|
SUARA
MERDEKA, 03 Juli 2013
SETAHUN pemerintahan Mursi membuktikan bahwa kelompok
Islamis di Mesir belum mampu menjalankan amanat revolusi rakyat 25 Januari.
Waktu satu tahun itu sebenarnya kesempatan emas untuk membuktikan bahwa
kelompok Islamis, khususnya Ikhwanul,
bukan hanya kelompok gerakan bawah tanah sebagaimana distigmakan selama
berpuluh-puluh tahun melainkan kelompok yang mampu memimpin negara dan
pemerintahan.
Revolusi rakyat Mesir 25 Januari memberikan berkah luar
biasa bagi kelompok al-Ikhwan al-Muslimin
di Mesir. Revolusi itu mengantarkan kelompok terlarang tersebut ke istana
negara, menjadi penguasa baru Mesir setelah hampir 90 tahun selalu dalam
represi. Pada 30 Juni 2012, salah satu pimpinan partai bentukan Ikhwan resmi
menjadi presiden pertama Mesir pascarevolusi 25 Januari. Spirit baru kelompok
itu tercermin secara jelas dalam pidato pertama Mursi sebagai presiden. Ia
menyatakan akan menjadi presiden bagi seluruh rakyat. Ia juga bertekad
membangun Mesir baru yang demokratis, sejahtera, berkeadilan, dan disegani oleh
negara-negara kawasan dan dunia internasional.
Memprihatinkan
Faktanya, Mesir baru yang dicita-citakan lewat revolusi 25
Januari itu makin jauh dari kenyataan. Baik dari sisi ekonomi, keamanan,
politik, maupun postur negara itu di dunia internasional, hampir tak ada
catatan yang patut dibanggakan kecuali kemenyeruakan kebebasan yang tak
terkendali yang mengakibatkan konflik horizontal tak berkesudahan.
Kondisi ini diperparah oleh masih mentahnya mental
demokrasi sebagian besar elite politik negeri tersebut. Kelompok oposisi Mesir
jelas sekali ingin memaksakan kehendak menjatuhkan Mursi yang dipilih melalui
pemilu, dengan kekuatan massa. Penolakan mereka untuk melakukan dialog pada
detik-detik akhir menjelang demonstrasi besar-besaran dan setelah jatuhnya
sejumlah korban, merupakan indikasi ketidakmatangan mereka sebagai negarawan.
Masa-masa awal ini memang sangat penting bagi
kelompok-kelompok liberal tersebut. Pasalnya, itu bukan hanya terkait dengan
perebutan kekuasaan melainkan ada sangkut-pautnya dengan pembentukan identitas
Mesir ke depan. Kelompok oposisi sepertinya berpandangan, mereka masih memiliki
kesempatan untuk menggariskan karakter negara itu ke depan.
Kesempatan itu belum habis kendati mereka telah kalah telak
dalam dua kali pemilu. Cara satu-satunya yang tersedia saat ini adalah dengan
mencederai proses demokrasi, yakni menjatuhkan pemerintahan Mursi dan
membubarkan parlemen. Yang kedua sudah terjadi, dan mereka memandang satu tahun
pemerintahan Mursi adalah momentum yang tepat untuk melakukan aksi menjalankan
skenario kedua. Seandainya skenario kelompok oposisi untuk menjatuhkan dan
mengkriminalkan Mursi benar-benar berhasil maka itu akan menjadi preseden
sangat buruk bagi pembangunan demokrasi di negara tersebut.
Pemilu yang merupakan instrumen fundamental dalam
berdemokrasi tak akan menjadi penentu kehidupan berbangsa dan bernegara negeri
itu. Mereka justru akan melihat ada jalan lain untuk mencapai kekuasaan di luar
pemilu. Salah satunya adalah dengan mengerahkan massa demi sebuah pemaksaan
kehendak. Gerakan massa, bahkan secara fisik malah lebih dipercaya bisa menjadi
jalan untuk mencapai kekuasaan.
Jika itu yang terjadi maka pembangunan demokrasi yang
dimulai dengan gerakan penggulingan rezim Mubarak yang telah memakan banyak
korban sudah tak ada arti lagi. Apalagi bila lingkaran dendam antarkelompok
terus mewarnai perjalanan panjang negeri tersebut. Gerakan massa akan menjadi
pola pergantian kekuasaan secara terus-menerus, dan ini tentu ini sangat
merugikan bagi keseluruhan kehidupan bangsa tersebut. Dalam suasana seperti
itu, kelompok mana pun yang memegang kekuasaan kelak akan sangat sulit
mewujudkan amanat revolusi rakyat Mesir 25 Januari. Cita-cita revolusi itu tak
akan mungkin terwujud melalui gerakan massa seperti yang terjadi sekarang.
Revolusi 25 Januari menuntut institusionalisasi hasil-hasil
gerakan itu dalam suasana aman, stabil, dan kohesivitas rakyat dalam skala yang
tinggi. Institusionalisasi itu tak memerlukan pemimpin yang ganas, massa yang
militan, dan pengikut teguh (true
believer). Institusionalisasi hasil gerakan justru memerlukan pemimpin yang
tenang dan profesional, serta tidak meledak-ledak, juga pengikut yang rasional,
dan dalam suasana yang tenang. Peristiwa beberapa hari ke depan adalah ujian
sejarah yang begitu krusial bagi masa depan Mesir. Bila mereka mampu melewati
dengan solusi damai yang diterima kedua pihak maka harapan akan keterwujudan
cita-cita revolusi 25 Januari tentu masih tersisa. Namun seandainya kompromi
itu tak tercapai, dan ini tidak mudah mengingat massa tak akan mudah
dikendalikan maka nasib Mesir tak akan lebih baik dari negara-negara lain yang
mengalami ”Musim Semi Arab.” ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar