Pancasila
dan Kembalinya Pendulum Sejarah
Nanang Suryana ; Peneliti Muda Pusat Studi Politik dan Keamanan
Unpad
|
DETIKNEWS, 02 Juni 2017
Kembalinya pendulum sejarah. Lewat Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 tentang penetapan 1 Juni sebagai Hari
Lahir Pancasila, Presiden Jokowi secara tegas memperlihatkan keberpihakan dan
komitmennya pada arah gerak bandul sejarah kelahiran dasar negara Indonesia:
Pancasila.
Peringatan terhadap Pancasila, sebelumnya selalu identik
dengan Hari Kesaktian Pancasila yang dirayakan secara seremonial setiap 1
Oktober. Lalu, apa yang membedakan Hari Lahir Pancasila dan Hari Kesaktian
Pancasila secara politik?
Posisi Politik
Kedua momentum itu sejatinya memiliki kesamaan sebagai
media yang dimaksudkan guna menjadi ruang refleksi sejarah. Namun, secara
posisi politik, momentum kelahiran kedua hari penting tersebut jelas berbeda.
Pertama, Hari Kesaktian Pancasila adalah sebuah monumen
ideologis yang dibangun rezim Orde Baru. 1 Oktober dipilih sebagai penegasan
komitmen Orde Baru pada Pancasila. Keputusan politik ini tidak bisa
dipisahkan dari peristiwa politik tahun 1965 yang melatarbelakanginya.
Tepatnya, sebuah peristiwa yang dikenal publik dengan istilah Gerakan Tiga
Puluh September (G 30 S) 1965.
G 30 S adalah sebuah peristiwa politik yang memilki
impikasi yang sangat sistematis dalam perjalan politik Indonesia pasca Orde
Lama. Hari Kesaktian Pancasila dimaknai sebagai hari dimana terjadi sebuah
upaya kudeta yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI), dengan salah satu
tujuannya adalah mengganti pemerintahan yang sah dan berdaulat, dan menganti
Pancasila sebagai dasar negara.
Peringatan 1 Oktober, dimaksudkan pula sebagai bentuk
penghormatan atas gugurnya 6 jenderal dan 1 perwira, yang menjadi korban
kebengisan PKI, berdasar sejarah Orde Baru kala itu.
Berbeda dengan latar belakang Hari Kesaktian Pancasila,
Hari Lahir Pancasila 1 Juni adalah sebuah ikhtiar sejarah yang dibangun
Pemerintah Jokowi. Sebuah sikap politik, yang dimaksudkan sebagai keputusan
penting guna menghapus ingatan publik terkait upaya de-Soekarnoisasi yang
begitu lama ditanam rezim Soeharto.
Tujuhpuluh dua tahun yang lalu, tepatnya 1 Juni 1945, di
hadapan sidang Badan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), Bung Karno
dalam kapasitasnya sebagai anggota badan tersebut menyampaikan pidatonya guna
menjawab pertanyaan ketua sidang, Dr. KRT. Radjiman Wedyodiningrat:
"Indonesia merdeka yang akan kita dirikan nanti dasarnya apa?"
Sebelum Bung Karno, anggota BPUPK yang lain telah
menyampaikan pandangannya sejak sidang dimulai pada 29 Mei 1945 sebelumnya.
Pada hari ketiga itu, di hadapan peserta sidang, Bung Karno mengatakan dasar
negara Indonesia dibangun di atas 5 prinsip dasar: 1. Kebangsaan Indonesia;
2. Internasionalisme atau perikemanusiaan; 3. Mufakat atau demokrasi; 4.
Kesejahteraan sosial, dan yang ke-5. Prinsip Ketuhanan.
Secara susunan, 5 prinsip dasar yang disampaikan Bung
Karno pada 1 Juni 1945 memang berbeda dengan susunan Pancasila yang kita
kenal sekarang. Karena, setelah pidato Bung Karno itu diterima secara
aklamasi oleh peserta sidang, dibentuk Panitia Sembilan yang bertugas
menyusun undang-undang dasar negara.
Dalam perjalanannya, 5 prinsip dasar tersebut memang
mengalami beberapa perubahan, sampai akhirnya dicantumkan dalam Mukadimah
Undang-Undang Dasar 1945, yang disahkan dan dinyatakan sah sebagai dasar
negara Indonesia Merdeka pada 18 Agustus 1945 dan menjadi Pancasila yang kita
kenal kini.
Janji Sejarah
Terlepas dari perdebatan yang mengitarinya, Peringatan
Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni jelas memiliki pesan yang kuat. Terlebih,
dengan kondisi kebangsaan seperti sekarang, kembali melihat dan mengingat
posisi Pancasila secara ideologis sebagai dasar negara, dan secara sosiologis
sebagai ligatur (pemersatu) bangsa, adalah sebuah keharusan yang mendesak.
Seperti yang dikatakan Bung Karno dalam pidatonya pada 1
Juni 1945, "Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan
satu negara untuk satu golongan. Tetapi kita mendirikan negara ―semua buat
semua ― satu buat semua, semua buat satu". Pesan ini yang sejatinya
menjadi penting untuk kita insyafi bersama dalam momentum hari kelahiran
Pancasila 1 Juni.
Republik Indonesia didirikan bukan tanpa tujuan. Republik
ini didirikan sebagai bentuk komitmen bersama sebagai negara yang mengatasi
segala perbedaan. Bagi Indonesia, perbedaan tak ubahnya taman sari yang
membuat sebuah bangsa menjadi kaya. Karenanya, bagi republik ini, perbedaan
dan persatuan adalah helaan nafas yang sama dengan balutan bhineka tunggal
ika di tubuhnya.
Dan, yang jauh lebih penting, momentum peringatan Hari
Lahir Pancasila harus menjadi pengingat masih banyaknya pekerjaan rumah bagi
kita guna menunaikan janji sejarah. Janji untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Tanpa terkecuali! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar