|
KOMPAS,
15 Juli 2013
Agama dan negara berperan saling memperkuat eksistensi
masing-masing, tetapi ada kalanya bisa terjadi benturan dan persaingan yang
saling menundukkan yang lain. Terlebih lagi ketika institusi agama sarat dengan
muatan kepentingan politik praktis yang ditopang oleh institusi partai politik.
Domain agama yang primer adalah di wilayah individu,
keluarga, dan komunitas, sedangkan negara dibentuk untuk mengatur, melindungi,
dan melayani warga negara dan masyarakat secara keseluruhan tanpa
membeda-bedakan identitas dan komunitas agama. Jadi, negara hanya satu,
sedangkan agama dan komunitasnya bisa beragam.
Dalam melaksanakan misinya, negara dan agama memiliki
kesamaan dalam melakukan layanan sosial dan menegakkan nilai-nilai kebaikan.
Namun, yang memiliki otoritas hukum dan politik untuk mengatur dan memaksa
warga adalah institusi negara. Meski begitu, agenda menegakkan moral, seperti
kejujuran, keadilan, dan perdamaian, adalah komitmen keduanya. Pelayanan negara
tertuju kepada warganya, sedangkan tokoh atau lembaga agama lebih tertuju
kepada umatnya.
Bagi masyarakat Indonesia, terjadi sinergi dan tumpang
tindih dalam ranah publik antara identitas serta kesadaran sebagai warga negara
dan kesadaran sebagai bagian dari komunitas agama. Sebagian masyarakat bahkan
lebih merasa militan sebagai anggota komunitas agama ketimbang sebagai warga
negara. Di sini problem mulai muncul. Bahkan, ada yang ingin menjadikan
institusi dan ormas keagamaan pesaing, menantang institusi negara.
Hukum agama yang mulanya berlaku di wilayah pribadi dan
komunal diperjuangkan untuk menggantikan hukum positif yang jadi rujukan
negara, sementara masyarakat Indonesia sangat plural dari segi tradisi dan
agama. Lagi pula, para pendiri dan perancang negara Republik Indonesia adalah
juga tokoh-tokoh agama yang sejak awal sepakat menjadikan Pancasila dasar dan
pemersatu hidup bernegara.
Peran partai politik
Parpol merupakan jembatan mediasi antara masyarakat dan
negara. Parpol bisa saja kental dengan warna dan warna agama, tetapi
sesungguhnya parpol juga instrumen dan produk negara. Melalui parpol, aspirasi
masyarakat disalurkan dengan memilih wakilnya agar duduk dalam lembaga
perwakilan dan jabatan politik pemerintahan. Karena itu, terdapat adagium,
siapa pun yang duduk di lembaga dan birokrasi pemerintahan, apa pun parpolnya,
mesti lebih mementingkan agenda negara dan rakyat, bukan induk parpol.
Menjadi anomali jika orang-orang parpol yang duduk di
pemerintahan lebih mementingkan agenda parpol dan konstituennya ketimbang
agenda kenegaraan. Di sini parpol tidak memperkuat eksistensi dan misi negara,
tetapi membonceng atau bahkan membajak negara untuk kepentingan komunitasnya.
Parpol lalu terjebak pada tataran komunalistik, bukannya membela warga negara.
Dalam situasi demikian, tokoh dan lembaga agama memiliki
kekuatan dan peran mendua. Di satu sisi agama menjadi kekuatan menghimpun
konstituen berdasarkan semangat dan daya tarik komunalistik, di sisi lain
parpol dituntut bersikap dan melahirkan negarawan yang berpikir lintas agama
dan etnis.
Dibandingkan dengan masa Orde Baru, sekarang parpol
memiliki surplus kekuasaan. Arah dan manajemen pemerintahan berada di tangan
parpol sehingga praktis negara pun seakan-akan dalam genggaman parpol. Padahal,
parpol hanya salah satu pilar pemerintahan dan kehidupan bernegara. Di sana ada
pilar pendidikan, birokrasi, industri, buruh, dan lain-lain.
Namun, yang tengah berlangsung, langit politik Indonesia
hanya diisi dan diramaikan jajaran politisi dengan agenda utama perebutan kursi
dan fasilitas. Alur cerita dan lakonnya amat tak menarik. Terjadi pendangkalan
makna dan tujuan politik yang sesungguhnya. Jadi, parpol telah menyia-nyiakan
momentum emas sejak reformasi digulirkan. Mereka terjebak pada formalisme
jabatan dan hanyut ke dalam gegap gempita demokratisasi dan desentralisasi,
tanpa punya visi jelas dan komitmen kuat memajukan bangsa dan rakyat.
Parpol memang lahir dan tumbuh dari rahim masyarakat
memasuki ruang negara, tetapi setelah berada di sana mesti kembali melayani
rakyat dalam program pelayanan nyata sebagai balas budi dan pertanggungjawaban
atas kepercayaan rakyat. Inilah yang hilang dari parpol.
Depolitisasi agama
Ada dua jenis utang yang mesti dibayar parpol. Pertama,
utang kepada negara yang telah memberi panggung berkiprah dengan fasilitas dana
dan jabatan. Bayarannya adalah pelayanan kepada rakyat dan memajukan bangsa.
Kedua, utang pada agama yang sudah dimanfaatkan untuk meraih dukungan massa.
Simbol, tokoh, dan lembaga keagamaan telah dimanfaatkan, bahkan dimanipulasi
mendongkrak dukungan suara rakyat yang masih menghargai dan percaya pada
jargon-jargon keagamaan.
Karena merasa dikecewakan parpol, meski menggunakan simbol
agama, rakyat sekarang mulai tak percaya kepada parpol dan mulai mempertimbangkan
peran dan ketokohan individu. Yang menarik diamati, terjadinya tren
depolitisasi agama tidak berarti menurunnya semangat dan tradisi keagamaan di
Indonesia. Sekarang ini hampir semua pusat belanja pasti menyediakan tempat
shalat yang bersih dan nyaman yang selalu dipenuhi jemaah.
Ketika waktu berbuka puasa tiba, restoran penuh bahkan
mesti memesan sebelumnya agar kebagian tempat. Kalangan eksekutif rajin shalat
dhuha sebelum memulai aktivitasnya di kantor. Buku-buku keagamaan yang
berkualitas setiap minggu muncul dengan judul baru. Dan fenomena yang cukup
menarik adalah munculnya aspirasi sebagian polisi wanita untuk diizinkan
mengenakan jilbab.
Demikianlah sekadar contoh bahwa menurunnya kepercayaan
masyarakat terhadap parpol pengusung simbol agama tak berarti religiositasnya
menurun. Kalau tren ini berkembang terus, bisa jadi akan mengarah pada model
Amerika Serikat: negaranya sekuler, masyarakatnya dikenal religius, berbeda
dari masyarakat Eropa.
Fenomena serupa berlangsung di Turki. AKP, partai yang
tengah berkuasa di Turki, dikenal sangat Islamis, tetapi tetap mempertahankan
sistem politik sekuler, pemisahan agama dan negara. Meski Islamis, AKP lebih
dikenal karena prestasinya memajukan demokrasi, ekonomi, dan pendidikan
sehingga kekuatan pembela Kemalisme-Sekularisme dalam panggung politik
tergusur. AKP berjaya bukan karena simbol dan jargon keagamaannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar