Keluar
dari Jebakan Rutinitas Ramadan
Nadirsyah Hosen ; Rais syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New
Zealand; Dosen Senior Monash Law
School
|
JAWA
POS, 03
Juni 2017
RITUAL tahunan itu telah datang. Bulan suci telah tiba.
Semua bergembira menyambutnya, dan tanpa sadar pola hidup kita telah
menyesuaikan diri dengan ritme bulan puasa. Tengoklah pola konsumsi kita,
hiburan di televisi, bahkan hiasan dan aksesori di pusat perbelanjaan pun
serentak mengulang rutinitas tahunan ini. Adakah yang berbeda dari puasa
tahun ini dibandingkan dengan Ramadan tahun-tahun sebelumnya?
Kahlil Gibran pernah menulis: ”Cinta yang tak diperbarui
setiap hari, ia akan menjelma menjadi perbudakan.” Artinya, spirit cinta bisa
lenyap ketika hanya disuguhi menu yang sama, gerak langkah yang seragam, dan
aktivitas yang itu-itu saja bagai rutinitas belaka tanpa ada ruang untuk
memperbarui spirit cinta. Kita rasakan sendiri bagaimana hirup pikuk Ramadan
begitu menggeliat di minggu pertama, tapi perlahan meredup ketika kita telah
terbiasa kembali menahan lapar dan dahaga di minggu berikutnya. Contoh kecil:
saf di masjid pun semakin berkurang barisnya dibandingkan minggu pertama
berpuasa.
Para ustad yang memberikan kultum juga seolah hanya
memutar ulang pita kaset isi ceramah tahun-tahun sebelumnya. Sindrom ”kutiba”
memeluk para ustad di bulan puasa. Ayat yang dibaca selalu ayat yang sama,
hadis yang disampaikan juga begitu. Tentu tidak ada yang salah dengan kutipan
ayat dan hadis tersebut, tapi jika makna yang disampaikan selalu sama setiap
Ramadan, jamaah pun sudah sama-sama tahu apa yang disampaikan para ustad,
karena nyaris setiap Ramadan isi kultum telah menjadi rutinitas belaka.
Di sinilah jebakan rutinitas terjadi. Puasa yang telah
kehilangan spirit cinta Ilahi akan menjelma menjadi kebiasaan seperti halnya
menemui kemacetan di jalan raya setiap hari. Awalnya terasa berat, tapi
lambat laun menjadi hal biasa. Bahkan, kalau ada yang mengomel karena macet,
kita jadi kebingungan: ”bukankah macet itu hal biasa!”. Ibadah Ramadan yang
kehilangan spirit cinta Ilahi itu seperti jebakan jalanan macet: mau tidak
mau, Anda akan tetap menjalaninya karena itu sudah menjadi hal biasa.
Lantas, bagaimana caranya agar spirit cinta kita selalu
diperbarui setiap hari di bulan Ramadan? Bagaimana caranya hati kita bergetar
setiap hari menyongsong fajar saat memulai puasa kita?
Ada yang menjawabnya dengan mengurung diri berkhalwat
selama bulan Ramadan. Banyak kisah para sufi dalam literatur keislaman yang
bercerita bila Ramadan tiba, kenikmatan dunia seolah berhenti dan para sufi
mengisinya hanya dengan ibadah semata. Buat kebanyakan orang, langkah itu
tidak praktis karena kita memiliki keluarga dan juga tanggung jawab mencari
nafkah. Kita bukanlah para sufi yang memang hubungannya dengan Allah sudah
sedemikian khusus. Hanya orang tertentu yang sanggup menjalani cara itu.
Ada pula yang membuat formula beribadah dengan
mengkhatamkan Alquran, salat malam, dan berbagai macam amalan lainnya.
Alhasil, mereka akan loyo dan kecapekan saat berangkat ke kantor atau kampus
akibat begadang selama bulan Ramadan. Produktivitas kerja menjadi menurun,
bos di kantor marah, atau dosen di kampus menjadi murka melihat mahasiswa
tertidur di kelas.
Ada yang berusaha menemukan spirit cinta Ilahi dengan
berbagi kepada sesama di bulan puasa. Ada yang setiap sore memasak nasi,
tempe, tahu dan sayur, lantas dibungkus dan kemudian dibagikan secara
cuma-cuma kepada mereka yang papa. Apakah kaum papa itu berpuasa? Tidak
penting. Yang penting mereka punya makanan untuk berbuka. Siapa tahu mereka
jadi tergerak untuk berpuasa karena kini yakin punya makanan untuk berbuka.
Ada pula yang tak sempat khataman Quran, tak sempat bangun
malam, tak ada pula rezeki lebih untuk berbagi, yang mereka lakukan hanyalah
tetap berusaha menjalani puasa semampu mereka. Kita temui mereka pada sudut
kota yang terik, berdiri di jalanan yang berdebu, mengais-ngais sisa makanan
atau sekadar memetik gitar atau menjajakan dagangannya.
Bisakah kita menemukan spirit cinta Ilahi pada pedagang
asongan, tukang parkir, tukang becak, tukang sampah, maupun para pengamen
jalanan? Ibn Athaillah mengingatkan kita: rubbama wajadta min al-mazidi fi
al-faqat ma la tajiduhu fi al-shaum wa al-shalat. Boleh jadi seseorang akan
memperoleh pengalaman batin dalam penderitaan, apa yang tak bisa diperoleh
dalam puasa dan shalat. Boleh jadi Tuhan justru hadir pada mereka yang
menderita dan telah ”berpuasa” sepanjang tahun, dibanding kita yang hanya
bepuasa di bulan Ramadan.
Ada yang justru merajut kembali cinta Ilahi dengan memilih
bekerja sebagaimana biasanya. Rutinitas Ramadan bersatu padu dengan
rutinitasnya setiap hari. Semuanya berada dalam satu tarikan napas. Sementara
pihak sedang iktikaf di masjid, dia malah berjam-jam tengah mengoperasi
pasiennya dalam status hidup dan mati. Sementara orang tengah bertadarus, ada
yang sibuk memahami ayat kauniyah dalam ruang laboratorium dengan berbagai
eksperimennya. Ayat-ayat-Nya hadir dalam tumpukan paper dan berbagai bahan
kimia di sekitarnya.
Untuk orang seperti mereka itu, puasa Ramadan bukan
menjadi rutinitas yang membuat cintanya seolah menjadi perbudakan, tetapi
telah menjadi bagian dari denyut nadi kehidupannya. Tak lagi mereka pisahkan
mana dunia dan mana akhirat; seolah beribadah hanya melulu urusan akhirat,
dan bekerja seolah hanya berorientasi pada dunia. Pandangan mereka tentang
dunia dan akhirat berbeda dengan kebanyakan orang.
Sesuai dawuh Kiai Ahmad Asrori (Allah yarham), dunia itu
adalah segala sesuatu yang memalingkan kita dari Allah (meskipun sedang
beribadah). Sedangkan akhirat itu adalah segala sesuatu yang membuat kita
menuju Allah (meskipun sedang bekerja mencari nafkah). Maka, merajut kembali
spirit cinta Ilahi selama bulan Ramadan dimulai dengan menata ulang cara
pandang kita akan dunia dan akhirat. Jangan-jangan kita terjebak pada
rutinitas Ramadan itu karena kita keliru memaknai mana yang duniawi dan mana
perbuatan yang sifatnya ukhrawi.
Jika khataman Quran dan salat malam serta kultum yang kita
sampaikan itu justru tidak membuat kita lebih dekat kepada-Nya, kita masih
berada pada level ”duniawi”. Sebaliknya, jikalau pekerjaan dan aktivitas kita
di kantor, kampus atau jalan raya, membuat kita semakin merasakan
kehadiran-Nya, spirit cinta Ilahi sudah membawa kita pada level ”akhirat”.
Lantas, bagaimana dengan mereka yang baik saat di masjid
maupun berada di kantor, apa pun aktivitasnya, baik zikir maupun pikir,
selalu menjadi wasilah untuk mendekat kepada Allah di bulan Ramadan ini?
Mereka itulah yang berhasil keluar dari jebakan rutinitas Ramadan. Mereka
itulah yang selalu memperbarui spirit cinta-Nya setiap hari. Mereka itulah
yang memenuhi tujuan berpuasa, yaitu menjadi orang yang bertakwa. Dan, bi idznillah, mereka itulah yang layak
mendapat kemuliaan malam seribu bulan. Semoga!
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar