|
REPUBLIKA,
08 Juli 2013
Bulan
suci Ramadhan kem bali datang menyambut umat Islam. Kali ini beban ekonomi
begitu berat akibat ketidaktepatan waktu penaikan harga BBM premium dan solar.
Masih banyak cara lain yang dapat dilakukan untuk tidak memberatkan kaum
dhuafa, misal menaikkan penerimaan pajak, efisiensi anggaran berbagai
departemen dan lembaga tinggi negara (contohnya, pengurangan perjalanan dinas
ke luar negeri), pemberantasan korupsi, maupun pengeluaran lainnya yang tidak
semestinya dilakukan.
Meski
sudah diberikan dana kompensasi karena kenaikan harga BBM, seperti bantuan
langsung sementara masyarakat (BLSM), tetapi efektivitas pelaksanaannya masih
menjadi masalah besar. Di samping sifatnya yang kurang mendidik, data penerima
juga menjadi pangkal penyebab yang membuat kalangan penerima justru terlewati,
sedangkan yang mestinya sudah tidak pantas menerima, justru dapat menerima. Ini
menyebabkan tipisnya "budaya malu".
Tetapi
apalah artinya "nasi sudah menjadi bubur", segala aral melintang yang
terjadi dalam bulan Ramadhan harus dapat dilewati sampai bulan "penuh
kemenangan" berlalu. Kita sudah seharusnya percaya bahwa Allah tidak akan
mencoba umatnya melebihi kadar kemampuannya karena Allah Maha Pengasih dan
Penyayang. Dari sini kira harus optimistis, harus terus berusaha untuk
kebajikan, akan tetapi semuanya tergantung kepada Allah.
Berdasarkan
prediksi pemerintah, akibat kenaikan harga BBM, tingkat inflasi akan naik
menjadi 7,2 persen sebagai inflasi tahunan. Sebelum kenaikan harga BBM, adanya
isu format kenaikan BBM yang berbeda-beda sudah memicu kenaikan harga. Setelah
kenaikan harga BBM, harga barang-barang sudah naik lagi.
Meski
belum ada pengumuman resmi, nyatanya tarif kendaraan umum sudah menaik. Pemasukan
siswa baru dan mahasiswa menyedot banyak biaya, baik untuk membayar biaya
sekolah/kuliah, alat-alat tulis, maupun pengeluaran lainnya. Barang-barang
kebutuhan pokok juga mengalami kenaikan. Entah karena faktor kebiasaan, psikologis,
atau salahnya sistem ekonomi, pada Ramadhan harga-harga barang akan bergejolak
naik. Kebiasan tekanan kenaikan harga akan berlangsung sampai periode
mudik-balik dan dianggap sebagai suatu kewajaran.
Nyatanya,
di negara jiran, seperti Malaysia dan Brunei Darusalam, kenaikan harga-harga
barang tidaklah sedrastis yang terjadi di negara kita. Tentu kuncinya terletak
pada kesigapan pemerintah dalam mengantisipasi datangnya bulan suci lebih baik
di negara jiran tersebut dan sistem ekonomi tidaklah sebebas seperti di negara
Indonesia.
Gandeng berbagai pihak
Pihak
pemerintah sudah selayaknya dapat belajar dari berbagai negara, termasuk negara
jiran, bagaimana dapat menundukkan perilaku para spekulator yang mungkin
memanfaatkan bulan suci Ramadhan, bukan sebagai bulan ibadah, melainkan bisa
jadi sebagai ajang mengeruk keuntungan. Ketegasan pihak pemerintah dengan
menjalankan peraturan hukumnya yang benar-benar penuh rasa keadilan, sudah
ditunggu kapan saatnya dapat diterapkan.
Peran
ulama dapat dimanfaatkan pemerintah bahwa kebiasaan balas dendam makanan
berlebih pada malam hari, di samping tidak baik menurut Islam, juga dapat
menaikkan harga-harga melebihi kewajaran. Perilaku spekulasi juga sangat
dilarang dalam Islam karena memanfaatkan situasi sesaat yang merugikan banyak
pihak. Pembelajaran akan ekonomi syariah merupakan wahana yang tepat untuk
mengetahui ekonomi yang berbasis etika dan moral.
Lakukan operasi
pasar pada barang-barang yang mengalami kenaikan harga di luar kewajaran.
Seandainya nantinya harga beras, gula, dan lain-lainnya naik tajam, mintalah
Bulog maupun instansi terkait lainnya untuk melakukan operasi pasar meringankan
beban kaum Muslimin yang sedang menjalankan puasa.
Pemerintah semestinya melakukan imbauan moral dan melakukan kerja sama dengan
pihak swasta untuk mengamankan pasokan kebutuhan pokok masyarakat. Dengan
kesungguhan pihak pemerintah, sudah saatnya swasta juga berpartisipasi dalam
mestabilkan harga-harga pada medio Ramadhan ini. Bukankah budaya gotong-royong
hendaknya menjadi modal sosial milik bangsa Indonesia, yakni berbagai pihak
saling menolong untuk menuju kemajuan bersama.
Demikian
pula, menjelang akhir Ramadhan dan sepekan pasca-Ramadhan budaya mudik biasanya
berlangsung secara masif dan bersifat khas di Indonesia. Temu keluarga di
tempat asal memang merupakan kebiasaan yang sangat baik karena mengingatkan
ikatan kekerabatan yang mesti tetap dijunjung tinggi sebagai amalan mempererat
tali silaturahim. Kewajiban membayar tunjangan hari raya (THR) hendaknya dapat
ditunaikan sesuai peraturan.
Pemerintah
berkewajiban mengantisipasi jauh-jauh hari bagaimana budaya mudik dapat
berlangsung dengan aman dan tertib, tanpa kecelakaan dan tindak kekerasan
maupun kenaikan tarif angkutan yang biasanya menjadi berlebihan. Alangkah baik
dan indahnya apabila pihak swasta yang tiap Lebaran menyediakan angkutan massal
gratis untuk mudik tetap dijalankan. Pihak lain yang berlebih materi dapat mencontoh
perilaku kebajikan tersebut, yang tentunya sesuai amanah bulan Ramadhan, yaitu
menolong kepada sesama apalagi bagi kaum kekurangan.
Infrastruktur
jalan yang pada akhir-akhir ini terlihat masih dalam perbaikan sehingga
menambah jam perjalanan, menjelang Lebaran sudah selesai secara memadai.
Penyediaan alat transportasi dengan berbagai modanya perlu ditambah sesuai
kebutuhan. Kecukupan dan kewaspadaan petugas lalu lintas kiranya perlu
ditingkatkan supaya acara mudik dapat berlangsung aman, tertib, dan lancar.
Kegiatan
zakat, infak, dan sedekah sudah seharusnya mengalami kenaikan yang tinggi pada
Ramadhan yang penuh berkah dan amalan kebajikan akan dilipatgandakan pahalanya.
Gunakan perolehan yang ada sesuai aturan agama karena pada prinsipnya dengan
kegiatan tersebut masyarakat Islam dan Indonesia akan semakin merata dan naik
dalam pendapatan sehingga dapat tercapai kesejahteraan lahir dan batin. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar