Saatnya
Kita Pulang ke Pelukan Pancasila
Fitraya Ramadhanny ; Redaktur Pelaksana detikTravel
|
DETIKNEWS, 02 Juni 2017
"Di kota ini kutemukan lima
butir mutiara. Di bawah pohon sukun ini pula kurenungkan nilai-nilai luhur
Pancasila"
- Tulisan prasasti di Taman Renungan
Bung Karno di Ende.
Pancasila adalah sebuah ideologi unik, yang mungkin cuma
ada di Indonesia. Dia dipuji, dicerca, kehilangan makna dan kini dicari-cari
kembali. Kita memperlakukannya seenak jidat. Padahal, mungkin ini adalah sintesa
terbaik yang pernah ada.
Tidak pernah ada jawaban tunggal terhadap pertanyaan soal
ideologi terbaik untuk sebuah bangsa. Ideologi politik berkembang mengikuti
sejarah peradaban dari zaman Yunani, Islam, Renaissance, Perang Dingin sampai
post modernisme.
Ia ditarik ke ujung kanan dan ke ujung kiri menjadi
spektrum politik yang kita kenal sekarang dan macam-macam jadinya. Padahal,
semua ideologi itu untuk menjawab beberapa pertanyaan sederhana saja: apa itu
penegakan hukum, kebebasan, keadilan, kesejahteraan sosial, kepemilikan,
perwakilan dan posisi Tuhan.
Ideologi dianggap benar ketika dia bisa menjawab kebutuhan
pada zamannya. Zaman berubah, berubah pula pilihan ideologinya. Lalu,
Pancasila ada di mana?
Pemuda Soekarno yang sedang diasingkan di Ende, NTT tahun
1933-1938, merenung dan melihat dengan sudut pandang yang berbeda. Kenapa
tidak menggabungkan semua ideologi dunia dan mengerucutkannya kepada 5 hal
yang paling penting saja?
Ideologi oplosan? Tidak juga. Soekarno lebih tepatnya
melakukan sintesa. Lompat ke tahun 1945, Soekarno dihadapkan dengan situasi
deadlock dalam rapat BPUPKI di Gedung Volksraad alias Chuo Sangi In, Jalan
Pejambon No 6, Jakarta Pusat. Gara-garanya adalah pembahasan dasar negara.
Giliran Soekarno yang angkat bicara. Tanpa naskah pidato,
dia tumpahkan semua pemikirannya yang kemudian disebut Pancasila. Hadirin
menerima dengan aklamasi. Kenapa? Karena semua merasakan betul kebenaran
setiap kata yang keluar dari mulut Soekarno. Hari itu 1 Juni 1945 dan gedung
itu sekarang disebut Gedung Pancasila di kompleks Kementerian Luar Negeri.
Pancasila lalu diabadikan dalam paragraf terakhir Pembukaan UUD 1945.
Tujupuluh dua tahun kemudian, Pancasila seperti kehilangan
makna. Ironis. Pemikir politik Argentina, Ernesto Laclau punya terminologi
yang tepat untuk nasib Pancasila hari ini: Empty Signifier. Pancasila adalah
penanda kosong. Dia pernah punya makna agung ketika negara ini didirikan,
kemudian kita -sengaja atau tidak- melupakannya, atau mencoba memberi makna
baru.
Kita iseng menjadikan Pancasila sebagai cap untuk
menentukan siapa yang loyal kepada pemerintah berkuasa, dan anti Pancasila
kepada para oposisi. Padahal Pancasila bukan alat hegemoni. Enak saja!
Kita juga iseng mempertentangkan Islam dengan Pancasila.
Jangan coba-coba! Ulama-ulama seperti KH Agus Salim dan KH Wahid Hasyim ikut
merajut Pancasila menjadi bahan baku konstitusi dan berbesar hati menyepakati
Piagam Jakarta agar konstitusi ini bisa mengikat semua rakyat Indonesia.
Pernah menerima broadcast bahwa setiap sila dalam
Pancasila ada ayat Al Quran-nya? Itu memang benar adanya. Pancasila mengambil
semua nilai terbaik yang ada dari umat manusia, bukan terjebak dalam merek
ideologi semata. Inilah universalisme manusia. Universalisme ini juga yang
ditemukan dalam Islam, seperti dikupas tuntas oleh Muhammad Arkoun.
Kita juga iseng berselingkuh dengan ideologi-ideologi lain
hanya karena menganggap Pancasila sudah usang. Padahal ideologi negara adalah
soal kesepakatan, kawan!
Dalam perspektif Laclau, justru kita yang mengisi empty
signifier ini dengan nilai-nilai yang jadi solusi hidup. Apa kita masih
sepakat soal ketuhanan? Apa kita masih sepakat soal kemanusiaan? Apa kita
masih sepakat dengan persatuan, musyrawarah dan keadilan sosial? Ini bukan
memilih merek ideologi, bukan sekadar berani beda.
Segala akrobat politik dan ideologis faktanya cuma membuat
kita pecah menjadi kotak-kotak dan sekat-sekat kecil hari ini. Semua
sama-sama teriak bela Indonesia, namun yang kita bela sesungguhnya ego kita
sendiri.
Mungkin kita semua perlu sama-sama traveling ke Ende di
NTT. Kita tamasya ke Taman Renungan Bung Karno yang dipugar Wapres Boediono
pada 2013. Di sana ada Patung Bung Karno yang duduk di ujung bangku beton
panjang di bawah pohon sukun. Bangku beton panjang itu simbol ajakan untuk
duduk bersama Soekarno.
Pandangan dia mengarah ke lautan. Ayo, lihat lagi
Pancasila sejernih Soekarno melihat birunya laut di Pelabuhan Ende! Ayo,
lihat lagi ke dalam hati kita! Pancasila itu simbol dari hati nurani kita
sendiri. Dia adalah jawaban yang kita lupakan, padahal tinggal digali saja
lagi. Pancasila adalah tangan yang terbuka lebar untuk memeluk semua
pemikiran yang baik, tapi kita meninggalkan dia sendirian.
Kalau merasa bangsa ini tidak bergerak ke mana-mana,
artinya tidak ada alasan untuk bilang Pancasila sudah kadaluwarsa. Cukup
sudah bicara partai dan kelompok. Kapan mau bicara soal Indonesia? Kita
berantem nggak jelas. Kapan mau sadar, apa yang kita ributkan hari ini, sudah
tuntas dibahas 72 tahun lalu. Malu! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar