Minggu, 21 Juli 2013

Etika Politik Penyelengara Pemilu

Etika Politik Penyelengara Pemilu
Zuly Qodir  ;   Sosiolog Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
KOMPAS, 12 Juli 2013


Memprihatinkan. Inilah kata ringkas yang menggambarkan betapa mengerikan kerja politik di negeri ini. Para penyelenggara pesta politik yang diharapkan tidak berpihak justru sejak sekarang menjadi partisan. Menjadi pertanyaan besar, akankah Pemilu 2014 lebih baik dan berkualitas?
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memecat 70 anggota KPU dan Bawaslu ditingkat Provinsi dan Kabupaten karena melanggar etika, yaitu berpihak kepada partai politik peserta Pemilu 2014.
DKPP yang berdiri pertengahan 2012 telah mendapatkan 200 pengaduan masyarakat tentang pelanggaran oleh KPU dan Bawaslu. Sanksi dari DKPP berupa sanksi etika, tetapi jika mengarah pada pidana akan berupa sanksi hukum (Kompas, 8 Juni 2013).
Dengan terjadinya pelanggaran etika seperti itu, mungkinkah Pemilu 2014 bisa jujur, adil, efisien, demokratis, dan bermartabat? Agaknya akan jauh panggang dari api jika memerhatikan perilaku penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) saat ini. Yang mungkin terjadi adalah akan semakin banyak pelanggaran dalam Pemilu 2014, tetapi dibiarkan karena aparat penyelenggaranya juga tukang melanggar.
Pelanggaran etika bisa jadi mendominasi sebab pelanggaran etika nyaris tidak ada konsekuensi hukumnya. Hanya orang-orang yang peduli nasib bangsa saja yang merasa bahwa pelanggaran etika merupakan persoalan besar.
Jika hal itu yang benar-benar terjadi, dapat dipastikan Pemilu 2014 akan semakin karut-marut, tidak efisien, tidak demokratis, tetapi tetap sah sebagai hasil dari proses politik. KPU dan Bawaslu tetap akan mengesahkan para pemenang pesta demokrasi sekalipun banyak yang melanggar etika.
Rapuh etika politik
Tidak ada kata yang tepat untuk mengatakan kecuali inilah bangsa rapuh etika! Bangsa yang hanya pandai bersilat lidah, tetapi tidak pandai menjaga amanah rakyat. Inilah bangsa tuna etika. Etika sebagai landasan berbangsa dan bernegara hanya terdapat di dalam buku-buku filsafat dan etika, bukan dalam praktik politik para penyelenggara negara.
Bangsa minus etika merupakan cermin paling jelas bangsa yang rakus kekuasaan, sekaligus rabun masa depan. Sebab, yang terpikir oleh mereka adalah kenikmatan sesaat. Masa depan dianggap sebagai suatu era yang tidak pernah jelas, selain belum tentu dapat dinikmati.
Jika aparat penyelenggara negara seperti KPU dan Bawaslu saja sudah rabun etika dan masa depan, lalu bagaimana mungkin Pemilu 2014 akan berjalan dengan jujur dan adil? Bukankah kita juga sudah menyaksikan
kekisruhan terjadi silih berganti dalam penentuan siapa peserta Pemilu 2014? Mulai dari pengumuman partai yang lolos seleksi sampai pelanggaran etika yang dilakukan oleh anggota KPU tingkat kabupaten dan provinsi.
Jika bangsa ini—khususnya para elite aparat negara—tetap mengidap penyakit tuna amanah, tanggung jawab, dan rabun masa depan, kehidupan berbangsa dan bernegara benar-benar dipertaruhkan. Apabila Pemilu 2014 hanya merupakan hasil yang semakin tidak amanah, semakin tidak jujur, semakin menguntungkan segelintir orang, berjuta-juta rakyat pemilihlah yang akan menjadi korban.
Harapan untuk kebangkitan Indonesia pada era pasca-Reformasi, setelah berjalan 15 tahun, agaknya masih akan tertunda karena ulah segelintir orang yang tidak bertanggung jawab. Reformasi politik yang diharapkan mampu mengibarkan perubahan nasib anak-anak bangsa mungkin masih sulit ditemukan dalam kenyataan.
Yang ada adalah kerusakan dan penderitaan rakyat negeri ini yang masih terus terjadi karena ulah para elite politik dan penyelenggara negara yang tidak lagi mengindahkan nilai-nilai luhur kebangsaan dan keindonesiaan yang bersemayam dan dimiliki oleh bangsa ini sejak sebelum merdeka.
Kearifan bangsa terkubur oleh kehadiran para elite politik dan penyelenggara negara yang senantiasa berlomba dalam menumpuk kekayaan, pamer kekuasaan, dan pamer kekuatan, yang menjadikan mereka tontonan yang sungguh-sungguh membosankan! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar