Senin, 01 Juli 2013

Mereka Menyibakkan Tabir Transparansi

Mereka Menyibakkan Tabir Transparansi
mon ;  Wartawan Kompas
KOMPAS, 28 Juni 2013


Para akademisi dari Australia tersebut dalam diskusi berbicara datar-datar saja. Akan tetapi, penuturan mereka membuai dan membuka tabir pemikiran. Mereka memperkuat penerawangan tentang pengelolaan ekonomi domestik yang baik. Tujuannya demi kemakmuran warga, bukan segelintir elite. Isinya bukan sesuatu yang baru karena para teknokrat Indonesia pun punya pemahaman soal itu.

Sekadar informasi, Australia adalah negara yang masuk dalam urutan 10 besar kelompok negara tersejahtera di dunia. Sejahtera melebihi arti dari terkaya.

Penuturan mereka sungguh memberi nuansa tentang bagaimana memakmurkan warga dengan sumber daya alam sendiri. Secara ekonomi hubungan bilateral Indonesia-Australia tidak luar biasa dari segi volume dan nilai perdagangan. Namun, ada banyak hal bisa ditiru Indonesia dari Australia.

Australia, sama seperti Indonesia, kaya batubara, bijih besi, emas, gas, minyak, dan aluminium. Perbedaan kedua negara adalah pada bagaimana mengelola sumber daya alam itu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Jika kurs dollar Australia kini setara dengan kurs dollar AS, hal itu lebih banyak disebabkan sukses mereka meraih penerimaan devisa yang besar dari sumber daya alam. Wakil Perdana Menteri yang juga Menteri Keuangan Australia Wayne Swan pada 9 Juni 2013 menyatakan, ”Ekonomi Australia mengalahkan rata-rata pertumbuhan negara-negara maju.”

Sektor pertambangan merupakan pendorong besar bagi produk domestik bruto (PDB) Australia. Total nilai produksi sektor pertambangan mencapai 140 miliar dollar Australia dan menyumbang lebih dari 50 persen total kegiatan manufaktur Australia.

Mekanisme pasar vs nasionalisme

Uniknya negara ini tidak direpotkan keterlibatan langsung eksplorasi. Mekanisme pasar sepenuhnya menjadi landasan utama pengelolaan sektor pertambangan. Ini berbeda dengan Indonesia yang memiliki unsur nasionalisme dan campur tangan pemerintah.

Pemerintah Australia membiarkan eksplorasi ditangani korporasi dan negara mengambil manfaat melalui pungutan pajak sektor pertambangan yang diberlakukan progresif. Dengan sistem perpajakan yang diterapkan, dari tahun ke tahun penerimaan pajak di sektor pertambangan terus meningkat. Bagi pemerintah, hal terpenting adalah memaksimalkan penerimaan dari sektor pertambangan.

Tidak banyak birokrasi terlibat dan siapa saja diperbolehkan terlibat dalam sektor ini. Hal terpenting dan kunci keberhasilan menjadikan pertambangan sumber kemakmuran masyarakat Australia adalah transparansi.

Ada kejelasan besarnya produksi, biaya produksi, dan penerimaan. Pemerintah berkonsentrasi pada sistem yang menjamin transparansi keuangan penuh untuk mengikis potensi penggelapan volume produksi dan pembengkakan biaya produksi yang berpotensi merugikan negara dari sisi penerimaan.

Pengalaman Australia itu mengingatkan pada pengelolaan sektor pertambangan di Indonesia yang memberi kesan tertutup, tidak transparan, dan menimbulkan pertanyaan. Hal itu tecermin dari gugupnya pemerintah saat harus memutuskan untuk mengurangi atau tidak mengurangi subsidi bahan bakar minyak. Ada gugatan soal transparansi pengelolaan sektor pertambangan migas yang hingga sekarang dipersepsikan sungguh tidak kredibel. Transparansi menjadi contoh yang layak ditiru dari Australia terlepas dari siapa pun yang terlibat dalam sektor pertambangan.

Di sisi eksplorasi, Indonesia juga bisa belajar dari Australia yang termasuk andal dalam manajemen eksplorasi sumber daya mineral, terutama dikaitkan dengan isu lingkungan dan pengelolaan secara berkelanjutan. Tidak bisa lagi dibiarkan sumber daya alam diambil secara sembarangan dengan konsekuensi kerusakan lingkungan.

Kultur korporasi

Pola perekonomian Australia secara umum selalu berlandaskan pada mekanisme pasar dengan pengawasan ketat pemerintah. Korporasi Australia terbiasa bekerja dengan birokrasi yang tidak berliku-liku dan hanya mengandalkan kompetisi dengan sistem tender terbuka serta bersih.

Dengan latar belakang kultur bisnis di negaranya, ternyata tidak mudah bagi pengusaha Australia masuk ke pasar Indonesia. Itu tidak lain karena pengusaha Australia terbiasa dengan kultur transparansi.

Di satu sisi hal itu diakui sebagai kelemahan pihak Australia yang tidak mau repot-repot dengan urusan birokrasi di Indonesia. Inilah yang membuat mereka terhambat melakukan penetrasi pasar di Indonesia. Paling banter Australia hanya dikenal melalui beberapa korporasi di sektor perbankan, produk pertanian seperti buah, dan beberapa usaha pertambangan.

Di sisi lain Indonesia dapat memanfaatkan budaya transparansi dalam pengelolaan bisnis dan birokrasi pemerintahan yang tidak berbelit-belit yang dibawa korporasi Australia. Korporasi Australia secara eksplisit selalu ingin bekerja dengan kultur transparan yang merupakan darah daging mereka.

Jika ingin mengikis pola bisnis yang didasari pada nepotisme, apalagi praktik suap dan korupsi, membuka pintu bagi korporasi Australia ke pasar Indonesia layak jadi pemikiran penting. Ada banyak pakar di Australia yang berpenduduk 22,3 juta jiwa itu yang paham soal Indonesia. Namun, tidak banyak pakar soal Australia di Indonesia.

Australia boleh saja bukan negara mitra dagang Indonesia yang terpenting (lihat tabel). Namun, suprastruktur pengelolaan ekonomi yang baik bisa dipelajari dari Australia. Jika para anggota DPR serius melakukan studi banding ke negara lain―—――bukan untuk jalan-jalan jauh demi liburan dengan biaya negara, Australia adalah tujuan tepat.

Dari segi produk Indonesia dan Australia relatif tidak bersaing di pasar global. Kedua negara memiliki hubungan ekonomi saling melengkapi. Dengan demikian, kerja sama kedua negara tidak perlu dalam bentuk persaingan, termasuk dalam sektor pertanian. Bahkan, di sektor pertanian dan pangan, Indonesia bisa belajar banyak dari profesionalitas negara tetangga tersebut.

Entah apakah para elite Indonesia sudah mampu menangkap potensi Australia yang berjarak dekat secara geografis itu, tetapi telah lama diabaikan karena masalah persepsi yang keliru di setiap negara. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar