|
KOMPAS,
15 Juli 2013
Lima belas tahun sudah reformasi
berjalan. Namun, demokrasi kita masih mengalami disorientasi di berbagai aspek.
Bidang ekonomi ditandai cerita kemiskinan, kesenjangan sosial, dan mismanajemen
pengelolaan sumber daya alam.
Politik
menampilkan kartel politik, candy
politics (politik penenang), dan mengguritanya korupsi pusat-daerah.
Hukum kehilangan supremasi dan dalam bidang sosial muncul pameran kekerasan,
separatisme, dan terorisme. Singkat cerita, demokrasi kita saat ini berupa
demokrasi enigmatik (enigmatic democracy)
yang sarat ketidakpastian.
Hal-hal
fundamental demokrasi tetap saja dikuasai kelas pengatur (rulling class), sementara rakyat tersudut di area periferi. Dalam
demokrasi seperti ini, kepentingan rakyat hanya mengandalkan keinginan baik (willingness) aktor-aktor politik. Jika
aktor-aktor politik tidak berkehendak baik, demokrasi tinggal dekorasi semata.
Gaetano Mosca
(1939) menyimpulkan, sampai kapan pun politik akan selalu berpusat
pada ruling class. Sebagai dapur demokrasi, partai seringkali tidak
berurusan dengan fungsi representasi, sebaliknya mengaburkan tujuan bonum commune-nya.
Demokrasi
sebagai sistem terbuka dan inklusif kemudian bermetamorfosis menjadi sistem
tertutup. Itu tampak pada perekrutan kader parpol untuk berkompetisi pada
hajatan Pemilu 2014. Dari calon legislatif tampak bahwa sistem meritokrasi
dinafikan dan memberikan diskon politik besar bagi kerabat (kakak-adik,
bapak-anak, suami-istri, serta paman-kemenakan) untuk meraih kursi legislatif.
Oligarki pun
merebak karena dana yang dibutuhkan sangat besar, sehingga memaksa parpol mencari
dana kepada pemodal. Padahal, motif pemodal masuk dunia politik agar mendapat
aset negara.
Pemodal sangat
berpengaruh dalam penentuan kader dan memengaruhi roda pemerintahan
pusat-daerah. Demokrasi ini oleh J Ranciere (2006) disebut demokrasi individualistik,
tempat bersarang para cukong dan politisi borjuasi. Politisi ini haus rente dan
menggadaikan baju kehormatan politiknya untuk menumpuk banyak uang.
Di tengah
hiruk-pikuk ini, posisi presiden serba enigmatik alias tak tentu. Terjadi
ambiguitas akibat pembagian kekuasaan yudikatif, legislatif, dan eksekutif yang
tidak jelas.
Demokrasi pun
berjalan tanpa komando. Presiden gagap bertindak sehingga prasangka, gosip, dan
huru-hara politik bertebaran di sekitar istana. Padahal, posisi presiden
sangatlah kuat karena disokong 61 persen rakyat, cukup untuk menjadikan
presiden kapten, eksekutor kebijakan publik secara efektif.
Mencari komandan
Faktanya,
presiden mendewakan kalimat ”Saya
serahkan pada proses hukum.” Ini model pengambilan keputusan pemula, bukan pemimpin.
Ini terjadi karena presiden juga bagian dari masalah. Presiden melempem di
hadapan mafia pajak jika presiden tetap berharap pada pemodal untuk
melanggengkan kekuasaannya.
Demokrasi
menuai paradoks: kesenjangan sosial meningkat dan rakyat kecil menjadi
yatim-piatu, ditinggal pergi pemerintah. Rakyat miskin seperti petani tak
memiliki akses ke bank untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan
mengembangkan usaha. Di tengah kerasnya hukum kompetisi, petani tetap menjadi
pihak yang kalah dalam pertarungan. Produk-produk pertanian yang dilemparkan ke
pasar jatuh dalam harga murah.
Maka, pemilu
tahun 2014 mendatang adalah momen tepat bagi republik ini memilih presiden yang
benar-benar menjadi komando. Presiden harus berani melampaui aturan dan
prosedur hukum yang berlaku, sejauh menyelamatkan kepentingan umum. Pengakuan
atas Vladimir Putin sebagai The Man
of the Year oleh Time, beberapa tahun lalu, adalah contoh
bagaimana elastisitas posisi presiden dibutuhkan dalam keadaan tertentu. Putin
mampu membawa Rusia ke meja kompetisi global.
Presiden
sebagai kepala negara dan kepala pemerintah harus melampaui kontrak-kontrak
politik dengan partai koalisi dan kontrak-kontrak dagang dengan pihak asing.
Berhadapan dengan korporasi asing, presiden harus cerdik berdiplomasi dalam
dunia multipolar seperti sekarang agar kedaulatan ekonomi dikembalikan ke
pangkuan konstitusi.
Presiden punya
kewajiban mutlak untuk memberikan komando dan target kepada aparat penegak
hukum agar menyelesaikan perkara-perkara besar sehingga program reformasi
birokrasi dapat berjalan efektif. Negara butuh komando mencari solusi bagi
persoalan bangsa.
Pasangan
Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Jokowi-Ahok, adalah model. Pasangan
ini adalah model pemimpin yang out of the box dengan mengandalkan
pengalaman, menganalisis mana opsi yang terbaik dalam mengambil keputusan.
Mereka mendobrak aturan hukum, birokrasi yang kaku, dan mencari terobosan baru
tanpa melanggar aturan. Dua pasangan ini justru mengubah aturan agar bergerak
cepat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar