|
KOMPAS,
28 Juni 2013
Para akademisi dari Australia
tersebut dalam diskusi berbicara datar-datar saja. Akan tetapi, penuturan
mereka membuai dan membuka tabir pemikiran. Mereka
memperkuat penerawangan tentang pengelolaan ekonomi domestik yang baik.
Tujuannya demi kemakmuran warga, bukan segelintir elite. Isinya bukan sesuatu
yang baru karena para teknokrat Indonesia pun punya pemahaman soal itu.
Sekadar
informasi, Australia adalah negara yang masuk dalam urutan 10 besar kelompok
negara tersejahtera di dunia. Sejahtera melebihi arti dari terkaya.
Penuturan
mereka sungguh memberi nuansa tentang bagaimana memakmurkan warga dengan sumber
daya alam sendiri. Secara ekonomi hubungan bilateral Indonesia-Australia tidak
luar biasa dari segi volume dan nilai perdagangan. Namun, ada banyak hal bisa
ditiru Indonesia dari Australia.
Australia,
sama seperti Indonesia, kaya batubara, bijih besi, emas, gas, minyak, dan
aluminium. Perbedaan kedua negara adalah pada bagaimana mengelola sumber daya
alam itu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Jika
kurs dollar Australia kini setara dengan kurs dollar AS, hal itu lebih banyak
disebabkan sukses mereka meraih penerimaan devisa yang besar dari sumber daya
alam. Wakil Perdana Menteri yang juga Menteri Keuangan Australia Wayne Swan
pada 9 Juni 2013 menyatakan, ”Ekonomi Australia mengalahkan rata-rata
pertumbuhan negara-negara maju.”
Sektor
pertambangan merupakan pendorong besar bagi produk domestik bruto (PDB)
Australia. Total nilai produksi sektor pertambangan mencapai 140 miliar dollar
Australia dan menyumbang lebih dari 50 persen total kegiatan manufaktur
Australia.
Mekanisme
pasar vs nasionalisme
Uniknya
negara ini tidak direpotkan keterlibatan langsung eksplorasi. Mekanisme pasar
sepenuhnya menjadi landasan utama pengelolaan sektor pertambangan. Ini berbeda
dengan Indonesia yang memiliki unsur nasionalisme dan campur tangan pemerintah.
Pemerintah
Australia membiarkan eksplorasi ditangani korporasi dan negara mengambil
manfaat melalui pungutan pajak sektor pertambangan yang diberlakukan progresif.
Dengan sistem perpajakan yang diterapkan, dari tahun ke tahun penerimaan pajak
di sektor pertambangan terus meningkat. Bagi pemerintah, hal terpenting adalah
memaksimalkan penerimaan dari sektor pertambangan.
Tidak
banyak birokrasi terlibat dan siapa saja diperbolehkan terlibat dalam sektor
ini. Hal terpenting dan kunci keberhasilan menjadikan pertambangan sumber
kemakmuran masyarakat Australia adalah transparansi.
Ada
kejelasan besarnya produksi, biaya produksi, dan penerimaan. Pemerintah
berkonsentrasi pada sistem yang menjamin transparansi keuangan penuh untuk
mengikis potensi penggelapan volume produksi dan pembengkakan biaya produksi
yang berpotensi merugikan negara dari sisi penerimaan.
Pengalaman
Australia itu mengingatkan pada pengelolaan sektor pertambangan di Indonesia
yang memberi kesan tertutup, tidak transparan, dan menimbulkan pertanyaan. Hal
itu tecermin dari gugupnya pemerintah saat harus memutuskan untuk mengurangi
atau tidak mengurangi subsidi bahan bakar minyak. Ada gugatan soal transparansi
pengelolaan sektor pertambangan migas yang hingga sekarang dipersepsikan
sungguh tidak kredibel. Transparansi menjadi contoh yang layak ditiru dari
Australia terlepas dari siapa pun yang terlibat dalam sektor pertambangan.
Di
sisi eksplorasi, Indonesia juga bisa belajar dari Australia yang termasuk andal
dalam manajemen eksplorasi sumber daya mineral, terutama dikaitkan dengan isu
lingkungan dan pengelolaan secara berkelanjutan. Tidak bisa lagi dibiarkan
sumber daya alam diambil secara sembarangan dengan konsekuensi kerusakan
lingkungan.
Kultur korporasi
Pola
perekonomian Australia secara umum selalu berlandaskan pada mekanisme pasar
dengan pengawasan ketat pemerintah. Korporasi Australia terbiasa bekerja dengan
birokrasi yang tidak berliku-liku dan hanya mengandalkan kompetisi dengan
sistem tender terbuka serta bersih.
Dengan
latar belakang kultur bisnis di negaranya, ternyata tidak mudah bagi pengusaha
Australia masuk ke pasar Indonesia. Itu tidak lain karena pengusaha Australia
terbiasa dengan kultur transparansi.
Di
satu sisi hal itu diakui sebagai kelemahan pihak Australia yang tidak mau
repot-repot dengan urusan birokrasi di Indonesia. Inilah yang membuat mereka
terhambat melakukan penetrasi pasar di Indonesia. Paling banter Australia hanya
dikenal melalui beberapa korporasi di sektor perbankan, produk pertanian
seperti buah, dan beberapa usaha pertambangan.
Di
sisi lain Indonesia dapat memanfaatkan budaya transparansi dalam pengelolaan
bisnis dan birokrasi pemerintahan yang tidak berbelit-belit yang dibawa
korporasi Australia. Korporasi Australia secara eksplisit selalu ingin bekerja
dengan kultur transparan yang merupakan darah daging mereka.
Jika
ingin mengikis pola bisnis yang didasari pada nepotisme, apalagi praktik suap
dan korupsi, membuka pintu bagi korporasi Australia ke pasar Indonesia layak
jadi pemikiran penting. Ada banyak pakar di Australia yang berpenduduk 22,3
juta jiwa itu yang paham soal Indonesia. Namun, tidak banyak pakar soal
Australia di Indonesia.
Australia
boleh saja bukan negara mitra dagang Indonesia yang terpenting (lihat tabel).
Namun, suprastruktur pengelolaan ekonomi yang baik bisa dipelajari dari
Australia. Jika para anggota DPR serius melakukan studi banding ke negara
lain―—――bukan untuk jalan-jalan jauh demi liburan dengan biaya negara,
Australia adalah tujuan tepat.
Dari
segi produk Indonesia dan Australia relatif tidak bersaing di pasar global.
Kedua negara memiliki hubungan ekonomi saling melengkapi. Dengan demikian,
kerja sama kedua negara tidak perlu dalam bentuk persaingan, termasuk dalam
sektor pertanian. Bahkan, di sektor pertanian dan pangan, Indonesia bisa belajar
banyak dari profesionalitas negara tetangga tersebut.
Entah
apakah para elite Indonesia sudah mampu menangkap potensi Australia yang
berjarak dekat secara geografis itu, tetapi telah lama diabaikan karena masalah
persepsi yang keliru di setiap negara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar