Selasa, 02 Juli 2013

DPD (Masih) Belum Mewakili Daerah

DPD (Masih) Belum Mewakili Daerah
Tri Agung Kristanto ;  Wartawan KOMPAS
KOMPAS, 28 Juni 2013


Judul di atas memang provokatif. Ini sengaja ditampilkan karena suka atau tidak, harus diakui, sampai hari ini keberadaan Dewan Perwakilan Daerah belum terasa menggema di masyarakat. DPD hanya muncul jika menyangkut pemberitaan dirinya sendiri, terutama rencana perubahan kelima Undang-Undang Dasar 1945 dan sempat diramaikan soal pembangunan gedung perwakilan DPD di daerah. Apalagi yang dilakukan atau disuarakan anggota DPD?

Sinyalemen ini bukan tanpa data dan fakta. Sepanjang tahun 2009-2013 (Mei 2013), misalnya, Pusat Informasi Kompas (PIK) menampilkan 4.098 berita terkait DPD. Itu pun tidak seluruhnya merupakan berita tentang Dewan Perwakilan Daerah, melainkan juga dewan pimpinan daerah partai politik atau organisasi kemasyarakatan karena kata kunci yang dipakai adalah DPD.

Bandingkan dengan ”saudara tua” DPD, yakni DPR. Pada periode yang sama, PIK menampilkan 18.430 berita. Dengan kata kunci MPR, yang merupakan joint session DPD dan DPR dan relatif bekerja lima tahun sekali, kecuali untuk menerima tamu dan menyosialisasikan empat pilar berbangsa, masih muncul 1.860 berita. Dengan kata kunci DPRD, tertampilkan 12.968 berita.

Kondisi serupa bisa kita lihat sesuai pencarian pada Jumat (21/6). Jika menggunakan laman ”pencari” www.google.co.id untuk melihat perbandingan jumlah penyebutan Dewan Perwakilan Daerah, ditemukan 1,18 juta ”data” dengan kata kunci itu. Data itu pun termasuk dengan kata kunci Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Sebaliknya, dengan kata kunci Majelis Permusyawaratan Rakyat ditemukan 701.000 data. Selain itu, ditemukan data Dewan Perwakilan Rakyat sebanyak 3,79 juta. Untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ditemukan 2,75 juta data.

Memang ada ”permakluman”, jumlah anggota DPD ”hanya” 132 orang. Bandingkan dengan anggota DPR yang 560 orang dan anggota DPRD yang ribuan orang. Namun, kalau kita cermati, baik di DPD, MPR, maupun DPR, sebenarnya narasumber yang muncul ya itu-itu saja. Dari DPD, misalnya, yang paling sering muncul adalah nama Ketua DPD Irman Gusman—mengutip data PIK sepanjang tahun 2009-2013 (Mei 2013) dalam 223 berita. Wakil Ketua DPD Laode Ida muncul dengan 133 berita dan GKR Hemas sebanyak 101 berita. Kemunculan anggota DPD lain jauh di bawah pimpinan lembaga perwakilan daerah itu.

Mereka pun lebih banyak berbicara tentang berbagai masalah kebangsaan, terutama politik secara umum, dibandingkan dengan bicara mengenai persoalan di daerah. GKR Hemas sebagai wakil dari Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta memang banyak muncul terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Keistimewaan DI Yogyakarta saat itu, selain tentang peran kaum perempuan dalam politik.

Bandingkan dengan pimpinan DPR, seperti Marzuki Alie. Pada periode yang sama, PIK mencatat 778 berita dengan kata kunci nama ketua parlemen itu. Anggota DPR, seperti Bambang Soesatyo, pun mencatat kemunculan lebih banyak dibandingkan dengan pimpinan DPD, yakni 499 berita pada periode yang sama. Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu, Mahfud MD, pada periode yang sama lebih sering lagi muncul dan menyampaikan pendapatnya, yakni sebanyak 951 berita yang tercatat di PIK.

Padahal, dari survei yang diadakan Lembaga Survei Indonesia terhadap 1.220 orang berusia minimal 17 tahun atau sudah menikah di 33 provinsi pada 7-18 Desember 2011, dengan margin of error (ambang batas kekeliruan) lebih kurang 2,9 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen, hampir dua pertiga responden mengetahui DPD. Mereka juga memilih wakilnya secara langsung dalam pemilu. Warga juga tahu, tugas DPD adalah mewakili rakyat di daerah pada tingkat pusat (Kompas, 27/2/2012).

Panggung harus direbut

Dari ”riset” kecil itu terlihat betapa penampilan DPD masih memprihatinkan. DPD lebih banyak tak bersuara, bahkan untuk sebuah persoalan yang menyangkut daerah. Padahal, menurut Ketua Panitia Perancang UU tentang DPD Muspani (Bengkulu), dalam posisinya sebagai ”wakil daerah”, idealnya DPD dapat dijadikan mediator jika terjadi hubungan pusat dan daerah yang tidak sesuai.

Namun, sekali lagi, niat DPD mengemban amanat sebagai lembaga
perwakilan daerah tidak mudah. Penyebabnya antara lain kewenangan konstitusional terbatas dan instrumen politik dalam rangka mengemban amanat masyarakat dan daerah sangat terbatas (Kompas, 13/1/2009).

Ahli hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Fajrul Falaakh, mengungkapkan, selama ini kewenangan DPD sangat terbatas sehingga DPD tidak bisa mengambil keputusan politik dan seperti ornamen demokrasi saja. Padahal, DPD juga dipilih rakyat secara langsung. DPD perlu diperkuat dan itu hanya bisa dilakukan melalui perubahan konstitusi (Kompas, 27/2/2012).

Keterbatasan dan minoritas memang terkadang membuat seseorang atau suatu komunitas terpuruk dalam ketidakberdayaan. Namun, tidak sedikit pula keterbatasan dan kondisi minoritas itu membuat seseorang atau komunitas tertentu justru lebih kreatif, mendorong memiliki daya juang dan upaya hidup yang tinggi, sehingga mereka menjadi pemenang.

Kisah keberhasilan masyarakat China di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, dalam menguasai perekonomian bisa menjadi inspirasi. Kisah sukses dari kaum pendatang di Jakarta juga bisa menginspirasi untuk meraih keberhasilan.

Kuncinya, panggung harus direbut! Dalam dunia politik atau bidang lain yang sarat dengan persaingan tidak pernah ada pemenang yang sukarela menyerahkan podiumnya. Tak ada keberhasilan tanpa perjuangan dan usaha keras. Keterbatasan dan minoritas adalah tantangan.

Dalam dunia balap, mulai dari balap sepeda sampai Formula 1, tidak pernah ada sirkuit yang berupa jalan lurus. Selalu berliku, penuh dengan tantangan dan kesulitan dengan derajat yang beragam, bahkan harus  berulang-ulang dilalui. Itulah ”medan perjuangan” anggota DPD untuk meraih keberhasilan, termasuk dalam memperjuangkan penguatan dirinya melalui amandemen kelima UUD 1945.

Pengalaman menunjukkan, jalan lurus yang ditawarkan DPD, mewacanakan perubahan UUD 1945 secara terbuka, tanpa basa-basi, untuk ”kepentingan” penguatan DPD sejak tahun 2007, berujung pada kegagalan. Sesungguhnya banyak sekali panggung” yang bisa direbut DPD untuk mulai memperjuangkan penguatan dirinya. Strategis atau tidak sebuah isu atau gagasan dalam dunia yang ”konsumtif” saat ini sangat tergantung pada kemasan dan cara mempresentasikannya kepada masyarakat. Karena itu, kini berkembang ilmu pemasaran politik dan politik public relation.

Sebagai contoh, kondisi frustrasi yang dialami ”warga” Jakarta dalam menghadapi kemacetan dan banjir akibat perubahan iklim yang ekstrem dewasa ini sesungguhnya juga bisa menjadi pintu masuk untuk isu penguatan DPD melalui perubahan UUD 1945. Tragedi yang menimpa warga Wasior, Papua, atau daerah lain akibat banjir bandang juga adalah panggung kosong yang sebenarnya lebih mudah direbut anggota DPD.
Namun, di mana anggota DPD? Penampilan dan pernyataan dari pimpinan DPD yang dimuat media massa tidaklah cukup.

Amandemen UUD 1945 sesungguhnya hanya stempel bagi penguatan DPD jika DPD dengan keterbatasan dan minoritasnya sudah lebih dahulu memperkuat dirinya sendiri dalam masyarakat. Keberadaan DPD sungguh dirasakan masyarakat, khususnya daerah yang diwakili, dengan tertampilkannya aspirasi mereka. DPD mampu merebut panggung masyarakat melalui panggung media massa.

Jangan lupa, media massa adalah cermin masyarakat. Dan, jurnalisme itu bertanggung jawab kepada publik. Jika rakyat merasakan benar-benar aspirasinya sering disuarakan anggota DPD dan keberadaan anggota DPD dirasakan masyarakat, penguatan DPD melalui perubahan konstitusi hanyalah soal waktu.

Keberhasilan itu tergantung pada panjang atau pendek lintasan sirkuitnya dan kecepatan yang bisa digenjot oleh ”mobil” DPD. DPD harus menambah kecepatannya karena tak tahu panjang lintasannya.

Perdebatan amandemen UUD 1945 jangan lagi dipersempit sekadar perebutan kewenangan DPD dan DPR, melainkan harus dikaitkan dengan persoalan yang lebih besar, sesuai dengan potensi dan persoalan di daerah. Karena sesungguhnya itulah makna kehadiran DPD di negeri ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar