Kamis, 18 Juli 2013

Kebijakan Ekonomi Ramadhan

Kebijakan Ekonomi Ramadhan
Purbayu Budi Santosa  ;   Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip
REPUBLIKA, 08 Juli 2013


Bulan suci Ramadhan kem bali datang menyambut umat Islam. Kali ini beban ekonomi begitu berat akibat ketidaktepatan waktu penaikan harga BBM premium dan solar. Masih banyak cara lain yang dapat dilakukan untuk tidak memberatkan kaum dhuafa, misal menaikkan penerimaan pajak, efisiensi anggaran berbagai departemen dan lembaga tinggi negara (contohnya, pengurangan perjalanan dinas ke luar negeri), pemberantasan korupsi, maupun pengeluaran lainnya yang tidak semestinya dilakukan.

Meski sudah diberikan dana kompensasi karena kenaikan harga BBM, seperti bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM), tetapi efektivitas pelaksanaannya masih menjadi masalah besar. Di samping sifatnya yang kurang mendidik, data penerima juga menjadi pangkal penyebab yang membuat kalangan penerima justru terlewati, sedangkan yang mestinya sudah tidak pantas menerima, justru dapat menerima. Ini menyebabkan tipisnya "budaya malu".

Tetapi apalah artinya "nasi sudah menjadi bubur", segala aral melintang yang terjadi dalam bulan Ramadhan harus dapat dilewati sampai bulan "penuh kemenangan" berlalu. Kita sudah seharusnya percaya bahwa Allah tidak akan mencoba umatnya melebihi kadar kemampuannya karena Allah Maha Pengasih dan Penyayang. Dari sini kira harus optimistis, harus terus berusaha untuk kebajikan, akan tetapi semuanya tergantung kepada Allah.

Berdasarkan prediksi pemerintah, akibat kenaikan harga BBM, tingkat inflasi akan naik menjadi 7,2 persen sebagai inflasi tahunan. Sebelum kenaikan harga BBM, adanya isu format kenaikan BBM yang berbeda-beda sudah memicu kenaikan harga. Setelah kenaikan harga BBM, harga barang-barang sudah naik lagi.

Meski belum ada pengumuman resmi, nyatanya tarif kendaraan umum sudah menaik. Pemasukan siswa baru dan mahasiswa menyedot banyak biaya, baik untuk membayar biaya sekolah/kuliah, alat-alat tulis, maupun pengeluaran lainnya. Barang-barang kebutuhan pokok juga mengalami kenaikan. Entah karena faktor kebiasaan, psikologis, atau salahnya sistem ekonomi, pada Ramadhan harga-harga barang akan bergejolak naik. Kebiasan tekanan kenaikan harga akan berlangsung sampai periode mudik-balik dan dianggap sebagai suatu kewajaran.

Nyatanya, di negara jiran, seperti Malaysia dan Brunei Darusalam, kenaikan harga-harga barang tidaklah sedrastis yang terjadi di negara kita. Tentu kuncinya terletak pada kesigapan pemerintah dalam mengantisipasi datangnya bulan suci lebih baik di negara jiran tersebut dan sistem ekonomi tidaklah sebebas seperti di negara Indonesia.

Gandeng berbagai pihak

Pihak pemerintah sudah selayaknya dapat belajar dari berbagai negara, termasuk negara jiran, bagaimana dapat menundukkan perilaku para spekulator yang mungkin memanfaatkan bulan suci Ramadhan, bukan sebagai bulan ibadah, melainkan bisa jadi sebagai ajang mengeruk keuntungan. Ketegasan pihak pemerintah dengan menjalankan peraturan hukumnya yang benar-benar penuh rasa keadilan, sudah ditunggu kapan saatnya dapat diterapkan.

Peran ulama dapat dimanfaatkan pemerintah bahwa kebiasaan balas dendam makanan berlebih pada malam hari, di samping tidak baik menurut Islam, juga dapat menaikkan harga-harga melebihi kewajaran. Perilaku spekulasi juga sangat dilarang dalam Islam karena memanfaatkan situasi sesaat yang merugikan banyak pihak. Pembelajaran akan ekonomi syariah merupakan wahana yang tepat untuk mengetahui ekonomi yang berbasis etika dan moral.

Lakukan operasi pasar pada barang-barang yang mengalami kenaikan harga di luar kewajaran. Seandainya nantinya harga beras, gula, dan lain-lainnya naik tajam, mintalah Bulog maupun instansi terkait lainnya untuk melakukan operasi pasar meringankan beban kaum Muslimin yang sedang menjalankan puasa.
Pemerintah semestinya melakukan imbauan moral dan melakukan kerja sama dengan pihak swasta untuk mengamankan pasokan kebutuhan pokok masyarakat. Dengan kesungguhan pihak pemerintah, sudah saatnya swasta juga berpartisipasi dalam mestabilkan harga-harga pada medio Ramadhan ini. Bukankah budaya gotong-royong hendaknya menjadi modal sosial milik bangsa Indonesia, yakni berbagai pihak saling menolong untuk menuju kemajuan bersama.

Demikian pula, menjelang akhir Ramadhan dan sepekan pasca-Ramadhan budaya mudik biasanya berlangsung secara masif dan bersifat khas di Indonesia. Temu keluarga di tempat asal memang merupakan kebiasaan yang sangat baik karena mengingatkan ikatan kekerabatan yang mesti tetap dijunjung tinggi sebagai amalan mempererat tali silaturahim. Kewajiban membayar tunjangan hari raya (THR) hendaknya dapat ditunaikan sesuai peraturan.

Pemerintah berkewajiban mengantisipasi jauh-jauh hari bagaimana budaya mudik dapat berlangsung dengan aman dan tertib, tanpa kecelakaan dan tindak kekerasan maupun kenaikan tarif angkutan yang biasanya menjadi berlebihan. Alangkah baik dan indahnya apabila pihak swasta yang tiap Lebaran menyediakan angkutan massal gratis untuk mudik tetap dijalankan. Pihak lain yang berlebih materi dapat mencontoh perilaku kebajikan tersebut, yang tentunya sesuai amanah bulan Ramadhan, yaitu menolong kepada sesama apalagi bagi kaum kekurangan.

Infrastruktur jalan yang pada akhir-akhir ini terlihat masih dalam perbaikan sehingga menambah jam perjalanan, menjelang Lebaran sudah selesai secara memadai. Penyediaan alat transportasi dengan berbagai modanya perlu ditambah sesuai kebutuhan. Kecukupan dan kewaspadaan petugas lalu lintas kiranya perlu ditingkatkan supaya acara mudik dapat berlangsung aman, tertib, dan lancar.

Kegiatan zakat, infak, dan sedekah sudah seharusnya mengalami kenaikan yang tinggi pada Ramadhan yang penuh berkah dan amalan kebajikan akan dilipatgandakan pahalanya. Gunakan perolehan yang ada sesuai aturan agama karena pada prinsipnya dengan kegiatan tersebut masyarakat Islam dan Indonesia akan semakin merata dan naik dalam pendapatan sehingga dapat tercapai kesejahteraan lahir dan batin. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar