Minggu, 21 Juli 2013

Demokrasi Bertopeng

Demokrasi Bertopeng
Umbu TW Pariangu  ;   Dosen Fisipol Undana, Kupang
KOMPAS, 13 Juli 2013


Palu kenaikan harga bahan bakar minyak bisa merapuhkan meja makan rakyat yang penuh piring kosong. Pergerakan liar inflasi memengaruhi penambahan angka pengangguran dan kemiskinan.
Usaha kecil akan bergulat agar tetap hidup akibat penambahan beban produksi. Di beberapa daerah, pembagian bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) yang digadang-gadang sebagai katup penyelamat bagi 15,5 juta rumah tangga miskin menuai kekisruhan.
Menurut Lingkaran Survei Indonesia (18-20 Juni), 49,45 persen responden menilai pembagian BLSM yang dipelesetkan menjadi Balsem─ justru hanya menguntungkan Partai Demokrat dan 16,73 persen menguntungkan partai lain. Pembagian BLSM oleh responden juga dinilai menguntungkan Presiden Yudhoyono (46,95 persen) dibandingkan dengan Menteri Perekonomian (11,47 persen) dan tokoh lain (16,2 persen).
BLSM telanjur dianggap tidak lebih dari sogokan politik menuju perhelatan Pemilu 2014, seperti tesis O Connel (1980): korupsi politik akan terus terjadi selama tingkat kemapanan ekonomi rakyat belum terwujud. Membagi-bagi materi menjadi strategi mengekang kekuatan kritis masyarakat dan untuk menangguk popularitas.
Topeng
Prinsip ”dalam politik yang abadi cuma kepentingan” dipraktikkan kian masif dengan menegasikan moralitas. Saling tipu, khianat, mendiskreditkan, menghancurkan antar-politisi dalam ”satu rumah” diperlihatkan demi mencari sensasi kenikmatan diri. Ideologi dan akal sehat tinggal basa-basi sebagaimana mereka menjual nama rakyat sebagai topeng dari wajah asli persekongkolan jahatnya.
Berapa banyak penderitaan dan nyawa rakyat yang ditinggalkan roh politik kesejahteraan, bahkan di antaranya terkubur oleh puing pelayanan institusi negara yang rapuh dan becek karena liur pejabat kemaruk? Anggaran pemenuhan hak-hak dasar rakyat menguap tak berbekas, masuk ke kantong penguasa pembancak proyek-proyek gelap dengan sensasi seliweran barang-barang mewah dan ”kenikmatan badani”.
Pemerintah tak henti-henti menggelar tikar ”prestasi” demokrasi persis di sela-sela kepedihan masa depan rakyat yang kerap ”masuk angin”, yang sebenarnya tak secerah janji-janji pemilu. Bayangkan, dari total produk domestik bruto, alokasi biaya pendidikan dan kesehatan Indonesia masih terendah dibandingkan dengan anggota ASEAN sekalipun (2 persen). Bandingkan dengan Kamboja (4 persen), Laos (mendekati 5 persen), Malaysia (10 persen), Filipina (15 persen), dan Thailand (hampir 7 persen).
Penegakan hukum memang tak 100 persen bisa mengosongkan neraka dari koruptor, tetapi minimal membangun kesadaran humanis dan mendekatkan bangsa ini ke kondisi normal. Anthony Downs (1967:84) mengatakan, ”Dalam kondisi normal, politisi akan berusaha mengekang upayanya mengejar kepentingan pribadi karena ada nilai-nilai etika yang diyakini masyarakat luas di mana mereka berada.”
Bukan hanya kita, di negara lain korupsi politik juga terjadi. Di Inggris, penyogokan dengan uang tunai untuk membeli dukungan suara pada awal abad ke-19 masif terjadi.
Selain itu, ada juga praktik pemberian lapangan pekerjaan, sumbangan ke gereja, sekolah, badan amal setempat, dan sebagainya. Meskipun pada 1854 dan 1883 terbit undang-undang yang melarang praktik korupsi pemilu, kecerdikan partai politik mencari celah tak pernah surut (Etzioni-Halevey, 2011:277).
Di Israel, pada era Yishuv (era sebelum kemerdekaan), pola penyogokan politik malah terinstitusionalisasi terang-terangan, dari bagi-bagi dana sosial sampai tanah (Eindstadt 1967: Bab 9), bahkan lapangan kerja dan perumahan dikendalikan pejabat partai sehingga banyak yang datang ke kantor partai meminta pekerjaan dan rumah.
Di Italia, Partai Kristen Demokrat (DC) pada masanya sangat berjaya karena menjadi penentu kemajuan karier seseorang di pengadilan, bank, sekolah, dan badan-badan pemerintah lokal. Partai ini bahkan memiliki klien, seperti Catholic Action Group, yang punya akses finansial dan kekuasaan sampai ke tingkat menteri sehingga ada pandangan jangan pernah bermimpi maju kariernya jika bermusuhan dengan kalangan pendeta Italia (Etzioni-Halevey, 2011:294).
Evolusi pemerintahan
Bedanya, negara-negara tersebut cepat berevolusi menjadi negara yang konsisten menginstitusionalisasi etika dan moralitas menuju negara demokrasi yang tepercaya. Sementara kita, sejak zaman Soekarno dengan Politik Benteng-nya, Soeharto dengan rezim Orde Baru-nya, hingga Era Reformasi, tak pernah ada perubahan substantif. Mentalitas Machiavelli malah makin terstruktur melalui bibit ”raja-raja kecil” korupsi daerah.
Sekejam-kejamnya Napoleon Bonaparte, masih ada rakyat yang menyukainya karena ia punya prinsip: ”Dewasa ini, satu-satunya cara untuk memerintah adalah dengan bantuan massa” (Thompson 1966:271). Itu sebabnya ia dijuluki ”Santo Simon di Atas Kuda” karena, meskipun hidupnya dihabiskan dengan berperang di atas kuda, ia suka beramal dan membantu orang miskin lewat pemberian kerja dan peningkatan upah. Bandingkan dengan elite-elite kita yang rajin bersembahyang, berbusa kata religi, tetapi terus mengisap rakyat.
Rakyat harus bersatu untuk menyingkirkan kekuasaan bertopeng itu. Jangan biarkan benih-benih kekuasaan liar dan korup tumbuh besar. Mereka harus dilumpuhkan di altar pemilu dengan tak memilih politisi mata duitan, doyan pencitraan, apalagi korup. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar