"Now & Then"
Samuel Mulia ;
Penulis Kolom PARODI Kompas Minggu
|
KOMPAS, 08 Mei 2016
Kereta api mulai
bergerak semakin cepat meninggalkan Jakarta menuju Surakarta. Meski bokong
terasa seperti duduk di atas kompor saking lamanya perjalanan itu, saya toh
harus mengakui bahwa itu tak mengurangi sedikit pun kesenangan menikmati
goyangan kereta api.
"Now"
Di tengah perjalanan
panjang itu, di tengah bunyi kereta dan pemandangan sawah dengan langitnya
yang terik, saya mulai berpikir tentang sebuah pertanyaan yang beberapa hari
sebelum keberangkatan itu telah mengisi ruang di kepala. "Where do you
see yourself in 5 years?"
Selama nyaris sembilan
jam perjalanan, saya tak bisa menjawab pertanyaan itu. Surakarta diguyur
hujan ketika saya tiba di sore hari, perut menjadi keroncongan dan kota ini
adalah tempat paling maknyus membuat perut "meledak" karena makanan
tradisionalnya yang lezat. Saya makin lupa atas pertanyaan itu.
Dari Surakarta saya
menuju Lasem keesokan harinya, melalui Purwodadi tempat saya menikmati swike
asli Purwodadi untuk pertama kali. Ironisnya, selama ini, saya menyantap
makanan itu di Jakarta tak jauh dari tempat tinggal saya. Menempuh perjalanan
selama lima jam menembus jalan yang sedang diperbaiki benar-benar menuntut
kesabaran yang tinggi.
Matahari yang terik
dan menyengat menguasai Lasem. Saya duduk di lantai di teras belakang yang
luas sebuah toko batik. Karena rumah tua itu sangat terbuka, angin sepoi
masuk dengan bebas dan lumayan bisa mendinginkan ruang dan badan yang lengket
karena keringat. Sambil menikmati begitu banyak pilihan batik yang mampu
memorak-porandakan isi dompet, pemilik toko kain mulai bercerita tentang
usahanya itu.
"Anak-anak sudah
enggak mau nerusin usaha ini. Tinggal saya sama bapak saja," jelas wanita
yang tak terlalu tinggi itu dengan suara datar. "Semua sudah punya usaha
sendiri-sendiri," ceritanya lagi. Selesai ia menjelaskan itu, tiba-tiba
pertanyaan di atas itu muncul kembali, padahal saya sudah tak ingat sama
sekali.
Saya tak menanyakan
wanita itu, bagaimana ia melihat dirinya dalam lima tahun ke depan? Ataukah
ia memang pernah mempertanyakan itu kepada dirinya, dan jawabannya adalah
tinggal di rumah tua itu bersama suami dan para pembatiknya.
Dengan demikian, mau
lima atau 10 tahun, ia akan melihat dirinya di teras belakang rumah memandang
hasil usahanya, sambil tak lelah mengobrol sambil menyeruput sirop merah yang
disajikan setiap kali ada tamu atau pelanggannya yang datang.
"Then"
Terus bagaimana dengan
saya? Di mana dan bagaimana saya melihat diri sendiri dalam lima tahun ke
depan? Apakah saya akan menjual usaha saya sehingga di masa yang akan datang
itu saya bisa melihat diri saya sedang menikmati apa yang belum sempat saya
nikmati selama ini.
Kalau seandainya saya
memiliki anak, dan anak saya tak berniat meneruskan usaha saya, apakah dalam
waktu lima tahun ke depan, saya akan melihat diri saya memenuhi hari-hari
dengan penyesalan yang sangat, mengapa anak saya, kok, tidak ada yang berniat
meneruskan usaha yang dirintis setengah mati?
Kalau seandainya saya
menikah, bagaimana saya melihat perjalanan perkawinan saya dalam lima tahun
ke depan? Masihkah saya memupuk rasa cinta agar cinta saya tak keburu layu di
tengah jalan? Ataukah saya melihat bahwa saya akan tetap menjadi simpanan dan
pengganggu perkawinan orang karena enaknya setengah mati?
Bagaimana saya melihat
kondisi kesehatan saya dalam waktu lima tahun ke depan? Apakah saya ingin
menikmati masa yang lebih tua itu dengan sesak napas atau masih mampu
berjalan dengan tegap? Bagaimana saya melihat diri saya lima tahun ke depan,
apakah saya akan masih ingin pindah-pindah pekerjaan atau punya usaha
sendiri?
Apakah dalam masa lima
tahun ke depan, saya melihat diri saya masih menjadi manusia yang jahat?
Sebab, kejahatan yang saya lakukan itu membuahkan banyak aset di dalam dan
luar negeri?
Apakah dalam waktu
lima tahun ke depan saya akan melihat diri saya sebagai manusia yang telah
berhasil mengubah sikap dan tabiat. Dari sombong menjadi tinggal
seperempatnya. Dari influencer atau penasihat keuangan yang menipu menjadi
influencer atau penasihat yang bertobat?
Siang sehabis
menyantap kepiting terakhir di kota Lasem, saya menuju Kota Semarang ingin
menyantap nasi bakmoy sesegera mungkin. Terik matahari makin menyengat meski
langit biru bersih dan indah dipandang selama perjalanan itu. Sejujurnya,
pertanyaan itu tak sulit untuk dijawab.
Kalau saja saya
sejenak mau melihat kepada cara saya hidup, bagaimana saya mengelola
keuangan, mengelola kesehatan, sampai mengelola mulut yang tak bertulang,
paling tidak saya tahu gambaran kasarnya, kalau dalam waktu lima tahun saya
akan ada di mana dan dalam keadaan seperti apa.
Pertanyaan macam itu
seharusnya menjadi jam weker, apakah di masa depan itu saya mau menjadi
pelanggan rumah sakit, menjadi pengutang yang dikejar-kejar, atau tidur di
hotel prodeo. Bukankah ada ungkapan, kalau apa yang saya tabur, itu yang
nanti akan saya tuai? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar