Balada
Kaum yang Tersesat di Universitas
Iqbal Aji Daryono ; Praktisi Media Sosial dan suka menulis di mana
saja;
Kini ia tinggal
sementara di Perth, Australia, dan bekerja sebagai buruh transportasi
|
DETIKNEWS, 06 Juni 2017
Bulan-bulan ini adalah masa penerimaan mahasiswa baru.
Para lulusan SMA berebut mendaftar ke perguruan tinggi, meninggalkan masa
sekolah, masuk ke sistem baru dan dunia yang baru.
Bangku kuliah adalah dunia yang nyaris sepenuhnya baru.
Tradisi baru, kemandirian baru, juga ilmu yang sebagian besar baru.
Tentang poin terakhir itu, tak banyak anak menyadari
sepenuhnya sejak SMA. Sadar sih sadar, tapi alam yang penuh segala kebaruan
tersebut nyatanya jarang dipahami dan dipersiapkan baik-baik sejak jauh hari
sebelum mereka memasukinya. Musababnya jelas, yakni waktu dan energi mereka
habis untuk persiapan ujian kelulusan sekolah, dan untuk menimbun amunisi
bagi pertarungan perebutan kursi di kampus-kampus.
Ini konyol. Tenaga habis untuk berebut kursi, padahal
setelah berhasil duduk di kursi tersebut banyak di antara mereka
tingak-tinguk geragapan, tak tahu kiri-kanan, dan terkaget-kaget karena apa
yang mereka dapatkan jauh dari bayangan. Mereka tersesat!
Benar sekali, saya mau membicarakan tentang para mahasiswa
yang salah jurusan. Mereka kerap diabaikan, tidak mendapat perhatian negara,
dan tidak diurusi pencegahan perkembangan jumlahnya. Padahal, yakinlah,
populasi umat yang tersesat ini jika dikumpulkan akan cukup untuk mendirikan
sebuah republik baru.
"Lho, salah jurusan tak masalah! Yang penting di
lingkungan kampus kita bisa membangun tradisi intelektual, belajar banyak hal
lain, dan melatih diri untuk kompetisi-kompetisi riil di dunia nyata!"
Halaaah gombal. Saya sudah tak terlalu percaya dengan
omong kosong semacam itu. Okelah, tetap ada kelompok demografis yang bisa
menyiasati ketersesatannya dengan berbagai alternatif kegiatan, lalu bertahan
hidup dengan pilihan jalurnya tersebut. Misalnya dengan aktif di unit
kegiatan fotografi, lalu jadi fotografer meski kuliahnya Ilmu Hukum. Atau
dengan aktif di gerakan ekstrakampus, aktif di situ sampai tingkat pengurus
nasional, lalu selepas kuliah (lulus ataupun tak lulus) menumpang hidup di
seniornya yang sudah jadi anggota dewan. Hehe.
Namun yang begitu-begitu jelas saja tak banyak. Mayoritas
kaum salah jurusan adalah mereka yang akhirnya jadi hantu-hantu kampus dengan
nasib studi tak jelas, beban bagi universitas, beban bagi dosen pengajar,
beban bagi orangtua masing-masing. Sebagian di antaranya memang lulus, tapi
ya lulus cuma asal lulus saja, tanpa kemampuan memadai sebagai lulusan sebuah
program studi.
Itu tadi problem di permukaan. Problem yang sesungguhnya
jauh lebih luas lagi. Coba bayangkan saja. Dengan sekian juta mahasiswa salah
jurusan dari sekian angkatan, ada seberapa parah in-efisiensi sumber daya
yang terjadi di negeri kita?
Jangan lupa, sebagian di antara mereka sebenarnya
sosok-sosok potensial. Namun dengan keterpaksaan menjalani jalur yang keliru,
mati-matian bertahan di situ, menghabiskan bertahun-tahun untuk mempelajari
bidang yang tidak mereka sukai, maka pemborosan besar-besaran telah
berlangsung. Pemborosan umur, pemborosan biaya, penyia-nyiaan sumber daya
manusia yang boleh jadi sebenarnya sangat dibutuhkan oleh momentum sejarah
pada masa mereka.
Usai mereka lulus (ya kalau lulus), umat salah jurusan itu
akan terjun di bidang lain yang mereka minati tapi tidak terlalu mereka
kuasai. Maka mereka mengalokasikan waktu lagi untuk proses belajar, yang
sebenarnya bisa mereka jalani jauh hari sebelumnya andai mereka tepat dalam
memilih jurusan. Bukan mustahil, produktivitas golongan ini pun jadi pendek
saja, karena mereka mencapai kematangan skill di kala usia sudah menua.
Kemungkinan lain, mereka akhirnya tetap lulus, bekerja
sesuai jurusan yang tidak mereka sukai itu, dan berkarya ala kadarnya. Tanpa
spirit maksimal, tanpa passion, sekadar untuk bertahan hidup sebagai
zombie-zombie pembangunan.
Mengenaskan, bukan? Memang. Lha tapi terus mau apa?
Sekarang bayangkan jika yang terjadi sebaliknya. Andai
membengkaknya populasi mahasiswa salah jurusan tersebut bisa dicegah atau
diminimalisir, niscaya jutaan sumber daya potensial akan bisa dialokasikan
secara lebih tepat sasaran. Pergerakan ekonomi (sudahlah, ekonomi dulu yang
penting) akan semakin efektif, hasil-hasilnya lebih maksimal, seiring dengan
berkurangnya problem-problem ketenagakerjaan dan pengangguran.
Oke, oke. Saya tahu, bangku kuliah memang tidak menjamin
manusia tumbuh sebagai jenius-jenius peradaban. Toh orang-orang semacam Bill
Gates, Zuckerberg, Michael Dell, Steven Spielberg, atau Walt Disney, mereka
bukan para sarjana produk universitas.
Tapi, hei, memangnya yang macam mereka itu ada berapa
gelintir sih dalam satu generasi? Ha mbok ya ngaca hahaha. Makhluk-makhluk
ajaib seperti mereka adalah produk deviasi yang tidak bisa dirancang dalam
sistem. Dan pada kenyataannya, realitas kehidupan di negeri bernama Indonesia
belum tentu memberikan sisa ruang cukup lapang bagi para manusia super yang
bergerak tanpa legitimasi ijazah. Ya, kan?
Lalu apa solusinya? Khilafah? Wo ya bukan. Ini semata
perkara diseminasi informasi yang jauh dari maksimal. Problem nyata yang
terjadi di kalangan anak-anak sekolah adalah sedikitnya di antara mereka yang
sungguh-sungguh paham mengenai jurusan yang mereka pilih. Maka, ketika
pilihan program studi ditentukan, prosedur yang ditempuh adalah sekadar
mengira-ngira, menentukan bidang apa yang kemungkinan membuat mereka
diterima, terlebih lagi yang membuat mereka gampang dapat kerja.
Akibatnya, aspek pertimbangan saat pemilihan jurusan
bukanlah aspek minat dan bakat mereka sendiri, namun lebih di sisi jurusan
favorit atau tidak favorit, passing grade tinggi atau rendah. Itu.
Selama ini, anak-anak SMA bukannya tidak mendapatkan sama
sekali pengetahuan sekilas tentang jurusan-jurusan di universitas. Sebagian
di antara mereka mendapatkannya. Misalnya lewat pelajaran Bimbingan Karier.
Repotnya, pelajaran itu sering tak dianggap penting oleh murid-murid, karena
tampaknya tak dianggap penting juga oleh sistem pendidikan. Buktinya ujiannya
tak jelas, kan? Lebih dari itu, pelajaran tersebut memang tidak signifikan
dalam memberikan penjelasan mengenai lika-liku jurusan di universitas.
Akses informasi lain adalah lewat tim promosi dari
perguruan tinggi yang safari ke daerah-daerah. Namun seberapa jauh model
demikian bisa memberikan pengetahuan yang lumayan lengkap mengenai program
studi? Tak akan cukup mendalam, sekadar permukaan, dan ingat bahwa
kampus-kampus tadi sedang berpromosi. Mereka tidak bakal cukup peduli apakah
anak-anak itu tepat jurusan ataukah nyasar. Yang penting mereka mendaftar,
dan uang pendaftaran serta uang blablaba lainnya ditransfer ke rekening
lembaga. Beres.
Dengan kenyataan lapangan semacam ini, mau tak mau harus
ada langkah struktural yang serius untuk mengatasinya. Ini bukan perkara
main-main, kalau kita mau melihatnya secara sistemis. Kementerian Pendidikan
harus mengambil tindakan konkret dan segera, agar populasi mahasiswa salah
jurusan tidak terus menggelembung lagi dan lagi, dan negeri kita semakin
amburadul dalam mengalokasikan sumber daya.
Langkah yang harus diambil bukan cuma dengan pemberian
informasi lebih dini dan mendalam tentang jurusan di perguruan tinggi, saya
kira. Bahkan bisa ditempuh program pengarahan sejak SMP, apakah seorang anak
cocok masuk universitas ataukah tidak.
Yang ini agak berat. Selama ini, sudah telanjur mentradisi
pandangan di masyarakat kita bahwa universitas adalah jalan lempang menuju
masa depan yang indah. Tak peduli pascakuliah mau jadi apa, agaknya hanya
dengan status sebagai mahasiswa saja otomatis seorang lulusan SMA sudah
merasa dirinya menjadi bagian dari kelas menengah baru.
Ini konstruksi sosial yang berbahaya. Bandingkan saja
andai sejak dini anak-anak yang tidak cocok kuliah tersebut langsung ditatar
sebagai tenaga-tenaga teknis berketerampilan, atau wirausahawan. Sudah pasti
akan ada minimal empat tahun yang bisa dihemat, kali sekian juta orang, yang
bisa dimaksimalkan sebagai energi-energi muda yang berkontribusi lebih
maksimal bagi kemajuan bangsa.
Saya jadi ingat tulisan Pak Didik J. Rachbini pada
kolomnya di media ini, beberapa bulan silam. Ia menggambarkan salah satu
problem pembangunan di Indonesia, yakni minimnya tenaga berketerampilan.
Anak-anak muda berbondong-bondong masuk universitas, kebanyakan memilih
jurusan humaniora. Mungkin karena lebih gampang. Padahal, dunia industri
sangat membutuhkan tenaga-tenaga terampil.
Universitas tidak mampu memenuhi kebutuhan itu. Mereka tak
punya stok lulusan tenaga teknis yang mencukupi. Sementara, para sarjana
humaniora tidak jelas kemampuannya.
Saya menduga, banyak di antara sarjana humaniora yang
nggak jelas tersebut adalah produk-produk salah jurusan. Mereka lulus tanpa
kemampuan memadai, bekerja menyambung hidup tanpa passion, dan pada akhirnya
jadi kerumunan pengobral gagasan saja.
Sialnya, barangkali saya sendiri termasuk di antaranya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar