|
KOMPAS,
28 Juni 2013
Pendidikan gratis laris manis jadi
jualan di berbagai ajang kampanye pemilu kepala daerah ataupun nasional.
Program yang berpihak pada rakyat ini memang menggembirakan. Namun sayang,
sering kali sekadar ”janji manis” bernuansa politis demi menggaet simpati
masyarakat.
Ketika pemerintah pusat baru berani
menjamin pendidikan dasar gratis di tingkat SD-SMP, sesuai amanat UUD 1945,
saat ini saja tercatat 14 provinsi yang sudah mengklaim telah melaksanakan
wajib belajar 12 tahun. Adanya kata wajib belajar tentu sah saja jika dituntut
gratis.
Ada yang memang bisa berjalan
karena didukung dengan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Namun,
yang sekadar ”janji manis” pada akhirnya meninggalkan beban di pundak pihak
sekolah.
Tri Budi Ananto, Kepala SMKN 5
Mataram, Nusa Tenggara Barat, mengatakan, wajib belajar 12 tahun sebenarnya
dicanangkan Pemerintah Kota Mataram sejak 2009. Namun, baru pada tahun ajaran
2012/2013 ada kucuran dana semacam bantuan operasional sekolah daerah (Bosda)
dari pemerintah setempat.
Sebelum ada Bosda, wajib belajar 12
tahun berjalan maju-mundur. Awalnya, sekolah menggratiskan biaya sekolah buat
siswa pemegang Jamkesmas. Ketika tahun berikutnya dukungan APBD tak kunjung
datang, penggratisan pun tak lagi bisa penuh, hanya separuhnya. Itu pun khusus
bagi yang berasal dari keluarga pemegang kartu Jamkesmas.
Ketika Bosda mulai dikirimkan ke
sekolah, kendala tetap juga membayangi pelaksanaan pendidikan gratis. Kucuran
Bosda tak selancar yang diharapkan pihak sekolah. Alokasi Bosda untuk semester
genap tahun 2013 belum juga kunjung diterima sekolah.
Jika pada semester ganjil
dikucurkan Rp 150.000 per siswa, untuk semester genap ini menurun jadi Rp
90.000 per siswa. Padahal, sekolah sudah menggratiskan biaya bulanan siswa
mampu ataupun yang berasal dari keluarga miskin.
”Kami mendukung saja pencanangan
pendidikan gratis oleh pemerintah daerah. Namun, yang penting sekolah juga
diberi dukungan dana untuk merealisasikannya kepada masyarakat,” kata Tri.
Masyarakat yang telanjur percaya
dengan ”janji manis” yang bertebaran saat kampanye memang berhak menuntut.
Sekolah jadi serba salah. Ketidakpastian soal dukungan pendanaan inilah yang
sering jadi biang masalah.
Klaim
daerah
Di sisi lain, meski anggaran
sekolah gratis masih bergantung penuh pada anggaran pemerintah pusat lewat bantuan
operasional sekolah (BOS), pemerintah daerah mengklaim seakan program itu milik
daerah. Padahal, BOS disebut sebagai bantuan dengan harapan pemerintah daerah
menambah alokasinya lewat APBD.
Kasmawati, Kepala SDN 2 Lamokato,
Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, mengatakan, di daerah ini pendidikan
gratis baru dicanangkan sembilan tahun alias SD-SMP. Anggarannya masih
bergantung pada BOS yang dikucurkan Kemdikbud.
Besaran BOS untuk SD Rp 580.000 per
siswa per tahun. Di jenjang SMP Rp 710.000 per siswa per tahun. Sekolah
mendapatkan alokasi dana BOS sesuai dengan jumlah siswa.
Bisa jadi klaim daerah ini semakin
menjadi-jadi menjelang Pemilu 2014. Apalagi pemerintah pusat mulai tahun ajaran
2013/2014 bakal mencanangkan pendidikan menengah universal sebagai rintisan
wajib belajar 12 tahun. Siswa SMA/SMK sederajat juga bakal dapat BOS seperti di
SD dan SMP dengan besaran Rp 1 juta per siswa per tahun.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Mohammad Nuh memang belum bisa menjamin pendidikan di SMA/SMK sederajat bakal
gratis seperti di SD-SMP. ”Semestinya dengan adanya BOS tidak naik atau bisa
lebih murah,” ujar Nuh.
Menurut Iwan Hermawan, Sekretaris
Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), hitungan ideal untuk
pendidikan bermutu di jenjang SMA bisa berkisar Rp 4 juta per siswa per tahun.
”Jangan sampai masyarakat diiming-imingi wajib belajar 12 tahun gratis, tapi
dananya belum cukup. Namanya dijanjikan, ya, tidak salah masyarakat menuntut.
Namun, sekolah yang akhirnya kelabakan,” kata Iwan.
Pendidikan gratis pun tidak sekadar
dimaknai siswa pergi ke sekolah dengan tidak membayar. Yang justru harus
dipastikan, siswa mendapat layanan pendidikan yang semakin bermutu.
Abbas Ghozali, pengajar UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, yang juga mantan Ketua Tim Ahli Pembiayaan Badan Standar
Nasional Pendidikan, dalam makalahnya, ”Implikasi Fiskal Pendidikan Dasar
Gratis 2008 dan 2009”, mengatakan, pendidikan gratis memang dapat menimbulkan
tafsir beragam dan kebijakan operasional yang beragam pula. Oleh karena itu,
kebijakan pada tataran operasional sangat diperlukan agar kebijakan pendidikan
dasar gratis dapat dilaksanakan secara efisien dan konsisten untuk mencapai
tujuannya.
Menurut Abbas, penyelenggaraan
pendidikan dasar gratis merupakan sebuah konsep yang dinamis, dalam arti
kandungan dalam paket layanannya berevolusi sejalan dengan tuntutan daya
tampung dan kualitas, dalam batas kapasitas fiskal.
Pendidikan gratis dengan layanan
pendidikan bermutu itulah harapan masyarakat. Realisasinya tentu membutuhkan
pendidik yang berkualitas dan terjamin kesejahteraannya, sarana dan prasarana
sekolah yang sesuai standar nasional, hingga pembiayaan atau bahan dan alat
pembelajaran habis pakai.
Namun, tampaknya pendidikan gratis
yang bermutu masih jauh panggang dari api. Kondisi guru bukan hanya belum
berkualitas seperti yang diharapkan meski sudah disertifikasi. Hampir satu juta
guru berstatus honorer. Akibatnya, dana BOS pun terserap untuk gaji guru meski
kini dibatasi maksimal 20 persen.
Belum lagi ruangan kelas yang rusak
mencapai ratusan ribu. Di SD terdapat 173.344 ruangan kelas yang rusak dan di
SMP sebanyak 41.027 ruangan kelas.
Dari segi kualitas sekolah, jika
mengacu akreditasi juga masih memprihatinkan. Hampir 50 persen sekolah/madrasah
berakreditasi C. Sekolah ini memiliki titik lemah di sektor tenaga pendidik dan
kependidikan, standar kelulusan, dan sarana-prasarana.
Gratis
versus kualitas
Kebijakan pendidikan gratis yang
belum didukung dengan komitmen pendanaan yang memadai, sesuai dengan kebutuhan
dan kapasitas sekolah, memunculkan pesimisme. Dengan cap gratis, sekolah jadi
terjebak sulit meningkatkan diri karena sumber dana yang terbatas dan tak
pasti.
Tak heran jika sekolah pun kemudian
memutar akal untuk dapat dukungan pendanaan. Dengan adanya celah, partisipasi
masyarakat diperbolehkan, sekolah menggandeng komite sekolah untuk bisa menjadi
pendukung adanya pungutan kepada masyarakat.
Pendidikan gratis pun kini jadi
abu-abu. Antara janji manis kampanye dan realitas jadi tidak sejalan.
Ahmad Musyadad, Kepala Madrasah Ibtidayah
Negeri Jejeran Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, mengatakan, jika
mengandalkan BOS, sekolah yang memiliki program khusus dengan penguatan siaga
bencana, sekolah sehat, dan sekolah hijau ini sulit merealisasikan program.
Sekolah kemudian melibatkan orangtua untuk merencanakan program yang dibutuhkan
siswa, termasuk siap untuk memberikan dukungan dana.
”Jika mau bicara ideal, dengan
kondisi sekolah kami, hitungan kebutuhan siswa sekitar Rp 1 juta per siswa per
tahun. Mengandalkan dana BOS masih kurang,” ujar Ahmad.
Pendidikan gratis sebenarnya
bukanlah hal tabu jika dimaknai untuk melayani masyarakat, bukan untuk sekadar
menarik simpati sesaat supaya menang pemilu kepala daerah. ”Wajib belajar
sembilan tahun itu tugas pemerintah. Itu harus diwujudkan, bukan lagi jadi
jualan setiap kampanye,” kata Soedijarto, Ketua Dewan Pembina Ikatan Sarjana
Pendidikan Indonesia.
Dengan anggaran pendidikan yang
semakin besar, yang semestinya tidak dimanipulasi demi pencitraan terpenuhinya
minimal 20 persen dengan memasukkan gaji guru, pendidikan gratis bermutu di
Indonesia bukan hal yang sulit. Sayang, janji manis yang masih sering
ditawarkan. Dan, korupsi tak terkendali menggerus hak rakyat menikmati
pendidikan gratis. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar