|
REPUBLIKA,
08 Juli 2013
Ramadhan,
bulan puasa yang suci bagi umat Islam bakal menyapa kita.Umat Islam seantero dunia merayakan datangnya Ramadhan yang mulia dengan suka
cita dan kebahagiaan. Sepanjang Ramadhan, umat Islam berpuasa dari fajar hingga
Maghrib, sehingga ikut merasakan rasa sakit dan payah tanpa makan dan minum.
Puasa
sejatinya perlu meneguhkan rasa empati umat Islam terhadap kaum miskin,
terutama dengan menerapkan moderasi dalam makan dan minum. Diharapkan, prilaku moderat ini tetap ber lanjut pada bulan-bulan berikutnya.
Namun, esensi Ramadhan kerapkali terabaikan dan berada dalam keadaan
menyedihkan bagi sebagian umat Islam. Hal ini jelas terlihat pada prilaku
belanja sebagian besar umat Islam selama Ramadhan.
Banyak
pihak yang justru habis- habisan memanfaatkan Ramadhan guna meraup keuntungan
sebesar-besarnya. Pelbagai taktik dan strategi penjualan muncul untuk
memengaruhi para konsumen Muslim. Siapa pun yang tak tak mampu mengendalikan
diri bakal menjadi mangsa para pedagang atau penjual yang tak peduli lagi
dengan daya beli yang sudah kembang kempis.
Ketika
keuangan mulai menipis, banyak yang beralih kepada kartu kredit untuk memenuhi
kebutuhan belanja. Tren ini terus berulang dari Ramadhan ke Ramadhan, tiap
tahun. Ramadhan telah berubah menjadi bulan komoditas.
Bila dicermati, perilaku konsumtif di kalangan umat Islam selama Ramadhan terkait
erat dengan kegagalan mereka untuk membatasi hasrat. Pengeluaran selama
Ramadhan jauh lebih besar daripada bulan-bulan lainnya.
Kelompok
"gila belanja" ini kerap tidak memikirkan kemampuan keuangan mereka
dan konsekuensi dari pengeluaran yang mereka lakukan. Beberapa di antara mereka
juga menyatroni aneka bazar Ramadhan untuk membeli berbagai hidangan lebih dari
yang diperlukan. Meskipun Ramadhan mengajarkan Muslim bersikap moderat dalam setiap
aspek kehidupan, pemborosan telah menjadi kebiasaan yang sulit dihilangkan.
Menyongsong
kedatangan Ramadhan, ada sejumlah pedagang yang menggelar gimmick iklan dan penjualan. Bermacam kegiatan promosi makin meningkat
selama Ramadhan lewat slogan-slogan yang kian banyak untuk menarik perhatian
konsumen yang sudah terobsesi dengan tawaran diskon atau hadiah. Para pebisnis
tetap bersemangat menyelenggarakan bazar murah dan megasale lantaran kecenderungan dan sifat boros para konsumen.
Belajar
dari Ramadhan sebelumnya, banyak taktik digunakan untuk menarik konsumen selama
Ramadhan. Tetapi, pada bulan yang sama konsumen juga mengeluhkan
praktik-praktik tidak etis terhadap bazar murah disebabkan tidak ada perbedaan
harga sebelum atau selama bazar murah atau penjualan yang menawarkan diskon.
Persoalannya terletak pada tindakan para pedagang yang terlebih dahulu
menaikkan harga, lalu memberikan diskon. Pemahaman yang keliru pada Ramadhan telah
merusak dakwah dengan tabiat komersialisme sebagian umat Islam.
Perilaku
belanja berlebihan perlu segera dihentikan dengan mengejawantahkan sikap hidup
sederhana secara berkelanjutan. Uang yang ada dapat dimanfaatkan untuk
kebutuhan biaya Lebaran, seperti untuk menutupi biaya BBM mudik ke kampung
halaman. Ritus puasa seyogianya memberikan pelajaran moral, terutama berkaitan
dengan nilai-nilai moderasi, kesederhanaan, dan pengendalian diri. Tapi, pada
kenyataannya, konsumerisme menjadi napas suasana Ramadhan. Hasrat telah
mengalahkan kontrol diri.
Merujuk
pada kearifan bapak bangsa, para pemimpin, dan intelektual, Indonesia di awal
abad ke-20 sering mengkritik kapitalisme yang dianggap telah meneguhkan dasar-dasar
kolonialisme. Tidaklah mengherankan bahwa tulisan-tulisan HOS Tjokroaminoto,
Tan Malaka, Sutan Sjahrir, dan Mohammad Hatta membahas benih-benih Marxisme dan
sosialisme. Tjokroaminoto sangat percaya bahwa Islam datang ke dunia ini untuk
mengungkapkan pesan-pesan keadilan sosial, kesetaraan, dan keadilan.
Islam
bertujuan untuk meningkatkan kelas bawah dalam masyarakat. Dalam karya-karya
intelektual
Muslim Indonesia kontemporer, semisal, Moeslim Abdurrahman, Abdul
Munir Mulkhan, Mansur Faqih, dan Kuntowidjoyo, semangat sosialisme masih bisa
dirasakan. Kaum intelektual ini mengusulkan bahwa teologi Islam harus
dirumuskan dengan cara-cara yang mampu memberdayakan kelompok marginal dan
masyarakat miskin guna memperoleh hak yang sama dalam ekonomi, pendidikan, dan
pelayanan publik.
Sayangnya,
para pemimpin agama belakangan jarang menyuarakan semangat di atas. Sebaliknya,
para dai dan politikus atas nama Islam justru menikmati dan mendukung tren
pasar karena jauh lebih bermanfaat bagi mereka. Agama dan spiritualisme
berjalan beriring langkah dengan etos kapitalisme. Ini terasa sekali selama
Ramadhan.
Ini bukan
berarti pasar adalah jahat. Tapi, tindakan dan tren yang meninggalkan kelompok
lemah dan tak terlindungi dari tekanan pasar, adalah sesuatu yang sepenuhnya
salah. Pesan puasa jelas, menahan haus dan lapar, tidak berbelanja untuk
kemewahan, serta tidak berlebih-lebihan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar