Serangan Brutal Teroris terhadap Kemanusiaan
Wawan Purwanto ; Pakar Intelijen
|
KORAN
SINDO, 16 Januari 2016
Suara
ledakan disertai kepulan asap putih dari bom bunuh diri yang meledak di
Starbucks, Jalan Thamrin, pada 14 Januari 2015, mengawali drama serangan
teror di Jakarta. Tak berselang lama,
dua teroris lainnya kemudian melepaskan tembakan membabi buta ke masyarakat
sekitar. Polisi kemudian bertindak cepat untuk menyergap teroris hingga
terjadi kontak senjata dengan kelompok teroris. Kelompok teroris pun
dikabarkan sempat menyandera dua warga negara asing meski akhirnya para
penyandera dapat dilumpuhkan oleh timah panas polisi. Sementara satu dari dua
warga negara asing tersebut dikabarkan meninggal dunia.
Masih
pada saat yang sama, tiba-tiba dua orang teroris lain yang menggunakan sepeda
motor meledakkan diri di Pos Polisi Sarinah yang tidak jauh dari tempat
kejadian sebelumnya. Hal itu mengakibatkan seorang polisi dari Polsek Menteng
terluka dan dua teroris lainnya mati seketika. Saat kontak tembak tengah
terjadi, anggota Polsek Sarinah dan polisi yang ada di sekitar Sarinah juga
ikut membantu menyergap teroris.
Dalam
baku tembak tersebut, empat orang polisi dari Polres Jakarta Pusat terkena
tembakan pada kaki dan perut. Rentetan ledakan bom dan serangan bersenjata
tersebut memicu kepanikan massal. Orang-orang berhamburan keluar gedung,
mencoba menyelamatkan dirinya masing-masing atau paling tidak menyaksikan apa
yang tengah terjadi.
Beberapa
saksi mata pun menuturkan bahwa setidaknya terdapat enam kali ledakan
menyerupai bom yang terjadi dalam serangan tersebut. Situasi baru dapat
dikendalikan setelah terjadi baku tembak selama kurang lebih 20 menit. Aparat
keamanan pun menyisir lokasi kejadian dan menemukan enam bom yaitu lima bom
kecil sebesar kepalan tangan berbentuk granat tangan rakitan dan satu lagi
bom sebesar kaleng biskuit.
Pemberitaan
serangan teror viral di berbagai media mulai dari televisi, radio, hingga
akun sosial media. Teror yang sebenarnya terjadi di pusat Kota Jakarta
seketika menjelma menjadi teror nasional akibat penyebaran ketakutan dari
banyaknya pemberitaan yang menyebar dan diperparah dengan penambahan konten
berita yang jauh dari fakta sebenarnya sehingga mengakselerasi masifnya
penyebaran ketakutan di masyarakat.
Kejadian
ini tidak hanya memiliki dampak psikis seperti trauma dan cemas, namun juga
dikhawatirkan memicu instabilitas ekonomi hingga politik. Sebab itu,
Pemerintah Indonesia telah mendeklarasikan terorisme tidak hanya sebagai
ancaman terhadap keamanan dan keselamatan warga negara, tetapi juga keamanan
nasional. Terorisme adalah paham untuk melakukan serangan terkoordinasi yang
bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat.
Berbeda
dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tata cara peperangan seperti
waktu pelaksanaan yang selalu tibatiba dan target korban jiwa yang acak serta
seringkali merupakan warga sipil. Terorisme kian jelas menjadi momok bagi
peradaban modern. Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil
yang diharapkan serta dicapai, target-target, serta metode terorisme kini
semakin luas dan bervariasi.
Dengan
begitu, semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan
destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan
keamanan umat manusia (crimes against
peace and security of mankind). Hal yang sama juga terjadi pada teror
Sarinah-Thamrin ini.
Teror
dalam bentuk kekerasan destruktif berupa peledakan bom di pos polisi ini
tentu diikuti dengan integrated-plan
penyebaran teror berlanjut, sebagai domino
effect yang diagendakan oleh kelompok teror untuk makin dalam menanam
rasa panik dan ketakutan. Di situlah tujuan teror dalam membentuk kepanikan
sukses dilakukan.
Hal yang perlu kita
waspadai sebagai rakyat Indonesia antigalau dan antiteror adalah bagaimana
kita harus mampu menghentikan kebiasaan diri bertindak seperti lalat. Yakni
kebiasaan mengerumuni sesuatu yang baru dan mengejutkan.
Kebiasaan-kebiasaan ini akan menghasilkan komentar, prasangka, overjudgment tanpa pengetahuan yang
jelas, kepanikan, dan ketakutan.
Maka,
secara tidak langsung, kita turut membantu tercapainya tujuan itu dengan
memviral- kan pemberitaan yang berlebihan seperti foto korban tanpa sensor,
isu hoax di balik tragedi teror, menuduh yang dibenci hingga kemudian
kepanikan ini semakin menjamur dan memecah belah keadaan. Pecah belahnya
keadaan adalah surga bagi aksi teror.
Keadaan
semacam ini mengonstruksi perspektif berpikir antarmanusia bahwa semua
manusia tidak beres, semua manusia jahat, kemudian antarmanusia pun
kehilangan sisi kemanusiaan sejati, sisi empatinya. Nilai-nilai itu pun akan
keropos dalam diri kita karena terbungkus oleh doktrin teror dan ketakutan.
Titik kemenangan teror bukanlah bentuk konkret, melainkan abstraksi pelemahan
diri yang terbentuk di dalam benak rakyat. Tragedi Sarinah-Thamrin secara
kronologis merupakan bentuk pertahanan harga diri seorang teroris dalam
melawan.
Seperti
diketahui bahwa pelaku sebelum memasuki lokasi Gedung Sarinah telah dicegah
oleh aparat keamanan karena dugaan membawa bahan peledak dan diarahkan menuju
pos polisi. Demi menjaga niat, misi, dan harga diri inilah pelaku kemudian
meledakkan granat. Ibarat konsep harakiri, pelaku teror lebih baik mati
daripada gagal mengemban misi teror besar yang direncanakan. Dengan ”gigitan
kecil” ini, tentunya kelompok teroris di belakang sana sedang berharap banyak
atas impact yang ditebarkan.
Pencegahan
dan penanggulangan teror perlu keterlibatan kita sebagai rakyat Indonesia.
Keluarga, sebagai kelompok terkecil dalam hubungan antarmanusia, memiliki
kekuatan luar biasa dalam menjaga rakyat Indonesia dari agenda terorisme.
Baik dari penanaman rasa percaya diri dan bekerja sama untuk tidak mudah
galau, tidak mengikuti rasa takut yang disebarkan dari adanya aksi teror
hingga rasa saling peduli terhadap sesama, serta mengatasi kegalauan dalam
diri dan sesama dalam rangka mencegah rekrutmen anggota keluarga oleh kelompok
teroris, tidak melakukan aksi teror konkret destruktif dan teror dunia maya.
Pun
jika atas nama Islam tragedi teror muncul, tetaplah yakin bahwa Islam sebagai
agama, juga sebagai sebuah konsep nilai. Nilai-nilai Islam sangat menjunjung
tinggi rahmatan lil ‘alamin, compassion
for the universe. Kasih sayang bagi jagat raya. Gagal paham nilai-nilai
ini harus kita antisipasi. Bisikan kegalauan dari kanan-kiri perlu kita
waspadai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar