|
KOMPAS,
13 Juli 2013
Palu kenaikan harga bahan bakar
minyak bisa merapuhkan meja makan rakyat yang penuh piring kosong. Pergerakan
liar inflasi memengaruhi penambahan angka pengangguran dan kemiskinan.
Usaha kecil
akan bergulat agar tetap hidup akibat penambahan beban produksi. Di beberapa
daerah, pembagian bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) yang digadang-gadang
sebagai katup penyelamat bagi 15,5 juta rumah tangga miskin menuai kekisruhan.
Menurut
Lingkaran Survei Indonesia (18-20 Juni), 49,45 persen responden menilai
pembagian BLSM yang dipelesetkan menjadi Balsem─ justru hanya menguntungkan
Partai Demokrat dan 16,73 persen menguntungkan partai lain. Pembagian BLSM oleh
responden juga dinilai menguntungkan Presiden Yudhoyono (46,95 persen)
dibandingkan dengan Menteri Perekonomian (11,47 persen) dan tokoh lain (16,2
persen).
BLSM telanjur
dianggap tidak lebih dari sogokan politik menuju perhelatan Pemilu 2014,
seperti tesis O Connel (1980): korupsi politik akan terus terjadi selama
tingkat kemapanan ekonomi rakyat belum terwujud. Membagi-bagi materi menjadi
strategi mengekang kekuatan kritis masyarakat dan untuk menangguk popularitas.
Topeng
Prinsip ”dalam
politik yang abadi cuma kepentingan” dipraktikkan kian masif dengan menegasikan
moralitas. Saling tipu, khianat, mendiskreditkan, menghancurkan antar-politisi
dalam ”satu rumah” diperlihatkan demi mencari sensasi kenikmatan diri. Ideologi
dan akal sehat tinggal basa-basi sebagaimana mereka menjual nama rakyat sebagai
topeng dari wajah asli persekongkolan jahatnya.
Berapa banyak
penderitaan dan nyawa rakyat yang ditinggalkan roh politik kesejahteraan,
bahkan di antaranya terkubur oleh puing pelayanan institusi negara yang rapuh
dan becek karena liur pejabat kemaruk? Anggaran pemenuhan hak-hak dasar rakyat
menguap tak berbekas, masuk ke kantong penguasa pembancak proyek-proyek gelap
dengan sensasi seliweran barang-barang mewah dan ”kenikmatan badani”.
Pemerintah tak
henti-henti menggelar tikar ”prestasi” demokrasi persis di sela-sela kepedihan
masa depan rakyat yang kerap ”masuk angin”, yang sebenarnya tak secerah
janji-janji pemilu. Bayangkan, dari total produk domestik bruto, alokasi biaya
pendidikan dan kesehatan Indonesia masih terendah dibandingkan dengan anggota
ASEAN sekalipun (2 persen). Bandingkan dengan Kamboja (4 persen), Laos
(mendekati 5 persen), Malaysia (10 persen), Filipina (15 persen), dan Thailand
(hampir 7 persen).
Penegakan
hukum memang tak 100 persen bisa mengosongkan neraka dari koruptor, tetapi
minimal membangun kesadaran humanis dan mendekatkan bangsa ini ke kondisi
normal. Anthony Downs (1967:84) mengatakan, ”Dalam kondisi normal, politisi akan
berusaha mengekang upayanya mengejar kepentingan pribadi karena ada nilai-nilai
etika yang diyakini masyarakat luas di mana mereka berada.”
Bukan hanya
kita, di negara lain korupsi politik juga terjadi. Di Inggris, penyogokan
dengan uang tunai untuk membeli dukungan suara pada awal abad ke-19 masif
terjadi.
Selain itu,
ada juga praktik pemberian lapangan pekerjaan, sumbangan ke gereja, sekolah,
badan amal setempat, dan sebagainya. Meskipun pada 1854 dan 1883 terbit
undang-undang yang melarang praktik korupsi pemilu, kecerdikan partai politik
mencari celah tak pernah surut (Etzioni-Halevey, 2011:277).
Di Israel,
pada era Yishuv (era sebelum kemerdekaan), pola penyogokan politik malah
terinstitusionalisasi terang-terangan, dari bagi-bagi dana sosial sampai tanah
(Eindstadt 1967: Bab 9), bahkan lapangan kerja dan perumahan dikendalikan
pejabat partai sehingga banyak yang datang ke kantor partai meminta pekerjaan
dan rumah.
Di Italia,
Partai Kristen Demokrat (DC) pada masanya sangat berjaya karena menjadi penentu
kemajuan karier seseorang di pengadilan, bank, sekolah, dan badan-badan
pemerintah lokal. Partai ini bahkan memiliki klien, seperti Catholic Action
Group, yang punya akses finansial dan kekuasaan sampai ke tingkat menteri
sehingga ada pandangan jangan pernah bermimpi maju kariernya jika bermusuhan
dengan kalangan pendeta Italia (Etzioni-Halevey, 2011:294).
Evolusi pemerintahan
Bedanya,
negara-negara tersebut cepat berevolusi menjadi negara yang konsisten
menginstitusionalisasi etika dan moralitas menuju negara demokrasi yang
tepercaya. Sementara kita, sejak zaman Soekarno dengan Politik Benteng-nya,
Soeharto dengan rezim Orde Baru-nya, hingga Era Reformasi, tak pernah ada
perubahan substantif. Mentalitas Machiavelli malah makin terstruktur melalui bibit
”raja-raja kecil” korupsi daerah.
Sekejam-kejamnya
Napoleon Bonaparte, masih ada rakyat yang menyukainya karena ia punya prinsip:
”Dewasa ini, satu-satunya cara untuk memerintah adalah dengan bantuan massa”
(Thompson 1966:271). Itu sebabnya ia dijuluki ”Santo Simon di Atas Kuda”
karena, meskipun hidupnya dihabiskan dengan berperang di atas kuda, ia suka
beramal dan membantu orang miskin lewat pemberian kerja dan peningkatan upah.
Bandingkan dengan elite-elite kita yang rajin bersembahyang, berbusa kata religi,
tetapi terus mengisap rakyat.
Rakyat harus
bersatu untuk menyingkirkan kekuasaan bertopeng itu. Jangan biarkan benih-benih
kekuasaan liar dan korup tumbuh besar. Mereka harus dilumpuhkan di altar pemilu
dengan tak memilih politisi mata duitan, doyan pencitraan, apalagi korup. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar