REVISI UU KPK
Parsialisme Elite Politik
Pengorganisasian kekuasaan negara, secara ideal demokrasi, bertujuan menciptakan kebaikan umum. Upaya pencapaian kebaikan umum sangat berkaitan dengan praktik-praktik elite politik dalam struktur kekuasaan negara. Jika praktik elite politik menjadi representasi nilai keadilan, misi mewujudkan kebaikan umum bukan utopia.
Parsialisme elite politik memiliki struktur kesadaran yang anti kebaikan umum. Nilai dasar parsialisme adalah keserakahan (greed) dan pemuasaan kepentingan subyektif. Kebaikan umum bagi elite politik penganut parsialisme adalah basa-basi di ruang-ruang sosial. Lebih dari itu, nilai keadilan yang jadi basis kebaikan umum adalah halangan yang harus disingkirkan.
Nilai keadilan yang mewujud ke dalam struktur pengorganisasian kekuasaan negara, baik kerangka hukum maupun sistem kelembagaan, akan mencengkeram parsialisme elite politik. Peluang melakukan malapraktik kekuasaan, termasuk korupsi, jadi sempit. Karena itu, parsialisme elite politik akan terus-menerus berusaha memutilasi nilai keadilan dari struktur pengorganisasian kekuasaan negara.
Beberapa waktu terakhir, gerakan parsialisme elite politik dalam pemutilasian keadilan kian garang dan percaya diri. Praktik revisi UU KPK adalah salah satu di antaranya. Revisi ini mereduksi besar-besaran kewenangan inti KPK. Secara substantif, revisi dalam RUU KPK menyebabkan proses pemberantasan korupsi berada dalam kendali elite politik di struktur legislatif dan eksekutif.
Jika RUU KPK berubah sebagai peraturan perundangan yang berlaku, bisa dipastikan pemberantasan korupsi akan jatuh pada kondisi terlemah. Nilai keadilan dari pengorganisasian kekuasaan terancam musnah. Konsekuensi jangka panjang, kehidupan rakyat terbengkalai dan terlukai.
Praktik parsialisme elite politik yang melemahkan KPK terjadi di hampir setiap periode kekuasaan demokrasi Indonesia. Faktanya, upaya mencerabut nilai keadilan dari struktur pengorganisasian kekuasaan tak hanya terbatas wilayah pemberantasan korupsi. Masyarakat perlu memahami, parsialisme belum bisa benar-benar ditundukkan oleh demokrasi.
Parsialisme elite politik berhasil menciptakan jaringan oligarkis lintas partai, etnis dan agama di era demokrasi ini. Realitas parsialisme elite politik harus dapat respons kolektif masyarakat Indonesia. Saat ini lewat revisi UU KPK, Indonesia dalam situasi eskalasi konflik parsialisme vs imparsialime politik, kepentingan subyektif vs kebaikan umum.
Jalan domestifikasi
Masyarakat sipil adalah variabel kesuksesan demokrasi untuk membentuk dan mempertahankan nilai keadilan dalam struktur kekuasaan. Pada masyarakat sipil itulah sebenarnya kebaikan umum mendapatkan kekuatan untuk terus diperjuangkan. Namun, kesadaran sipil terhadap pentingnya menekan parsialisme elite politik belum sampai pada level ideal. Jurgen Habermas, filosof dari madzab Frankfurt Jerman, melihat bahwa rasionalitas demokrasi masyarakat sipil, secara umum, sering berada dalam kendali kuasa elite-elite politik.
Kendali itu menggunakan jalur komunikasi identitas termasuk ikatan primordial etnisitas dan keagamaan. Oleh karena itu, masih banyak fenomena pelaku tindakan korupsi mendapatkan dukungan masyarakat sipil. Apa yang jadi pemikiran Habermas telah menemukan realitas empiriknya di Indonesia. Namun, ada bagian-bagian dari masyarakat sipil yang diharapkan mampu melepas kendali kuasa para elite politik yaitu para intelektual kritis di antaranya akademisi, mahasiswa dan aktivis demokrasi. Kelompok intelektual ini harus membentuk solidaritas mekanik, yaitu solidaritas berdasar pada moralitas umum (common morality).
Moralitas umum mendapatkan pilar pembentuknya dari nilai keadilan yang memperjuangkan kebaikan umum, yaitu moralitas yang dilepaskan dari ambisi subyektivisme. Jika kelompok intelektual berhasil membangun moralitas umum dan menjadi kelompok berani menghadapi parsialisme elite politik, maka masih ada peluang mempertahankan nilai keadilan dalam struktur kekuasaan negara. Ruang publik dan ruang sosial digital jadi wilayah yang harus diisi oleh solidaritas mekanik kelompok intelektual ini.
Pada sisi lain, elite politik yang masih memiliki komitmen pada imparsialisme, atau nilai keadilan, bergerak di ruang-ruang negosiasi politik negara. Presiden Jokowi seharusnya, menjadi representasi imparsialisme politik karena terpilih sebagai kehendak rakyat. Presiden perlu memberi dukungan secara terbuka terhadap gerakan moralitas umum kaum intelektual agar nilai keadilan tak tercerabut dari struktur pengorganisasian kekuasaan negara.
(Novri Susan ; Sosiolog Uiversitas Airlangga dan Pengurus APSSI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar