PEMBANGUNAN MANUSIA
Politik Inovasi
Wacana publik akhir-akhir ini, termasuk pidato Presiden Jokowi, sering mengeluhkan hambatan kemakmuran yang ditimbulkan oleh gejala deindustrialisasi, defisit perdagangan dan pembayaran, perangkap pendapatan menengah (middle income trap), dan jebakan ekonomi ekstraktif.
Selama ini, ukuran yang berkaitan dengan total factor productivity dan knowledge economy index menunjukkan betapa rendahnya kontribusi nilai tambah iptek dan tingkat inovasi Indonesia bagi pertumbuhan ekonomi.
Dapat dipahami bila pada periode kedua pemerintahannya, Presiden Jokowi bertekad menggencarkan pembangunan SDM, termasuk memberikan perhatian yang serius terhadap kegiatan riset dan inovasi. Sejumlah rencana telah dicanangkan seperti penambahan anggaran riset negara, penyatuan lembaga-lembaga riset di bawah satu badan, bahkan telah mulai ”mengimpor” rektor asing demi menggenjot mutu perguruan tinggi.
Kebijakan riset-inovasi dan kebutuhan pasar
Sebelum pilihan-pilihan kebijakan itu dijalankan, seyogianya pemerintah perlu menetapkan arah kebijakan dan strategi pendekatan yang tepat bagaimana politik inovasi-teknologi harus dikembangkan agar berjalan efektif dalam mendorong kemakmuran bangsa.
Perlu dipahami lebih dulu, hambatan utama pemacuan riset dan inovasi di Indonesia justru terlalu memusat pada inisiatif dan dorongan (push factor) dari negara. Kurang ada terobosan untuk memasyarakatkan hasil riset atau menggairahkan kegiatan riset di jantung masyarakat (pasar).
Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dan aktivitas riset di negeri ini mewarisi tradisi para apostel pencerahan Eropa yang bekerja untuk kepentingan pemerintah kolonial. Andrew Goss dalam buku The Floracrats State-Sponsored Science and the Failure of the Enlightenment in Indonesia (2011), menyebutnya sebagai tradisi para floracrat; kekuasaan para ilmuwan pencinta bunga yang bekerja di lembaga-lembaga ilmu pengetahuan pemerintah kolonial.
Di bawah tradisi seperti itu, ilmuwan/peneliti profesional Indonesia memperoleh legitimasi melalui negara. Pemerintah yang menentukan dan mengendalikan aktivitas riset. Pemerintah pula konsumen utama hasil penelitian. Dengan demikian, kendati para ilmuwan memandang dirinya ”pembimbing” masyarakat, pada kenyataannya kesulitan untuk berhubungan dengan masyarakat dalam kerangka memasyarakatkan ilmu pengetahuan dan menghidupkan aktivitas riset dan inovasi di jantung masyarakat. Dengan demikian, ”Ilmu pengetahuan tetap menjadi urusan kaum elite pemerintah yang boleh jadi dikerjakan dengan penuh minat dan bakat, tetapi tetap tidak mampu menerobos pagar tinggi sekeliling Kebun Raya.”
Dalam jebakan tradisi seperti itu, berapa pun anggaran riset, badan apa pun yang mengoordinasikan lembaga-lembaga riset, dan dari mana pun rektor didatangkan, tidak akan efektif dalam mendorong aktivitas inovasi-teknologi dalam kerangka kemakmuran bangsa. Bagaimanapun juga, riset inovatif itu harus sampai ke pasar (masyarakat). Harus mengikuti kebutuhan dan tarikan (pull factor) dari pasar. Oleh karena itu, selain harus mendekatkan hubungan antara lembaga-lembaga riset pemerintah dan perguruan tinggi dengan kebutuhan pasar, juga harus menjadikan aktivitas riset dan inovasi sebagai bagian organik dari dunia usaha.
Relevansi dan urgensi pergeseran kebijakan riset-inovasi dan pembangunan kemakmuran dari dorongan pemerintah ke arah tarikan pasar dijelaskan, antara lain, oleh Clayton M Christensen, Efosa Ojomo, dan Karen Dillon dalam The Prosperity Paradox: How Innovation Can Lift Nations Out of Poverty (2019). Secara jernih digambarkan, betapa banyak usaha dan sumber daya telah diguyurkan baik oleh negara ataupun lembaga-lembaga internasional untuk mengatasi kemiskinan. Sejak 1960, Official Development Assistance telah menggelontorkan 4,3 triliun dollar AS dana asistensi pembangunan dalam rangka memerangi kemiskinan di sejumlah negara miskin.
Indonesia telah mengerahkan begitu banyak program dan subsidi bagi kaum miskin. Berbagai resep juga telah diberikan, mulai dari dorongan untuk memperbaiki infrastruktur (pendidikan, lembaga pengetahuan, kesehatan, transportasi, dan lain-lain), perbaiki tata kelola negara, menambah bantuan (investasi) luar negeri, meningkatkan perdagangan luar negeri dan sebagainya. Namun, hasilnya tak terlalu menggembirakan.
Lebih banyak negara tetap dalam jerat kemiskinan atau jebakan pendapatan menengah-bawah karena tak mampu melakukan transformasi perekonomiannya. Banyak negara terlalu menguras energi untuk urusi kemiskinan, tetapi kurang memberikan perhatian pada usaha menciptakan kemakmuran. Bahwa jadi bangsa yang ”makmur” (prosper) itu beda dengan bangsa yang ”kaya” (rich, wealthy). Sejumlah negara bisa jadi kaya hanya karena memiliki satu-dua SDA berlimpah. Namun, kekayaan seperti itu tak berkelanjutan, dan tak bisa mendorong mobilitas vertikal secara luas. Untuk ”makmur”, suatu perekonomian harus bisa menciptakan nilai tambah berkelanjutan yang bisa meluaskan mobilitas vertikal secara lebih inklusif.
Lewat studi komparatif secara ekstensif terhadap negara-negara yang berhasil mentransformasikan diri dari negara miskin menjadi makmur, Clayton dkk menyimpulkan bahwa usaha menumbuhkan kemakmuran tak bisa hanya mengandalkan push factor dari negara. Mendorong perubahan konstitusi dan kelembagaan demokrasi, instalasi institusi-insitusi baru, pranata antikorupsi, dan beragam infrastruktur oleh negara mungkin bisa menyelesaikan masalah secara temporer, tetapi pada umumnya tak membawa perubahan berkesinambungan. Pembangunan dan kemakmuran bisa lebih mudah mengakar di banyak negara manakala terkoneksi dengan aktivitas inovasi di jantung pasar, yang pada gilirannya dapat menarik berbagai sumber daya yang diperlukan masyarakat.
Yang dimaksud dengan inovasi adalah perubahan dalam proses, yang melalui proses itu suatu organisasi melakukan tranformasi pekerja, modal, material, dan informasi ke dalam produk atau jasa dengan nilai tambah yang lebih besar. Setidaknya ada tiga jenis inovasi yang harus dikenali. Pertama, sustaining innovations: inovasi dalam bentuk perbaikan terhadap solusi-solusi yang telah ada di pasar, yang secara tipikal ditargetkan untuk mempertahankan pelanggan yang ingin performa yang lebih baik dari suatu produk atau jasa. Inovasi seperti ini diperlukan suatu negara dan perusahaan agar bisa tetap kompetitif dalam mempertahankan pelanggan.
Kedua, efficiency innovations, yakni inovasi yang memungkinkan organisasi bisa mengerjakan (menghasilkan) lebih banyak dengan sumber daya lebih sedikit. Efisiensi inovasi sangat penting bagi daya hidup organisasi (usaha) manakala lapangan industri kian sesak dan kompetitif. Ketiga, market-creating innovations, yakni inovasi yang dapat menciptakan pasar baru karena kemampuan menghadirkan produk atau jasa yang belum ada di pasar; atau produk dan jasa yang sudah ada di pasar, tetapi dengan lebih murah dan terjangkau oleh kalangan yg lebih luas (non-consumers).
Meski sustaining innovations dan efficiency innovations diperlukan bagi keberlangsungan perusahaan, keduanya tak begitu menjanjikan perluasan tenaga kerja dan ruang-ruang usaha baru. Untuk itu, usaha kemakmuran harus lebih mendorong market-creating innovations. Pengalaman lintas negara menunjukkan, inovasi terakhir itu dapat membangkitkan mesin ekonomi suatu negara dengan tiga dampak ikutan. Pertama, menciptakan pekerjaan—seiring makin banyaknya orang yang diperlukan untuk membuat, memasarkan, mendistribusikan, dan menjual hasil-hasil inovasi baru—sebagai faktor penting dalam menilai kemakmuran suatu negara.
Kedua, menciptakan keuntungan dari luasnya bentang penduduk, yang pada gilirannya bisa mendatangkan dana bagi pelayanan publik, termasuk pendidikan, infrastruktur, kesehatan, dan sebagainya. Ketiga, memiliki potensi besar untuk membawa serta perubahan budaya dan tata kelola yang lebih kondusif bagi usaha-usaha pemajuan kemakmuran.
Dengan demikian, lokomotif kemakmuran itu terletak pada usahawan inovator yang mampu mengembangkan inovasi teknologi yang dapat menciptakan pasar baru. Agar suatu bangsa dapat mempertahankan kemakmuran dalam jangka panjang, diperlukan pemerintahan baik, yang dapat menjaga dan mendukung budaya inovasi. Usaha pemerintah dalam pengadaan kebijakan, tata kelola, dan infrastruktur harus ditempatkan sebagai kerang pendukung dalam mempromosikan usaha-usaha market-creating innovations.
Ditilik dari perspektif itu, arah kebijakan pembangunan, riset, dan inovasi di Indonesia selama ini terlalu menekankan strategi push factor dari negara. Infrastruktur dibangun tanpa terkoneksi secara erat dengan tarikan dinamika pasar. Berbilang lembaga riset negara terus didirikan, dengan aktivitas dan produk riset yang kurang terhubung dengan kebutuhan pasar; juga tanpa kerangka kebijakan yang dapat menumbuhkan aktivitas riset dan inovasi di dunia usaha, atau memberikan kerangka insentif bagi gagasan inovasi yang mengarah pada market-creating innovations.
Di Amerika, misalnya, anak-anak muda cemerlang dengan ide-ide teknologi inovatif bisa membangun usaha rintisan (start-up) dengan pinjaman modal ventura. Memang tidak semua berhasil; tetapi selalu ada beberapa yang sukses mengembangkan perusahaan berbasis pengetahuan berskala global, seperti Microsoft, Apple, dan Facebook.
Defisit insinyur dan strategi mencegah ”mismatch”
Usaha meningkatkan mutu perguruan tinggi (PT) juga ditempuh melalui push factor dari negara, dengan jalan pintas ”mengimpor” rektor dari luar, tanpa mempertimbangkan soal mutu pendidikan itu dengan ketersambungannya dengan pasar (industri). Selama ini banyak dikeluhkan rendahnya proporsi mahasiswa sains-teknologi (keinsinyuran) di PT kita. Jumlah mahasiswa (dan lulusan) bidang keinsinyuran hanya 14 persen dari jumlah seluruh mahasiswa di Indonesia (sekitar 50 persen belajar teknik komputer), dengan tingkat putus kuliah paling tinggi (4,66 persen).
Bandingkan dengan proporsi lulusan bidang keinsinyuran di Korea Selatan (38 persen), China (33 persen), dan bahkan Malaysia (25 persen). Akibatnya, Indonesia mengalami defisit insinyur. Di sisi lain, kendati jumlah mahasiswa keinsinyuran itu relatif kecil, faktanya dari sekitar 100.000 lulusan bidang keinsinyuran, hanya sekitar 5.000 yang bekerja secara profesional sesuai dengan bidangnya.
Alhasil, yang harus dilihat bukan hanya dari sisi penawaran, melainkan juga dari sisi permintaan. Untuk mencegah mismatch antara keluaran lembaga pendidikan dengan dunia kerja, yang diperlukan bukan hanya pembenahan perguruan tinggi lewat push factor dari negara, tetapi juga rancangan strategi dan prioritas pembangunan ekonomi-industri yang lebih mendorong ekonomi pengetahuan berbasis inovasi. Apa pun usaha kita untuk menggenjot jumlah dan kualitas mahasiswa keinsinyuran tidak akan begitu efektif tanpa terhubung dengan perluasan kebutuhan inovasi-teknologi dalam dunia industri.
Di Korsel, PT kelas dunia, dengan urutan di bawah 50 dari 100 universitas terbaik dunia, adalah Pohang University of Science and Technology (Postech). Universitas ini didirikan pemilik industri baja terkenal di negeri itu, Posco, dalam rangka ”memenuhi kebutuhan teknologi sendiri bagi kemandirian teknologi dan menciptakan koneksi erat antara akademia dan industri.
Meningkatkan mutu PT lebih dari sekadar usaha meningkatkan jumlah publikasi internasional; melainkan dari kemampuan perguruan tinggi merespons market pull; yang dalam ketersambungan erat antara dunia pendidikan dengan dunia inovasi di jantung pasar, akan melahirkan banyak keahlian, inspirasi dan penemuan; yang pada gilirannya akan memberikan wahana yang kondusif pagi peningkatan mutu dan kuantitas publikasi internasional.
Singkat kata, untuk menjadi makmur, kita harus melihat kesulitan dan perjuangan hidup rakyat sebagai peluang untuk menawarkan solusi. Lewat inovasi yang dapat menciptakan pasar baru, pekerjaan baru, peluang-peluang usaha baru, budaya dan tata kelola baru, rakyat banyak yang selama ini hanya menjadi penonton dalam aktivitas ekonomi, menjadi ikut terlibat.
Kemakmuran dan demokratisasi ekonomi terjadi dengan mobilitas vertikal yang meluas dan inklusif. Untuk itu, sudah saatnya negara mengambil peran tut wuri handayani. Rangsanglah market-creating innovations menjadi pemantik api penciptaan kemakmuran; sedangkan pemerintah dapat memperbesar bara api tersebut dengan berbagai kebijakan, institusi, dan infrastruktur yang terkoneksi dengan tarikan kebutuhan inovasi-pasar. Itulah jalan baru kemakmuran kita.
(Yudi Latif, Direktur Sekolah Pancasila)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar