Kumis vs
Kotak-Kotak
Ahmad Irsan A Moeis; Magister Ekonomi, Program Magister Perencanaan dan
Kebijakan Publik UI, Regional Economic Development Expert, Berlin
|
MEDIA
INDONESIA, 20 September 2012
“Kami tidak pernah peduli dengan kumis dan
kotak-kotak yang menjadi simbol Anda. Kami hanya peduli pada jawaban bahwa
siapa pun nantinya yang memimpin Jakarta, akan membawa kami pada kehidupan yang
lebih baik. Selamat berkompetisi! "
PEMILU
kada telah membawa kata-kata ‘kumis’ dan ‘kotak-kotak’ menjadi sangat populer
bagi warga Jakarta terutama memasuki putaran kedua. Kedua kata itu dengan
berbagai kemasan secara masif muncul di jalanan Ibu Kota, media sosial, cetak
dan televisi, bahkan broadcast-broadcast
di Blackberry. Sebenarnya penggunaan symbol-simbol untuk memperkenalkan calon
kontestan dalam sebuah kompetisi adalah hal yang wajar dan sah-sah saja,
apalagi dalam pemilihan gubernur setingkat Kota Jakarta.
Tentunya
dibutuhkan sebuah strategi pemasaran yang eye
catching dan atraktif yang dapat dengan mudah menjangkau warga Jakarta yang
majemuk, dan penggunaan simbol merupakan salah satu cara yang efektif demi
tujuan tersebut. Namun, sangat disayangkan penggunaan simbol kumis dan
kotak-kotak ini menjadi sangat menonjol bukan lagi sebagai pendukung, sehingga
terkesan merupakan senjata pamungkas yang harus dan selalu digadang-gadangkan.
Tim sukses setiap calon, baik FokeNara maupun Jokowi-Ahok, sepertinya terlalu
asyik memanfaatkan dan memainkan simbol masing-masing untuk menarik simpati
warga Jakarta.
Para
simpatisan para calon, melalui spanduk-spanduk yang mulai bergelantungan di
sisi jalanan dan jembatan penyeberangan Jakarta, juga saling menyerang
(tentunya dengan bahasa yang disamarkan namun menohok) terhadap kedua simbol
tersebut. Perseteruan, saling gugat, dan klaim yang terjadi di antara kedua tim
sukses terhadap cara dan isi kampanye juga tidak jauh dari masalah simbol
belaka.
Para
tim sukses masih saling beradu argumentasi seputar isu-isu yang terkait dengan
simbol, yaitu agama yang dianut dan suku asal dari sang kompetitor. Perdebatan
tersebut masih seputar masalah personal masing-masing, seperti pertengkaran
anak-anak yang saling mendiskreditkan satu sama lain sehingga terlihat lucu dan
menggemaskan serta meninggalkan senyumtawa bagi yang menyaksikannya.
Belum
terlihat pertarungan intelektual dan program untuk mengatasi permasalahan
Jakarta seperti yang ditunjukkan oleh Partai Republik melalui pasangan
Romney-Ryan yang mengkritisi kebijakan Barack Obama dalam program kesehatan
bagi warga miskin dan lansia yang menurut mereka menyebabkan defisit anggaran
terbesar Amerika pasca-Perang Dunia II. Hal tersebut dibalas oleh kubu Partai
Demokrat, tempat bernaung Obama, dengan mempertanyakan budget plan Paul Ryan yang akan memotong anggaran program sosial
seperti Mediacare dan Medicaid, serta program-program asuransi
kesehatan warga miskin dan lansia.
Tidak
ada serangan dari pihak Romney-Ryan terhadap Obama yang bukan berasal dari
keturunan kulit putih, begitu juga sebaliknya kubu Obama tidak pernah menyerang
latar belakang Romney yang seorang pengusaha. Kedua pasangan calon itu
bertarung untuk meyakinkan rakyat Amerika bahwa ide dan gagasan merekalah yang
paling tepat untuk mengeluarkan Amerika dari krisis saat ini.
Pada
pemilu kada DKI Ja karta kali ini pun, ekspektasi masyarakat sebenarnya ingin
melihat baik tim sukses maupun kedua calon gubernur Jakarta yang maju ke
putaran kedua ini saling berseteru dan bertarung soal ide, gagasan, dan
program. Saat ini Jakarta memiliki dua masalah utama, yaitu kemacetan dan rawan
banjir.
Akan
menjadi sangat menarik jika membaca atau menonton berita yang menampilkan kedua
kubu saling berseteru tentang bagaimana kedua masalah itu akan mereka atasi.
Kubu Foke-Nara men-challenge program
mengurai kemacetan Jakarta yang ditawarkan oleh kubu Jokowi-Ahok berupa move the people bukan move the car. Begitu juga sebaliknya,
kubu penantang mengkritisi program mengatasi banjir yang tengah dilakukan oleh
kubu incumbent seperti Kanal Banjir
Timur, kemudian setiap kubu menawarkan gagasannya dan memberi alasan kepada
warga mengapa konsep pembangunan Jakarta yang mereka susun lebih baik dan lebih
tepat daripada ide yang disodorkan oleh pesaingnya. Sehingga, melalui
perseteruan tersebut warga Jakarta dapat melihat program mana yang tepat
menurut mereka, ide siapa yang paling dapat diterapkan di Jakarta, dan gagasan
kubu mana yang dapat menjawab permasalahan Jakarta dan memberi solusi yang
dibutuhkan masyarakat.
Justifikasi-justifikasi
itulah nantinya yang akan dibawa warga saat menuju bilik suara untuk mencoblos
gambar pasangan yang menurutnya tepat memimpin Jakarta. Bila kubu kedua
kandidat menggelorakan intellectual
battle, tidak sekadar perang symbol-simbol baik dalam slogan, baliho,
spanduk, bahkan kampanyenya, maka kualitas pemilu kada DKI Jakarta akan dapat
menjadi role model pemilu kada di
daerah lain. Dan yang pasti, jumlah golput dapat turun dengan signifikan karena
warga punya informasi dan tujuan yang jelas datang ke TPS.
Beri
kami alasan yang kuat bahwa pengorbanan kami berpanas-panas ria menuju lokasi
pencoblosan bukanlah sebuah kesia-siaan belaka. Bahwa kami datang untuk
menentukan masa depan kami yang lebih nyaman dan aman hidup di Jakarta.
Kedatangan kami bukan hanya untuk mendudukkan Anda sebagai penguasa yang akan
kami sesali dalam lima tahun ke depan. Kepada para calon gubernur, tolong suguhkan
dan sajikan kepada kami solusi bagi masa depan Jakarta yang lebih baik buat
warganya. Karena kami tidak pernah peduli dengan kumis dan kotak-kotak yang
menjadi simbol Anda. Kami hanya peduli pada jawaban bahwa siapa pun nantinya
yang memimpin Jakarta, akan membawa kami pada kehidupan yang lebih baik. Selamat berkompetisi! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar