Tirulah
Gubernur Gary Herbert
Zaim Saidi ; Pengamat Kebijakan Publik, Pengguna Dinar dan Dirham
|
REPUBLIKA,
24 September 2012
Kemenangan
Jokowi Ahok sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta merupakan wujud
keinginan warga Jakarta akan perubahan. Rasa frustasi karena kesemrawutan di
Jakarta parah dalam memberi andil kekalahan FokeNara. Maka, meski tidak
didukung oleh mayoritas partai politik, yang tak lagi dipercaya masyarakat itu,
Jokowi-Ahok tetap terpilih. Harapan besar kini diletakkan di pundak tokoh
populer dari Solo ini. Mampukah Jokowi memenuhi janji kampanyenya dan
menuntaskan persoalan Jakarta?
Karakter
dan kemampuan Jokowi boleh jadi modal utamanya untuk menjalankan tugas dan
tanggung jawabnya. Pengalamannya membenahi Solo jadi rujukan. Tetapi, ada
sejumlah faktor yang akan membuatnya sulit bergerak, yaitu politisi, birokrasi,
dan korporasi. Ketiganya merupakan kesatuan sistem yang akan memenjara bukan
cuma Jokowi, tapi semua pemimpin yang terpilih secara demokratis.
Keluar dari Sistem
Pemahaman
mendasar itulah yang perlu dimiliki oleh Jokowi dan seluruh masyarakat. Segala
keruwetan kasatmata, seperti macet, banjir, kemiskinan, rusaknya tata ruang,
mahalnya pendidikan dan kesehatan, dan segala persoalan yang mengikutinya,
hanyalah symptom dari akar masalah yang sangat mendasar. Yaitu, kanker ekonomi
yang merupakan produk dari sistem itu sendiri, yakni kapitalisme, yang
dilandasi oleh sistem finansial berbasis kredit berbunga.
Agar
bertahan hidup, sistem ini memaksa penggelembungan, ibarat kanker liar yang
merambat dan menggerogoti seluruh tubuh masyarakat. Kebijakan negara telah
menjadi jaminannya. Birokrasi dan politisi adalah pelindungnya. Masyarakat
korbannya.
Berapa
banyak sudah gubernur di DKI, termasuk sosok kuat, seperti Bang Ali Sadikin,
bukan saja gagal membenahi Jakarta, tapi selalu mewariskan keadaan yang lebih
buruk dan parah dari sebelumnya? Tentu ada hal sangat mendasar yang harus
dirombak dan tak cukup hanya diubah.
Pemimpin
sejati yang betul-betul ingin melindungi kepentingan masyarakat harus mampu
berpikir dan bertindak ke luar system meski ia berada di dalamnya. Jalan ini
bukan saja tersedia, tapi juga telah diterapkan, paling tidak oleh dua pemimpin
di dunia yang seperti Pak Jokowi. Yang pertama, Gubernur Gary R Herbert dari
Negara Bagian Utah, Amerika Serikat. Yang kedua, Menteri Besar Nik Abdul Aziz
dari Negara Bagian Kelantan, Malaysia.
Gary
Herbert mewakili negara bagian superkapitalis dan demokratis di Barat (Utah,
AS) memiliki landasan sangat sekuler-rasional, sedngkan Nik Abdul Aziz dari
negara bagian yang dikuasai partai Islam di Timur (Kelantan, Malaysia) memiliki
landasan sangat ideologis. Dari sisi ini keduanya ibarat air dan minyak, tidak
dapat dipertemukan. Tetapi, keduanya mampu melihat akar masalah dan bertindak
dalam jalan serupa. Ini mengindikasikan validitas pilihan mereka, keluar dari
sistem yang tak lain adalah sumber masalah itu sendiri.
Ekonomi Riil
Dua
gubernur yang tak saling kenal, tak pernah bertemu, bahkan sekadar
berkomunikasi itu, telah memilih jalan serupa yang tidak lazim saat ini,
kembali kepada model ekonomi riil yang sejati. Keduanya kembali memberlakukan
koin emas dan koin perak sebagai alat tukar dalam perekonomian.
Gubernur
Gary Herbert, sekitar enam bulan lalu menandatangani Bill 157 yang diajukan
oleh senator Partai Republik, Brad J Galvez. Setahun sebelumnya, dia
mengesahkan koin emas dan koin perak sebagai mata uang di Utah. Tindakan ini
mendorong 12 gubernur lain di AS untuk mengikuti langkahnya. Sementara,
pemerintah federal terus dirundung persoalan.
Adapun
Nik Abdul Azis telah melangkah lebih jauh. Selain merestui pen cetakan dan
pengedaran koin emas dan pe rak Kelantan, ia menawarkan penggajian pegawai negeri
Kelantan (sampai 25 persen) dalam koin (dinar) emas atau (dirham) perak.
Sejumlah badan usaha daerah yang melayani masyarakat, seperti PDAM,
telekomunikasi, dan listrik, menerima pembayaran dengan kedua nya. Dan, sebagai
pemimpin negara bagian yang diperintah oleh Partai Islam (PAS), Nik Abdul Aziz
menarik dan mem bagikan zakat dalam dinar dan dirham.
Secara
operasional, tentu kebijakan kedua tokoh ini banyak beda. Tapi, secara
mendasar, keduanya sama, hendak keluar dari kanker kapitalisme yang perlahan
tapi pasti membunuh kehidupan masyarakat. Keduanya bermata hati bening hingga
dapat melihat akar persoalan yang orang lain tidak melihatnya. Keduanya
memahami bahwa sistem kehidupan yang didasarkan pada kapitalisme bukan saja
terus merongrong masyarakat, tetapi juga tengah meruntuhkan dirinya sendiri.
Penting
dipahami bahwa jalan di luar sistem ini hampir mustahil dilakukan oleh para
presiden dan perdana menteri, entah itu Barrack Obama atau Mahathir Mohammad,
juga Susilo Bam bang Yudhoyono, karena cengkeraman sistem.
Tapi,
para gubernur, seperti dibuktikan oleh Gary Herbert dan Nik Abdul Aziz,
tentunya juga oleh Jokowi, akan mampu mengatasinya. Sambil jalan, tentu saja,
berbagai masalah simtomatik di atas terus dibenahi.
Ukirlah sejarah penting ini, Pak Jokowi.
Tirulah Gary Herbert dan Nik Abdul Azis. Rakyat banyak pasti mendukungmu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar