Kampanye
Putu Setia ; Pengarang;
Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO, 04 Maret 2017
Raja
Salman bin Abdulaziz al-Saud turun dari pesawat dengan menggunakan tangga
berjalan yang khusus didatangkan dari negerinya, Arab Saudi. Di bawah, sudah menunggu
Presiden Joko Widodo. Salaman pun dimulai. Lalu ada yang menyodorkan tangan
untuk bersalaman dengan Sang Raja. Ia adalah Basuki Tjahaja Purnama alias
Ahok. Raja Salman pun menyambut tangan Ahok seperti menyambut tangan-tangan
yang lain.
Yang
viral di media sosial dan heboh di layar televisi bukan salaman Raja Salman
dengan Presiden Jokowi, melainkan Raja dengan Ahok. Kok bisa? Bukankah Ahok
sebagai Gubernur DKI sudah biasa-dan sesuai aturan protokol-ikut menjemput
tamu negara? Ahok semata menjalankan "tugas dinas" sebagai Gubernur
DKI. Jadi itu hal yang biasa saja.
Menjadi
tidak biasa karena Jakarta sedang memilih gubernur baru dan Ahok kembali
mencalonkan diri sebagai kandidat inkumben. Karena itu, setiap adegan yang
bisa mengangkat citra dirinya menjelang putaran kedua pilkada ini pasti
dilakukan Ahok. Ia menyiapkan tim, dan kedatangan Raja Salman sudah
diperhitungkan bisa dijadikan ajang kampanye. Tak sampai hitungan jam,
salaman Raja Salman dengan Ahok sudah di-posting di akun pribadi Ahok-sudah
pasti ini pekerjaan tim. Lalu para "pencinta Ahok" ramai-ramai
menyebarkannya. Bahkan, tutup kepala Raja Salman yang bercorak kotak-kotak
pun disebut sebagai "kode mendukung Ahok". Betul kata seorang
teman, ada yang hilang dalam pilkada DKI Jakarta ini, yakni kejernihan.
Bisa
jadi Ketua KPU Jakarta Sumarno sudah memprediksi ada kampanye terselubung
seperti ini dan dia ingin menjernihkan masalah. Caranya, dengan melegalkan
kegiatan yang dilakukan oleh calon-calon gubernur sehingga tidak ada kampanye
terselubung. Semua kampanye harus terang-benderang, adil untuk semua calon.
Ini berarti mau tak mau Ahok diharuskan cuti selama masa kampanye putaran
kedua pilkada DKI Jakarta.
Surat
keputusan KPU DKI tentang kampanye ini sedang diproses yang didahului uji publik.
Namun kubu Ahok langsung belingsatan. Juru bicara tim pemenangan Ahok, Gusti
Putu Artha, mantan anggota KPU pusat, siap melaporkan KPU DKIke Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP)
apabila memberlakukan kampanye pada putaran kedua pilkada DKI.Alasannya,
Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2016 tak ada menyebut kampanye tatap muka dan
penyebaran brosur. Yang ada hanya penajaman visi-misi program dalam bentuk
debat. Namun Sumarno menyebut dasar hukum itu sesuai dengan undang-undang dan
KPU DKI boleh membuat keputusan tentang kampanye putaran kedua.
Yang
hilang dari pilkada DKI adalah kejernihan-mengutip lagi suara teman. Bukan
saja nalar tak jernih, juga tak jernih melihat kenyataan. Kalau kampanye
hanya diisi debat dan tidak ada tatap muka, bagaimana keadilan bisa
diwujudkan untuk kedua pasangan calon? Ahok setiap pagi bertatap muka dengan
warga Jakarta yang datang ke Balai Kota. Bisa pula setiap hari
"dinas" sebagai gubernur, meresmikan proyek atau memberi bantuan sosial.
Salaman dengan Raja Salman saja diunggah dalam hitungan menit ke media
sosial, bagaimana dengan "dinas kerja" lainnya? Apa Ahok tidak
boleh keluar dari ruang kerjanya seraya menunggu pencoblosan? Pasti ramai
lagi protes: gubernur kok tak mengurusi warganya.
Pelajaran
dari pilkada Jakarta ini adalah undang-undang dan peraturan yang menyangkut
pemilu dan pilkada tidak rinci mengatur putaran kedua, sehingga niat KPU DKI
membuat aturan kampanye yang mengharuskan inkumben cuti lagi dicurigai
sebagai tidak netral. Itu saja, titik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar