Senin, 18 Januari 2016

Serangan Brutal Teroris terhadap Kemanusiaan

Serangan Brutal Teroris terhadap Kemanusiaan

Wawan Purwanto  ;   Pakar Intelijen
                                                  KORAN SINDO, 16 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Suara ledakan disertai kepulan asap putih dari bom bunuh diri yang meledak di Starbucks, Jalan Thamrin, pada 14 Januari 2015, mengawali drama serangan teror di Jakarta.  Tak berselang lama, dua teroris lainnya kemudian melepaskan tembakan membabi buta ke masyarakat sekitar. Polisi kemudian bertindak cepat untuk menyergap teroris hingga terjadi kontak senjata dengan kelompok teroris. Kelompok teroris pun dikabarkan sempat menyandera dua warga negara asing meski akhirnya para penyandera dapat dilumpuhkan oleh timah panas polisi. Sementara satu dari dua warga negara asing tersebut dikabarkan meninggal dunia.

Masih pada saat yang sama, tiba-tiba dua orang teroris lain yang menggunakan sepeda motor meledakkan diri di Pos Polisi Sarinah yang tidak jauh dari tempat kejadian sebelumnya. Hal itu mengakibatkan seorang polisi dari Polsek Menteng terluka dan dua teroris lainnya mati seketika. Saat kontak tembak tengah terjadi, anggota Polsek Sarinah dan polisi yang ada di sekitar Sarinah juga ikut membantu menyergap teroris.

Dalam baku tembak tersebut, empat orang polisi dari Polres Jakarta Pusat terkena tembakan pada kaki dan perut. Rentetan ledakan bom dan serangan bersenjata tersebut memicu kepanikan massal. Orang-orang berhamburan keluar gedung, mencoba menyelamatkan dirinya masing-masing atau paling tidak menyaksikan apa yang tengah terjadi.

Beberapa saksi mata pun menuturkan bahwa setidaknya terdapat enam kali ledakan menyerupai bom yang terjadi dalam serangan tersebut. Situasi baru dapat dikendalikan setelah terjadi baku tembak selama kurang lebih 20 menit. Aparat keamanan pun menyisir lokasi kejadian dan menemukan enam bom yaitu lima bom kecil sebesar kepalan tangan berbentuk granat tangan rakitan dan satu lagi bom sebesar kaleng biskuit.

Pemberitaan serangan teror viral di berbagai media mulai dari televisi, radio, hingga akun sosial media. Teror yang sebenarnya terjadi di pusat Kota Jakarta seketika menjelma menjadi teror nasional akibat penyebaran ketakutan dari banyaknya pemberitaan yang menyebar dan diperparah dengan penambahan konten berita yang jauh dari fakta sebenarnya sehingga mengakselerasi masifnya penyebaran ketakutan di masyarakat.

Kejadian ini tidak hanya memiliki dampak psikis seperti trauma dan cemas, namun juga dikhawatirkan memicu instabilitas ekonomi hingga politik. Sebab itu, Pemerintah Indonesia telah mendeklarasikan terorisme tidak hanya sebagai ancaman terhadap keamanan dan keselamatan warga negara, tetapi juga keamanan nasional. Terorisme adalah paham untuk melakukan serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat.

Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tata cara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tibatiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil. Terorisme kian jelas menjadi momok bagi peradaban modern. Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target, serta metode terorisme kini semakin luas dan bervariasi.

Dengan begitu, semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia (crimes against peace and security of mankind). Hal yang sama juga terjadi pada teror Sarinah-Thamrin ini.

Teror dalam bentuk kekerasan destruktif berupa peledakan bom di pos polisi ini tentu diikuti dengan integrated-plan penyebaran teror berlanjut, sebagai domino effect yang diagendakan oleh kelompok teror untuk makin dalam menanam rasa panik dan ketakutan. Di situlah tujuan teror dalam membentuk kepanikan sukses dilakukan.

Hal yang perlu kita waspadai sebagai rakyat Indonesia antigalau dan antiteror adalah bagaimana kita harus mampu menghentikan kebiasaan diri bertindak seperti lalat. Yakni kebiasaan mengerumuni sesuatu yang baru dan mengejutkan. Kebiasaan-kebiasaan ini akan menghasilkan komentar, prasangka, overjudgment tanpa pengetahuan yang jelas, kepanikan, dan ketakutan.

Maka, secara tidak langsung, kita turut membantu tercapainya tujuan itu dengan memviral- kan pemberitaan yang berlebihan seperti foto korban tanpa sensor, isu hoax di balik tragedi teror, menuduh yang dibenci hingga kemudian kepanikan ini semakin menjamur dan memecah belah keadaan. Pecah belahnya keadaan adalah surga bagi aksi teror.

Keadaan semacam ini mengonstruksi perspektif berpikir antarmanusia bahwa semua manusia tidak beres, semua manusia jahat, kemudian antarmanusia pun kehilangan sisi kemanusiaan sejati, sisi empatinya. Nilai-nilai itu pun akan keropos dalam diri kita karena terbungkus oleh doktrin teror dan ketakutan. Titik kemenangan teror bukanlah bentuk konkret, melainkan abstraksi pelemahan diri yang terbentuk di dalam benak rakyat. Tragedi Sarinah-Thamrin secara kronologis merupakan bentuk pertahanan harga diri seorang teroris dalam melawan.

Seperti diketahui bahwa pelaku sebelum memasuki lokasi Gedung Sarinah telah dicegah oleh aparat keamanan karena dugaan membawa bahan peledak dan diarahkan menuju pos polisi. Demi menjaga niat, misi, dan harga diri inilah pelaku kemudian meledakkan granat. Ibarat konsep harakiri, pelaku teror lebih baik mati daripada gagal mengemban misi teror besar yang direncanakan. Dengan ”gigitan kecil” ini, tentunya kelompok teroris di belakang sana sedang berharap banyak atas impact yang ditebarkan.

Pencegahan dan penanggulangan teror perlu keterlibatan kita sebagai rakyat Indonesia. Keluarga, sebagai kelompok terkecil dalam hubungan antarmanusia, memiliki kekuatan luar biasa dalam menjaga rakyat Indonesia dari agenda terorisme. Baik dari penanaman rasa percaya diri dan bekerja sama untuk tidak mudah galau, tidak mengikuti rasa takut yang disebarkan dari adanya aksi teror hingga rasa saling peduli terhadap sesama, serta mengatasi kegalauan dalam diri dan sesama dalam rangka mencegah rekrutmen anggota keluarga oleh kelompok teroris, tidak melakukan aksi teror konkret destruktif dan teror dunia maya.

Pun jika atas nama Islam tragedi teror muncul, tetaplah yakin bahwa Islam sebagai agama, juga sebagai sebuah konsep nilai. Nilai-nilai Islam sangat menjunjung tinggi rahmatan lil ‘alamin, compassion for the universe. Kasih sayang bagi jagat raya. Gagal paham nilai-nilai ini harus kita antisipasi. Bisikan kegalauan dari kanan-kiri perlu kita waspadai. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar