Kamis, 18 Juli 2013

Otak-atik Surplus Beras 10 Juta Ton

Otak-atik Surplus Beras 10 Juta Ton
Khudori  ;   Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
KORAN TEMPO, 15 Juli 2013


Saya sepenuhnya setuju dengan Saudara Kadir bahwa untuk mencapai target produksi padi 72,06 juta ton (setara gabah kering giling/GKG) tahun ini dan menjadi 76,57 juta ton atau setara 43,05 juta ton beras tahun depan merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Sebab, dengan produksi padi sesuai dengan angka ramalan I BPS yang hanya sebesar 69,27 juta ton GKG, sepanjang 2013 hingga 2014 produksi padi harus naik 10,54 persen. Target ini sulit, bahkan mustahil, dicapai. Karena-dalam rentang data yang panjang-tak banyak prestasi kenaikan produksi padi di atas 5 persen. Dalam 10 tahun terakhir, kenaikan sebesar itu hanya terjadi pada tahun-tahun menjelang pemilu, yang sangat mungkin penuh dengan muatan politik.
Namun saya tak setuju dengan pandangan Saudara Kadir bahwa untuk mencapai surplus beras 10 juta ton merupakan pekerjaan pemerintah yang maha-terjal. Dalam artikel berjudul "Jalan Terjal Surplus Beras 10 Juta Ton" (Koran Tempo, 3 Juli 2013), Saudara Kadir sama sekali tidak menyinggung konsumsi beras. Ia hanya mengelaborasi produksi padi domestik dikaitkan dengan target surplus beras 10 juta pada 2014. Bagaimana bisa mengetahui surplus beras domestik kalau kebutuhan konsumsi warga tidak dihitung?
Sebenarnya, kalau pemerintah jujur dan mau menanggung apa pun risiko politik dari kejujuran itu sejak 2011, Indonesia sudah surplus beras lebih dari 10 juta ton. Jika tidak percaya, mari kita hitung produksi beras tahun ini berdasarkan angka ramalan I BPS yang dirilis 1 Juli lalu. Dengan tingkat konversi ke beras 0,57 persen, produksi gabah tahun ini setara 39,48 juta ton beras. Tahun ini, jumlah penduduk diperkirakan mencapai 250 juta. Dengan tingkat konsumsi beras sebesar 113 kg per kapita per tahun, kebutuhan konsumsi beras domestik hanya 28,25 juta ton. Artinya, ada surplus beras sebanyak 11,23 juta ton.
Surplus beras 10 juta ton belum tercapai karena pemerintah menggunakan angka konsumsi beras sebesar 139 kg per kapita per tahun. Padahal angka ini bukan dari hasil survei. Angka itu merupakan hasil "kesepakatan politis" yang entah dipungut dari mana. Anehnya, sampai sekarang kementerian teknis, terutama Kementerian Pertanian, masih memakainya sebagai rujukan. Padahal, menurut perhitungan BPS, angka konsumsi beras 113 kg per kapita per tahun. Perbedaannya amat besar. Bahkan, seandainya digunakan angka konsumsi 139 kg per kapita per tahun, masih surplus beras 4,73 juta ton tahun ini.
Pertanyaannya, apabila benar surplus, mengapa sepanjang tiga tahun terakhir kita terus impor beras rata-rata di atas 2 juta ton per tahun? Bahkan pada 2012, jumlah impor beras mencapai 2,7 juta ton (BPS, 2013). Ada dua jawaban atas pertanyaan ini. Pertama, besarnya syahwat impor yang didorong oleh hasrat untuk mengeruk rente ekonomi yang besar. Dalam beberapa tahun terakhir, harga beras di pasar domestik bertahan tinggi, jauh lebih mahal ketimbang beras di pasar dunia (baca: impor). Bahkan, disparitasnya bisa Rp 1.000 per kilogram. Berapa besar keuntungan yang dikeruk jika volume impor beras 2 juta ton? Apalagi, berbeda dengan APBN, mengeruk untung dengan cara ini tak banyak yang mengawasi.
Jawaban pertama mengandaikan data produksi padi BPS sepenuhnya benar. Padahal ada persoalan besar dalam proses pengumpulan data produksi padi yang sudah berjalan puluhan tahun di negeri ini. Karena itu, berbeda dengan yang pertama, jawaban kedua justru mempersoalkan proses pengumpulan data produksi padi oleh BPS. Dengan kata lain, data produksi padi versi BPS tidak benar. Konsekuensinya, data statistik produksi padi versi BPS tidak layak dijadikan landasan membuat kebijakan.
Statistik produksi padi dihasilkan dari perkalian komponen utama: luas panen padi kali rata-rata hasil per hektare. Sistem penghitungan itu kini disebut "angka BPS". Ini hasil kompromi dua sistem berbeda: sistem yang digunakan Kementerian Pertanian dan BPS. Kompromi dua sistem perhitungan sejak 1973 itu nyaris tanpa perbaikan berarti. Data produktivitas dikumpulkan melalui survei statistik pada petak sawah yang akan dipanen dengan metode probability sampling. Data dihasilkan dari ubinan ukuran 2,5 x 2,5 meter yang dikonversi ke satuan hektare. Hasil panen pada ubinan langsung ditimbang. Jadi, diterapkan sistem objective measurement. Separuh dari sampel ubinan ini dikerjakan mantri statistik BPS, dan separuh sisanya dikerjakan mantri pertanian. Jadi, untuk memperoleh data yield rate, BPS hanya mengerjakan separuh dari seluruh sampel.
Luas panen sepenuhnya dikumpulkan mantri tani dengan cara penaksiran melalui sistem blok pengairan, penggunaan bibit, dan pandangan mata (eye estimate) di sawah. Pengumpulan data luas panen ini tidak berdasarkan survei statistik, tidak ada objective measurement di lapangan. Dalam teori statistik, data ini termasuk catatan administrasi, sehingga akurasinya sulit diuji secara statistik. Data luas panen inilah biang overestimate data produksi padi saat ini. Menurut berbagai studi BPS (Sastrotaruno dan Maksum, 2002), besarnya overestimate mencapai 17 persen. Artinya, jika tahun ini menurut taksiran BPS produksi beras 39,48 juta ton, masih harus dikurangi 6,71 juta ton beras. Itu berarti bukan surplus, tapi tahun ini Indonesia sesungguhnya malah minus beras 1,98 juta ton.
Laporan produksi padi berlebih itu terasa tidak masuk akal. Konversi lahan pertanian untuk real estate, kawasan industri, dan infrastruktur terus berlangsung tanpa jeda. Di sisi lain, pencetakan sawah baru hanya menutupi sepertiga lahan yang dikonversi. Anehnya, laporan luas panen tidak pernah menurun, kalaupun menurun hanya kecil. Data hanya deretan angka. Data hanya alat. Masalahnya, jika data itu bias karena dikumpulkan lewat cara-cara yang tidak reliable lalu dijadikan batu pijak kebijakan, output-nya tidak hanya menyesatkan, tapi juga akan menyengsarakan banyak pihak.
Sudah saatnya data luas panen dikumpulkan lewat survei statistik. Teknologi pengumpulan data berdasarkan objective measurement telah berkembang pesat. Indonesia dipastikan bisa melakukannya. Jika data statistik produksi padi itu dipakai terus, berasnya hanya di atas kertas (semu), riil di lapangan tidak ada. Keengganan mengubah metode pengumpulan data sama artinya membiarkan kesalahan (data) terus berulang tanpa jeda. Jika kemudian data (yang salah itu) menimbulkan silang-sengkarut atau dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk mengeruk keuntungan, termasuk oleh pemerintah yang berkuasa guna meraih simpati rakyat dalam pemilu, semuanya merupakan konsekuensi logis yang given. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar