Lucifer
Trias Kuncahyono ;
Penulis Kolom KREDENSIAL Kompas
Minggu
|
KOMPAS, 08 Mei 2016
Terakhir kali Manasseh Allen melihat
sepupunya, dua tahun lalu, dalam sebuah pesta perkawinan keluarga. Sepupunya,
Maryamu Wavi, gadis yang lagi beranjak remaja. Maryamu gadis pemalu. Rajin
sekolah. Setelah pesta perkawinan selesai, gadis remaja itu segera kembali ke
sekolah untuk belajar menghadapi ujian.
Beberapa hari kemudian, 14 April 2014,
tersiar kabar kelompok Boko Haram menyerang sekolah Maryamu di Chibok,
sekolah menengah perempuan, milik pemerintah. Chibok adalah ibu kota Negara
Bagian Borno, Nigeria, yang terletak sekitar 860 kilometer sebelah timur laut
Abuja, ibu kota Nigeria.
Boko Haram-yang oleh PBB dimasukkan dalam
kelompok teroris-tidak hanya menyerang sekolah itu. Mereka juga membakar
gedung sekolah dan menculik murid-murid sekolah: 276 orang! Maryamu termasuk
yang diculik. Sejak saat itu, tidak jelas nasib murid-murid perempuan
tersebut.
Maryamu adalah satu dari sekian banyak
perempuan dan gadis remaja yang diculik Boko Haram. Jumlah pasti berapa yang
diculik tidak jelas. Namun, korban penculikan diperkirakan berjumlah antara
500 dan 2.000 perempuan dan anak-anak (laki-laki dan perempuan) sejak tahun
2012 (Unicef).
Masih menurut Unicef, sejak Mei 2013,
sebanyak 2,3 juta orang terpaksa mengungsi, tercerai berai, pisah dengan
keluarga. Hanya dalam tempo satu tahun, jumlah anak yang tercerai berai
menjadi pengungsi naik 60 persen, dari 800.000 orang menjadi 1,3 juta jiwa.
Selama ini, nasib korban penculikan Boko
Haram tidak jelas. Mereka kesulitan keluar. Para korban penculikan biasanya
diperistri para anggota Boko Haram atau kalau menolak dijadikan istri, dijual
sebagai budak seks. Budak seks! Anak-anak laki-laki yang diculik dicuci
otaknya. Mereka diperintahkan menyerang keluarga mereka sendiri untuk
menunjukkan loyalitas mereka terhadap Boko Haram.
Penderitaan para perempuan korban
penculikan tidak berhenti di sini. Apabila mereka dilepaskan, tidak bisa
serta-merta bergabung kembali ke keluarga atau kelompok sukunya. Mereka sudah
dianggap kotor. Menurut kepercayaan rakyat, dalam tubuh mereka telah mengalir
"darah kotor" (bad
blood) dari para penculik. Mereka sering disebut sebagai
"istri Boko Haram", Sambisa women,
"darah Boko Haram", dan "Annoba" (epidemik).
Orang-orang seperti itu, tidak diterima
masyarakat lagi, tidak diterima keluarganya lagi. Apalagi yang sudah hamil.
Masyarakat khawatir dan takut, anak yang akan lahir dari perempuan korban
penculikan Boko Haram akan seperti para anggota Boko Haram. Mereka dianggap
"dubuk di antara anjing". Bahkan, saking takutnya akan terkena
pengaruh jahat Boko Haram, mereka mengatakan, "anak seekor ular, ya
ular". Itu untuk menggambarkan bahwa anak perempuan korban pemerkosaan
akan "mewarisi" kejahatan pemerkosa. Seperti ayahnya, anak-anak
mereka akan berbuat seperti dubuk dan memakan anjing-anjing yang ada di
sekitarnya.
Boko Haram, penebar bencana; penebar
malapetaka. Kelompok bermantel agama ini menebarkan teror di Nigeria dan
negara tetangga. Kenyataan seperti itulah yang kemudian orang berpendapat,
"Bukankah humanisme dan kearifan lokal akan lebih baik menggantikan
agama supaya orang tidak mencari pendasaran teologis dan pembenaran simbolis
dari Tuhan dalam melakukan kekerasan dan pembunuhan" (Haryatmoko :
2014). Padahal, pembunuhan apa pun alasannya tidak akan dibenarkan oleh rasa
kemanusiaan, oleh manusia yang berhati.
John Micklethwait, Pemimpin Redaksi
Bloomberg LP sejak 2015 (sebelumnya Pemimpin Redaksi majalah The
Economist), bersama Adrian Wooldridge, kolumnis, dalam karya
mereka, God is Back, menulisYou don't need God for a war (Anda tidak perlu Tuhan untuk
berperang).
Namun, kita menyaksikan sekarang ini, ada
yang menggunakan mantel agama, membawa-bawa nama Tuhan untuk meramaikan
panggung politik global, untuk menghukum orang lain tanpa dasar hukum; untuk
menunjuk dan menuding orang lain sebagai orang yang tidak ber-Tuhan; dan
kemudian mencabut nyawa orang lain. Apa hak mereka mencabut nyawa orang lain?
Inilah tindakan melawan yang mahakuasa. Tindakan seperti inilah yang dahulu
kala dilakukan Lucifer, malaikat penentang Allah, untuk meraih kekuasaannya.
Kejahatan seperti itu pula yang dilakukan
Boko Haram terhadap anak-anak perempuan dan laki-laki di Nigeria.
"Barangsiapa melakukan kejahatan, seharusnya merasa malu terhadap
dirinya sendiri," demikian kata filsuf Yunani, Demokritos (460-370 SM).
Namun, mereka, Boko Haram, tak peduli dengan omongan seperti itu karena
kekerasan dan kejahatan lahir di tempat di mana kata-kata tidak lagi memiliki
daya. Bukan hanya kata-kata yang tidak memiliki daya, melainkan suara hati
pun sudah tidak lagi bergema karena dikuasai kegelapan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar