnya
seolah-oleh instutusinya dilindungi.
Sudah
seharusnya MA sebagai sebuah badan peradilan yang menaungi semua lingkungan
peradilan mereformasi diri dengan bekerja sama dengan KY, terbukti dari
pengawasan intern yang ada tidak berjalan maksimal. Kejadian demi kejadian yang
menimpa korp wakil tuhan mulai dari kasus suap, gratifikasi, narkoba, dan
tindakan asusila lainnya menambah keyakinan publik bahwa lembaga peradilan
sebagai benteng terakhir pencari keadilan ternyata mengecewakan dan sulit
dipercaya untuk memeberikan keadilan.
KY
dengan segala kekurangan dan kelebihannya, diharapkan sebagai pengawas
kehakiman mampu menyelesaikan persoalan yang ada pada kehormatan, keluhuran,
dan martabat, serta perilaku hakim. Pengawasan tersebut tidak mungkin lagi bisa
diatasi pengawas interen MA, karena beban MA saat ini sangatlah besar mulai
dari pengaturan keuangan, kepegawaian, dan tunggakan putusan yang harus
diselesaikan ditambah pengawasan terhadap perilaku hakim tentu tidak mungkin
maksimal.
Sebagai
sesama lembaga negara sudah seharusnya saling menghormati dan bekerja sama,
keberadaan KY merupakan perintah konstitusi dengan tugas pokok mengawasi
perilaku hakim dan mengusulkan pengangkatan hakim agung harusnya diterima.
Kenyataan
bahwa banyak aparat penegak hukum di antaranya, hakim terlibat dalam perkara
suap yang berhubungan dengan tugas dan profesinya serta sebagai pemimpin yang
memeriksa perkara tersebut dapat dipastikan sarat konflik kepentingan. Lambat
laun pengawasan tidak ada arti meski akhirnya terbukti sendiri tanpa perlu lagi
diawasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar