Menjaring
Hakim MK
Moh Mahfud MD ; Ketua Asosiasi
Pengajar Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi
Negara (APHTN-HAN); Ketua MK-RI 2008-2013
|
KORAN
SINDO, 04
Maret 2017
Patutlah kita memberi apresiasi yang tinggi ke pada
Presiden yang pada pekan lalu telah mem - bentuk panitia seleksi (pansel)
calon hakim konstitusi untuk meng ganti - kan Patrialis Akbar.
Pansel yang independen, ter lepas dari kepenting an
danpermainanpolitik, inipentinguntuk men jaring calon hakim di Mah kamah
Konstitusi (MK) yang meme nuhi syarat bukan hanya formal-proseduralnya,
tetapi juga inte gritas moralnya. Pen jaringan calon hakim kon - stitusi
melalui pansel yang indepen - den kali ini juga penting karena yang akan
dijaring adalah calon hakim yang akan meng gantikan Patrialis Akbar, ma ntan
hakim MK yang harus ter - lempar dari posisinya sebagai ha kim konstitusi
kare na ter libat skandal korupsi yang di ciduk melalui operasi tang kap
tangan oleh KPK.
Masuknya Patrialis ke Mah kamah Konstitusi memang di
dahului dan disertai kontr oversi panas, tepatnya ada pe nolakan, karena
prosesnya tidak trans paran dan tidak me libatkan partisipasi masyarakat se
bagai mana diperintahkan oleh UU Mahkamah Konstitusi. Pada Agustus 2013
Patrialis tiba-tiba diajukan dan dires mi kan oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) untuk mengganti - kan Achmad Sodiki yang harus pen - siun
sebagai hakim MK.
Ketika Presiden SBY men g aju kan nama Patrialis beberapa
elemen ma - syarakat yang di wakili oleh beberapa civil society organization
(CSO) melan - car kan protes karena dianggap tidak sesuai dengan UU MK yang
me me - rintahkan pe rekrut an hakim MK di - lakukan secara trans pa ran dan
par - tisi patif.
Pengajuan itu dinilai tidak transparan karena nama
Patrialis tiba-tiba muncul se bagai nama tung - gal tanpa di dahului dengan
peng - umuman yang bisa memberi pe - luang ke pada warga masya rakat lain
yang juga memenuhi syarat un tuk meraih jabatan itu melalui kontes yang fair.
Pengajuan itu juga tidak partisipatif karena masyarakat
tidakdiberi informasidanwak tu untuk mengenal, menilai, dan memberi masukan
kepada Presiden tentang profil calon hakim yang akan diajukannya. Itulah
sebabnya beberapa CSO memerkarakannya ke Peng adil - an Tata Usaha Negara
(PTUN) dan PTUN mengabulkan gugat - an itu: pengangkatan Patrialis dinyatakan
cacat hukum.
Namun, Presiden mengajukan perlawanan hukum atas vonis itu
dengan mengajukan ban ding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) dan
di sana Presidenmenang. Ketikadi lawan dengan kasasi ke MA, ternyata Presiden
tetap menang. Tentu muncul dugaan-duga an negatif yang tidak bisa di bukti -
kan tentang kemenangan Pre - siden di PPTUN dan MA setelah kalah telak di
PTUN itu.
Tetapi apa pun dugaan atau ke yakinan orang, yang jelas
Pre si den me - nang dan secara “formal” peng - angkatan Patrialis adalah sah
adanya. Tetapi pula (man tan) Presiden SBY memikul tang gung jawab moral atas
ke ngototannya mengajukan Patrialis yang kemudian ditangkap oleh KPK melalui
operasi tangkap tangan itu.
Sejak awal pembentukan UU Mahkamah Konstitusi sudah
menentukan perekrut - an hakim konstitusi haruslah dilakukan secara
transparan dan partisi patif. Ketentuan itu dimak sud kan agar bisa muncul
hakim negarawan dan profesional. Jabatan hakim konstitusi ada lah
satu-satunya jabatan yang oleh Konstitusi pemangkunya dipersyaratkan harus
negara wan.
Tetapi, apa arti dan ukuran negarawan itu tidak ditemukan
di dalam konstitusi kita. Ketika syaratsyarat untuk menjadi pejabat negara
dituangkan ke dalam undang-undang ter nyata sulit menemukan kriteria negara -
wan itu sehingga syarat untuk menjadi pejabat itu akhir n ya sama saja antara
untuk ja batan yang mengharuskan ne ga rawan dan bukan negarawan.
Syarat kualitatif dan inte - gritas untuk menjadi hakim MK
ternyata tidak ada bedanya dengan syarat untuk menjadi anggota DPR, hakim
agung, anggota BPK, dan sebagainya. Syarat harus negarawan itu tidak bisa
diturunkan ke dalam undang-undang dengan indi - kator yang terukur.
Itulah se - babnya perekrutan hakim MK harus dilakukan
secara serius dan oleh tim perekrutan yang bisa objektif dan independen.
Untuk menemukan calon hakim yang dekat dengan sifat kenegarawanan panitia
seleksi tidak boleh hanya mencukup - kan diri pada hasil tes tertulis,
penulisan makalah, dan ujian lisan terhadap para calon me - lainkan harus
betul-betul me - lacak track record para calon de - ngan melibatkan
masyarakat. Itulah arti penting pem - bentukan pansel oleh Presiden dalam melakukan
perekrutan hakim MK.
Masyarakat meng - inginkan, perekrutan hakimhakim MK
secara terbuka, fair, dan partisipatif tidak hanya di - lakukan untuk memilih
hakimhakim MK yang diajukan oleh Presiden, tetapi hendaknya bisa dilakukan
juga untuk men - jaring para hakim MK yang di - ajukan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dan Mahkamah Agung (MA). Perekrutan yang dilakukan oleh DPR
selama ini sangat rawan dengan politisasi dan permainan kepentingan po -
litik.
Meskipun dalam proses seleksinya akhir-akhir ini DPR sudah
mengundang banyak pakar untuk ikut menguji dan memberi pertimbangan tetapi
penentuan akhirnya tetap ber - sifat lebih politis dan bisa saling
tukar-menukar kepentingan antarparpol. Begitu juga perekrutan yang dilakukan
oleh MA terasa hanya formalitas dan terlalu mem - batasi pada segmen
tertentu.
Sebenarnya DPR dan MA bisa melakukan perekrutan seperti
yang dilakukan oleh Presiden sekarang, yakni, membentuk panitia seleksi yang
indepen - den untuk menjaring calon. DPR dan MA nantinya tinggal menetapkan
atau memilih di antara calon-calon yang sudah disaring oleh panitia seleksi.
Menurut Pasal 24C Ayat (3) UUD 1945 posisi Presiden, DPR,
dan MA dalam perekrutan hakim MK bukanlah memilih, melainkan mengajukan. Nah,
mengajukan (atau memilih untuk diajukan) itu bisa diambil dari calon-calon
yang dijaring dan disaring oleh panitia seleksi yang independen. Itu tinggal
kemauan saja kok. ●
|
(Note : Mohon maaf, masih ASLI dari KORAN SINDO.
Belum diedit.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar